Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Money

Ketika Neoliberalisme Menggerogoti

26 Mei 2011   06:29 Diperbarui: 27 Maret 2021   09:21 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Masih segar di layar ingatan kita saat Budiono mencalonankan diri sebagai wakil presiden, untuk mendampingi Susilo Bambang Yudoyono. Peluru tajam neolib menjadi boomerang. Para elite bangsa dan lawan politiknya berteriak keras akan bahaya neoliberalisme yang dianuti Budiono. Tak ketinggalan saya yang setiap menjelang magrib duduk bersama tukang ojek dan abang bajai pun ikut mengumpatnya. Itu berarti rakyat kecil pun akhirnya tahu apa itu neoliberalisme.

 Waktu kuliah tentang ekonomi neoliberalisme, dosen menjelaskan begitu berapi – api. Neoliberalisme adalah ‘isme’ yang menyusup hampir ke semua sendi kehidupan, begitu kata dosenku membuka penjelasannya tentang kuliah ini. Penjelasan pun berlanjut. Secara sederhana saya bisa menyimpulkan begini, neoliberalisme adalah segala sesuatu yang di kalkulasi dengan ekonomi. Biasanya dipakai sebagai sebutan bagi beberapa ciri khusus kebijakan ekonomi, seperti privatisasi, deregulasi dan liberalisasi. Wahhh…makin rumit saja nih ! 

Di lain pihak, saya teringat ketika duduk di kelas I SMP (VII SMP) guru ekonomi menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk ekonomi (homo economicus). Berbeda dengan homo socius (manusia adalah makhluk social), homo economicus menekankan tindakan dan pola hubungan manusia hanyalah ungkapan dari model hubungan untung – rugi secara ekonomis. Secara gambling saya bisa mengatakan bahwa jantung neoliberalisme adalah gagasan homo economicus

Nah, sampai di sini, bagaimana dengan perekonomian Indonesia? Artinya hubungan kita dengan Negara lain hanya sekedar “ada udang di balik batu”? karena kita kaya akan hasil alamnya. Neoliberalisme telah menggerogoti seluruh sendi perekonomian kita? Bukan masalah lama, tapi saya kembali dikagetkan dengan berita seputar perekonomian kita belakangan ini. Keterlaluan, hampir semua perusahaan swasta maupun pemerintah (BUMN) sebagian besar modalnya dikuasai asing. Pihak asing telah menguasai 50,6 persen asset perbankan nasional. Sekitar Rp 1.5551 triliun dari total asset perbankan Rp 3.065 triliun dikuasai asing. Secara perlahan porsi kepemilikan asing terus bertambah. Per Juni 2008 kepemilikan asing baru mencapai 47,02 persen. Hanya 15 bank yang menguasai pangsa 85 persen. Dari 15 bank itu, sebagian sudah dimiliki asing. Dari total 121 bank umum, kepemilikan asing ada pada 47 bank dengan porsi bervariasi. 

Tak hanya perbankan, asuransi juga didominasi asing. Dari 45 perusahaan asuransi jiwa yang beroperasi di Indonesia, tak sampai setengahnya yang murni milik Indonesia. Hal ini tak terlepas dari aturan pemerintah yang sangat liberal, memungkinkan pihak asing memiliki sampai 99 persen saham perbankan dan 80 persen saham perusahaan asuransi. Pasar modal juga demikian. Total kepemilikan investor asing 60-70 persen dari semua saham perusahaan yang dicatatkan dan diperdagangkan di bursa efek. Dari semua BUMN yang telah diprivatisasi, kepemilikan asing sudah mencapai 60 persen. Yang lebih menyedihkan di sector minyak dan gas. Porsi operator minyak nasional hanya sekitar 25 persen, selebihnya 75 persen dikuasai pihak asing. (Sumber: KOMPAS Senin, 23 Mei 2011).

Dengan demikian, siap – siap perahu perekonomian kita diambang tenggelam. Kita tidak hanya ditakutkan dengan ideologi anti Pancasila. Kita tidak lagi harus takut terhadap gerakan NII. Ideologi yang paling menakutkan bangsa ini dan apabila tidak disikapi secara serius akan memporak-porandakan perekonomian bangsa ini. Kita akan dijajah di tanah sendiri. 

Tidak heran Papua berteriak karena mereka dicabik–cabik oleh investor neolib yang bernama Free Port. Tidak heran kita telah menjadi bangsa pengemis dari orang–orang yang meraup isi perut bumi pertiwi ini. Dan sangat disesalkan, Presiden SBY mengelak bahwa Indonesia tidak akan menganut ideologi ekonomi neoliberal atau pasar bebas yang disepakati dalam Washington Consensus. (Koran Tempo, Jumat 20 Mei 2011). 

Lalu apa peran Negara? Neoliberalisme melihat bahwa Negara tidak punya alasan apa pun juga untuk mengatur dan mengawasi “pasar”. Pasarlah yang justru merupakan prinsip yang mendasari Negara dan masyarakatnya. Kebijakan Neoliberalisme seperti deregulasi dan privatisasi seakan memangkas peran pemerintah. Mungkin salah satu cara menetaskannya adalah mengoptimalkan kekuasaan pemerintah, karena kita tahu bahwa gagasan neoliberalisme tidak menghapuskan kekuasaan pemerintah. Negara sebaiknya mengambil peran “penjaga malam” (mengutip istilah Liberalisme klasik di abad 18). Perlu adanya regulasi yang tegas. 

Kita terkendala dengan otonomi daerah. Kepala daerah atau bupati yang mengeluarkan izin. Namun perlu ada revolusi hukum dalam hal ini dan kemudian nasionalisasi adalah pilihan terbaik agar kita tidak mau disebut bangsa “sapi perah” dari bangsa lain.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun