Mohon tunggu...
Roma Kyo Kae Saniro
Roma Kyo Kae Saniro Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Sastra Indonesia Universitas Andalas

Fokus menulis terkait dengan bahasa, sastra, budaya, dan filsafat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wabah

18 Agustus 2022   14:30 Diperbarui: 18 Agustus 2022   14:33 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Nak, apakah kau besok pulang dan dapat mengantarkan kartu keluarga (KK) kita kepada Pak RT? Kata Mpok Leha, kita harus mengumpulkannya agar mendapatkan BLT yang dielu-elukan oleh pemerintah di televisi."

"Belum, Bu. Sepertinya aku tak bisa pulang. Bagaimana jika Ibu saja yang mengantarkannya?"

"Baiklah, Ibu antar besok", sembari menutup telepon.

Kubaca pesan grup. Sorak-sorai temanku karena masuk daftar penerima BLT pemerintah. Padahal, hidupnya berkecukupan dan berpendapatan stabil sebagai karyawan perusahaan. Namun, tetap membusungkan dada dan mengulurkan tangan untuk sesuatu yang bukan haknya. Beberapa harinya, kutelepon ibuku dan kutanyakan mengenai kabar BLT tersebut karena di televisi sontak telah memberitakan wajah-wajah penguasa yang tersenyum lebar sedang memberikan sejumlah bantuan sebagai simbolik.

"Kita tidak dapat, Nak."

Kutahu tarikan napas dan jeda yang ibuku sisipkan dalam perkataannya menyiratkan kekecewaan. Aku, pekerja lepas, sedangkan ibuku hanya ibu rumah tangga. Ayahku kabur entah ke mana. Kami hidup mengontrak di ruangan tiga kamar di pinggir kota karena wabah ini sudah dua bulan tak mendapatkan pemasukan, tetapi tidak berhenti untuk pengeluaran.

Kekesalanku membuncah ketika ibuku berkata Mpok Eva, istri polisi yang memiliki rumah mewah di RT kami mendapatkan empat BLT, untuknya, suaminya, dan kedua anaknya. Aneh, tidak sesuai dengan ucapan manis pemerintah. Semakin aneh, Mpok Jenab yang sudah berhaji dan suaminya memiliki lima swalayan lebah merah di kota kami pun mendapatkannya. Lebih aneh, si Ono, PNS di kantor kecamatan kami, tetapi mendapatkan BLT. Usut punya usut, kata Mpok Sape'i, seharusnya ibuku atau aku harus akrab dengan Pak RT agar mendapatkan BLT seperti mereka.

Ibu menolak seperti mereka dan tidak mau menjadi pengemis. Ternyata, akhirat lebih menggiurkan ibuku daripada godaan akibat wabah ini.

Keesokan sorenya, Markonah lewat di depan kamar kosanku.

"Konah, kau belum work from home? Bukankah semua instansi telah libur?"
"Ya, aku baru akan work from home mulai besok. Kau sendiri sudah?

"Tidak, aku hanya buruh lepas. Ya, aku tidak bekerja."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun