Mohon tunggu...
Revli Ohp Mandagie
Revli Ohp Mandagie Mohon Tunggu... -

Lahir di Manado pada tanggal 6 Maret 1960. Setelah menyelesaikan pendidikan di SMA Kristen Eben Haezar Manado, Mei 1979, Revli merantau ke Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilkada DKI 2017: Independen vs Partai Politik

13 Maret 2016   00:07 Diperbarui: 13 Maret 2016   00:32 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 

[BERAWAL DARI “TANGAN DINGIN” PRABOWO DALAM PILKADA DKI 2012]

Gonjang ganjing warga DKI jelang PILKADA 2017, kembali mengingatkan kita proses pelaksanaan PILKADA DKI 2012, saat mana Presiden RI Joko Widodo yang pada saat itu masih menjabat Wali Kota Solo, berhasil diyakinkan oleh Ketua Umum PARTAI GERINDRA, untuk menjadi Calon Gubernur DKI berpasangan dengan Basuki Tjahya Purnama. Alhasil, tidak diduga, PEMILUKADA berlangsung ketat melawan patahana Fauzi Bowo, sehingga pasangan Jokowi – Ahok sukses menempati dan memegang kendali Pemerintahan di Balai Kota, memimpin Ibu Kota Negara, DKI Jakarta. Luar biasa lagi, Jokowi berhasil bertarung bahkan menang dalam PILPRES 2014, dengan sang “arsitek si tangan dingin” Prabowo, dan mengharuskan Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta, karena melanjutkan sisa masa jabatan pasangannya yang terpilih sebagai Presiden RI.

Kini, jelang PILKADA 2017 suasana dan konstalasi politik di Ibu Kota menjadi ramai cenderung memanas karena terobosan langkah politik Gubernur Ahok yang telah deklarasi untuk maju bertarung melalui “jalur maut” independen. Menjadi menarik untuk disimak, karena beberapa hal dan terutama bahwa sebagai Ibu Kota Negara, Jakarta merupakan baromoter kehidupan berbangsa dan bernegara, miniatur Indonesia yang terdiri dari semua Suku, Agama, Raas dan Golongan yang ada di NKRI. Gubernur Ahok, memiliki peluang yang sangat besar seiring dengan prestasi dan rekam jejak yang luar biasa, hampir tidak ada kekurangan sedikitpun khususnya dalam dedikasinya untuk pemerintahan yang bersih, melawan korupsi, mengelola tata pemerintahan (birokrasi) yang bersih. Kecuali itu, kesantunan Ahok dalam tutur kata, dan sedikit catatan atas proses hukum transaksi lahan RS Sumber Waras, Jakarta, yang masih dalam penanganan KPK atas hasil temuan BPK.   

Jalur independen memang tidak menyalahi aturan karena merupakan hak sipil setiap warga negara dalam demokrasi dan menjadi langkah alternatif untuk membuka peluang kader-kader partai politik yang berpotensi tetapi tidak tersalurkan oleh partai, dan atau siapa saja warga masyarakat yang ingin maju dalam pesta demokrasi. Siapapun yang akan maju bertarung tentunya harus membangun komunikasi politik dengan dan antar partai dalam mekanisme penjaringan calon, sebaliknya stigma negatif partai politik yang selama ini menjaadi halangan dan sumbatan misalnya soal “uang mahar” tentunya akan terkoreksi dengan adanya jalur independen. Setidaknya dengan adanya jalur independen harus menjadi dorongan setiap partai politik untuk melakukan pembenahan bahkan revolusi mental untuk pendidikan demokrasi yang bermartabat dalam melahirkan pemimpin dan negarawan sejati bersih, jujur, merakyat, dst.

“Jalur Maut” Independen AHOK

Tanpa mengurangi rasa hormat, dan selain kesantunan dalam tutur kata seorang AHOK yang perlu dikoreksi, maka prestasi, ketegasan, dedikasi, loyalitas dan yang paling utama komitmen AHOK untuk mengatakan TIDAK terhadap korupsi, merupakan modal utama dalam memasuki pertarungan DKI-1. Komunikasi AHOK dengan petinggi PDI Perjuangan ditambah dengan dukungan Partai NASDEM, peluang Ahok untuk merebut DKI-1 semakin terbuka dan pasti. Tidak disangka, AHOK lebih memilih halur independen dengan alasan menghormati karya dan kinerja “Teman AHOK” yang sudah bekerja lebih awal mengumpulkan KTP untuk dukungan, yang pada akhirnya harus diulang dari awal karena belum sesuai aturan, tercantum nama pasangan DKI-2 (Cawagub). Hal ini tentunya mengejutkan banyak pihak, terutama semua elit partai politik, bahkan menjadi kajian mendalam apa sesungguhnya sebab akibat kehadiran jalur independen yang sebenarnya merupakan cara “alternatif” dan bukan yang utama dalam mekanisme PILKADA bahkan menjadi ancaman pembangunan demokrasi yang berlandaskan trias politika, pemisahan kekuasaan dibidang: Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Memang, jalan masih panjang dan kemungkinan terjadi perubahan sikap Ahok masih terbuka lebar, karena sesungguhnya politik itu dinamis dan dari waktu ke waktu segala sesuatu bisa terjadi. Kalau alasan bahwa partai politik sekarang ini banyak yang tidak becus, maka kesempatan bagi AHOK untuk menunjukkan sikap “kenegarawan” bagaimana “membenahi” parpol dan bukan meninggalkan. Sebab tidak terlaku heran kalau pada akhirnya AHOK akan menjadi musuh bersama semua partai politik, sehingga awal dari kekalahan yang pada akhirnya warga Jakarta ikut menjadi rugi manakala Gubernur impiannya tidak berhasil memenangkan pertarungan. Tidak ada kata terlambat, semoga...!!!

Independen VS Partai Politik

Tidak dapat dipungkiri, jalur maut yang dipilih (sementara) Ahok mengundang aneka reaksi terutama dorongan partai politik untuk menjaring dan mebidik calon yang dainggap mampu, minimal punya indikator sama dengan calon patahana. Sekurangnya sampai sekarang ini, sudah ada 3 mantan Menteri ikut meramaikan PILKADA DKI, Yusril Ihza Mahendra, Adhiyaksa Dault dan Roy Suryo. Selain itu, dari berbagai kalangan antara lain Achmad Dhani dan Sandiaga Uno masuk dalam bursa. Yang menarik, nama yang disebutkan terakhir adalah merupakan “bidikan” sang arsitek tangan dingin Prabowo, untuk diusung Partai GERINDRA. Saatnya untuk menyimak kecerdasan sang arsitek tangan dingin ini dalam membidik jagoannya. Semakin hiruk pikuk, karena patahana Gubernur Ahok seolah menjadi musuh bersama semua partai politik. Apakah Independen mampu mengalajkan Partai Politk? Waktu berjalan yang akan menjawab sesuai dengan dinamika politik yang berkembang sampai pada penetapan Calon Gubernur/Wakil Gubernur yang definitif, apakah melalui jalur maut Independen atau Partai Politik?

Sistim Pemerintahan

Melengkapi fenomena PILKADA DKI 2017, rasanya kurang lengkap kalau tidak melihat sistim pemerintahan dan sistim kepartaian yang berlaku. Kita mengenal Trias politika, yaitu sistim pemerintahan yang memisahkan fungsi dan kewenangan antara Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Simak apa kata Presiden Pertama Soekarno, berikut ini:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun