Mohon tunggu...
Rolly Toreh
Rolly Toreh Mohon Tunggu... Pengacara - Merenung seperti gunung, bergerak seperti ombak

Keep pray, keep the faith

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kuatnya Berahi Korupsi Penegak Hukum

9 Desember 2019   13:18 Diperbarui: 10 Desember 2019   14:03 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Namanya saja 'berahi', yang konon seperti ada gairah yang tak kunjung selesai atau dengan secuil nafsu membungkam, menguasai, dan menikmati. Berahi tidak hanya identik dengan humanisme tapi sekarang cenderung mencangkok apa saja. Cara cangkok pun acapkali terstruktur, masif, dan terencana. Bukan cuma pada tanaman, cangkok itu berhasil, tapi bagi semua manusia cangkok itu pun tidak hanya melulu pada ginjal, tapi soal kekinian tentang uang, jabatan, perusahaan, keluarga, kolega, sampai garis keturunan. Hampir semua tercekat korupsi. Bersandiwara seolah-olah tidak berahi pada korupsi, namun lama kelamaan terbongkar skandal mega korupsi.

Kodrat manusia memang terbatas, karena jelas masih menduduki dunia. Ditengah keterbatasan itu, rupanya manusia tidak sadar dengan keterbatasan sehingga masih ada juga yang culas, bablas dan sewenang-wenang, terhadap manusia lain, alam, dan binatang sekitar. Ketidaksadaran itu ada yang sengaja dibuat-buat, ada pula yang telanjur lupa kodratnya, ada juga juga yang terpaksa berdusta demi mencapai tujuannya. Dan disitulah klimaksnya ketika manusia menancapkan tujuan hidupnya, kerohanian manusia diuji, dan sebaliknya 'kesetanan' manusia berperan menggodanya dan manusia lainnya agar dapat meraih tujuan batiniah dan lahiriah dengan cara yang tidak akali, amoral, improsedural, dan ilegal. Meraihnya pun harus dengan niat, tekad, dan ambisi. Maka optimisme sebaiknya memenangkan pertempuran menggapai tujuan, daripada pesimisme yang hanya berujung pada kehancuran atau kesusahan.

Godaan menjadi parameter integritas seseorang. Di tempat antara sadar dan tidak sadar, godaan mengorupsi bermukim pada setiap orang, tak terkecuali yang punya kuasa maupun yang tidak berkuasa. Berahi muncul karena tergoda. Mengapa demikian? Karena saat godaan negatif muncul, maka berahinya akan mendorong seseorang berniat mengaktualisasikan kehendak koruptif asalkan sesuai harapannya. Atau, sebaliknya seseorang tidak memiliki hasrat untuk meladeni godaan negatif tersebut karena lambat laun akan mempengaruhi nilai integritasnya semakin melorot dan mengenaskan.

Sesuai kepercayaan yang kita anut, tiada yang lain yang berkuasa selain Tuhan. Agama manapun memosisikan Tuhan di atas segalanya. Karena Tuhan yang menciptakan, juga Tuhan yang membaharukan. Dialah yang Awal dan yang Akhir. Yang secara normatif religi adalah Tuhan di atas segalanya. Sedangkan secara normatif duniawi adalah manusia di atas segalanya yang diberi kuasa dari Tuhan untuk berkuasa memelihara, mengelola secara baik dan benar semua alam, lingkungan, flora, fauna, dan hewan lainnya. Namun, di dunia ini, sesungguhnya manusia ternyata tidak bisa lepas dari kuasa lainnya yaitu Uang dan Tahta. Padahal semuanya dapat berujung pada kemanfaatan jika dipelihara dan dikelola dengan baik dan benar. Sayangnya, manusia selalu tergoda oleh Uang dan Tahta sehingga memberi peluang dan kesempatan bagi setiap orang untuk korupsi, dan membuat korupsi berkembang biak di tubuh Penegak Hukum.

Di semua negara, hukum diletakkan pada posisi tertinggi bernegara. Contohnya, negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) bukan kekuasaan belaka (Machstaat). Itu jelas. Tetapi bagaimana jadinya jika berahi korupsi itu menjangkiti penegak hukum? Justru hukum pastinya dipermainkan, ditendang kesana kemari, dan dikibuli dengan segala macam dalil anomali penegaknya. Institusi hukum jadi korban permainan kejahatan penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi, Advokat), dan mendorong masyarakat menomorduakan hukum dengan cara memilih hukum rimba (Lawless).

Rakyat menganggap kesalahan yang dibuat hari ini dapat dilanjutkan lagi diwaktu yang lain, karena aparat penegak hukum bisa 'disuap'. Korupsi hari ini bisa dilanjutkan di lain hari asalkan cukup uang. Sehingga, keadilan jadi pincang karena putusan hakim gampang dibeli. Termasuk Jaksa, Polisi, Advokat, bertekuk lutut pada suap. Disitulah Tersangka atau terdakwa seenaknya saja mempermainkan hukum dan menjadikannya sandiwara didepan rakyat banyak. Sandiwara yang mempertontonkan uang berkuasa melebihi Tuhan, maka suap saja pun terjadi berulang di satu pengadilan yang sama. Janggal dan anomali. Di pengadilan tempat rakyat mencari dan berharap adanya keadilan, justru ketidakadilan lebih kentara berakar di pengadilan. Oleh karena itu kejahatan korupsi penegak hukum membuat hukum semakin terancam.

HAKIM
Menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tahun 2016, KPK menangkap dua (2) Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bengkulu, Janner Purba dan Toton, kasus suap Rp. 650 juta untuk memberi putusan bebas atas perkara yang mereka tangani. Setahun kemudian, 6 September 2017, KPK juga menangkap hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bengkulu, Dewi Suryana, bersama Panitera Pengganti Hendra Kurniawan sebagai perantara suap Rp. 125 juta atas perkara korupsi dana rutin Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kota Bengkulu tahun 2013-2014.

Ditahun yang sama (2017), dalam operasi tangkap tangan (OTT), KPK menangkap hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar, dengan barang bukti berupa lebih dari 10 ribu USD dan Rp. 4 juta, disuap terkait Uji Materi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang diberikan pengusaha importir daging sapi, Basuki Hariman.

Ditahun yang sama (2017), KPK menangkap Panitera Pengganti di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Tarmizi, dan kemudian divonis hakim 12 Maret 2017, empat (4) tahun penjara, dan terbukti menerima suap Rp. 425 juta untuk mempengaruhi hakim, atas kasus perdata dua (2) perusahaan. Di Pengadilan Negeri Tangerang, KPK menangkap hakim dan panitera yang menerima suap untuk mempengaruhi putusan hakim Tuti Atika. Di Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara, KPK menangkap Ketua Pengadilan Tinggi Sulut, Sudiwardono, tanggal 6 Oktober 2017, atas kasus suap.

Sampai dengan Maret 2018, KPK sudah menangkap Hakim sebanyak 17 orang, dan Panitera Pengganti 9 orang.

JAKSA
Demikian pula, Jaksa, yang terlindas perkara korupsi, menurut data KPK, ada 5 orang. Yang pertama, jaksa Urip Tri Gunawan (Kejagung), terjerat Operasi Tangkap Tangan (OTT) kasus suap 660 ribu USD (setara Rp. 6 miliar) dari Artalyta Suryani, pada tanggal 2 Maret 2008. Urisp juga menerima suap dari mantan kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Glen Yusuf melalui pengacara Reno Iskandarsyah, Rp. 1 miliar. Tanggal 4 September 2008, Urip divonis 20 tahun penjara oleh hakim Tipikor Jakarta. 

Yang kedua, jaksa Fahir Nurdimalo (Kejati Jawa Tengah), ditangkap menerima suap Rp. 528 M dari Bupati Subang, Ojang, pada tanggal 11 April 2016. Yang ketiga, jaksa Devianti Rohaini (Kejati Jawa Barat), ditangkap karena menerima suap dalam kasus perkara dana BPJS, kab. Subang, Jawa Barat. Uang suap Rp. 528 juta diberikan langsung di ruang kerjanya di lantai 4 kantor kejaksaan tinggi Prov. Bandung. 

Yang keempat, jaksa Farizal (Kejati Sumatera Barat), ditangkap KPK karena menerima suap Rp. 365 juta dari Direktur Utama CV. Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto, pada tanggal 26 September 2016. Kasus ini akhirnya menyeret Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman. Yang kelima, jaksa Parlin Purba (Kejati Bengkulu), yang ditangkap KPK tanggal 9 Juni 2017, di Resto Wisata Pantai Panjang, Kota Bengkulu, bersama PPK Balai Wilayah Sungai Sumatera VII Provinsi Bengkulu, Amin Anwar dan Direktur PT Mukomuko Putra Selatan, Marijudo Suhardi, hasil OTT didapat uang sebesar Rp. 10 juta.

POLISI (dan TNI)
Demikian juga, institusi Kepolisian, dalam pusaran korupsi tercatat antara lain, pertama, Jenderal Pol Rusdihardjo, mantan Kapolri dan Dubes RI untuk Malaysia, divonis 2 tahun penjara dan denda Rp. 815 juta oleh Pengadilan Tipikor Jakarta 11 Juni 2008 atas kasus korupsi di KBRI Malaysia. Kedua, Irjen Pol Udju Djuheri, mantan anggota Komisi XI DPR RI tahun 1999-2004, divonis Pengadilan Tipikor Jakarta, 2 tahun, dalam perkara korupsi cek perjalanan pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Goeltom tahun 2004. Ketiga, Komjen Pol Suyitno Landung (Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri), dalam kasus pembobolan BNI dengan terdakwa Adrian Waworuntu, terbukti menerima gratifikasi Mobil SUV Nissan X Trail Rp. 247 juta. 

Keempat, Komjen Pol Susno Duadji (Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri), terbukti bersalah atas kasus gratifikasi Rp. 500 juta dari Sjahril Djohan untuk mempercepat penanganan kasus PT. Salmah Arwana Lestari. Juga bersangkutan terbukti memangkas dana pengamanan Pilkada Jawa Barat tahun 2008 saat beliau menjabat Kapolda Jawa Barat, sebesar Rp. 4,2 M, kesemuanya untuk kepentingan pribadi. Kelima, Ajun Inspektorat Satu Labora Sitorus, anggota Polres Raja Ampat, Papua Barat, dijatuhi vonis 15 tahun oleh hakim kasasi MA, karena terbukti menyelundupkan BBM ilegal, membabat hutan secara ilegal, pencucian uang lewat perusahannya PT. Rotua, dengan total transaksi mencurigakan Rp. 1,5 triliun. 

Keenam, Inspektur Djoko Susilo, Kepala Korps Lalu Lintas Polri (Kakorlantas), divonis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta pada desember 2013, dalam kasus simulator SIM tahun 2012, telah merugikan negara Rp. 100 M dan melibatkan wakilnya Brigjen Didik Purnomo yang divonis 5 tahun dan denda Rp. 250 juta. Ketujuh, Komisaris Jenderal Pol Budi Gunawan, ditetapkan tersangka oleh KPK tanggal 13 Januari 2015, dalam kasus rekening gendut, saat ia menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi SDM Polri tahun 2003-2006. Pertama kalinya KPK menetapkan perwira Bintang 3 sebagai tersangka. 

Sebelumnya perwira bintang 2 yaitu Irjen Djoko Susilo sebagai tersangka. Komjen Budi diduga memiliki rekening gendut tidak wajar sesuai dengan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) 19 Agustus 2008 terlapor Rp. 4,684 M, dan dilaporkan kembali 26 Juli 2013 dilaporkan menjadi Rp. 22,6 M dan 4 ribu USD. Kenaikan menjadi 5 kali lipat. 

Kemudian aliran dana mencurigakan tahun 2006 Rp. 54 M dari perusahaan properti. Kedelapan, Ajun Komisaris Besar Raden Brotoseno, dalam OTT KPK November 2016, ditangkap atas dugaan menerima suap Rp. 1,75 M terkait penyidikan kasus pencetakan sawah Kementerian BUMN tahun 2012-2014 di Ketapang, Kalimantan Barat. Dan kasus itu menyeret 2 tersangka lain yaitu Kompol DSY dengan barang bukti Rp. 150 juta dan seorang perantara LMB dengan barang bukti Rp. 1,1 M. 

Kesembilan, Mabes Polri dalam OTT tanggal 31 Maret 2017, menangkap 7 anggota Polri dari Polda Sumatera Selatan dan 1 orang PNS. Propam menyita Rp. 4,7 M dan barang bukti lain berupa BPKB Mobil BMW, motor, data komputer, dan telepon seluler. Atas dugaan kasus Pungutan Liar (Pungli) penerimaan calon anggota Polri. Kesembilan, Brigjen Pol Didik Purnomo, terbukti bersalah dalam kasus pengadaan Simulator SIM di Korlantas Polri. Ia divonis hakim 5 tahun penjara dan denda Rp. 250 juta. Kesepuluh, Brigjen Pol Samuel Ismoko, terbukti menerima suap dalam kasus LC Fiktif Bank BNI. Divonis hakim 1 tahun 8 bulan.

Selain itu, menurut data Polri, sepanjang Oktober -- November 2016, sudah ada 101 anggota Polri ditangkap karena Pungli. Tersebar di 8 Polda. Mereka melakukan Pungli di satuan lalu lintas dan layanan SIM. Di bulan sebelumnya Juli -- Oktober 2016, Mabes Polsri mencatat ada 235 oknum melakukan pemerasan.

Kasus korupsi di institusi TNI pun tak lepas dari jeratan tikus-tikus nakal. Diantaranya, Pertama, kasus korupsi yang menyeret Jenderal Bintang Satu AD, Brigjen TNI Teddy Hernayadi, dalam kasus korupsi Alutsista di Kementerian Pertahanan berupa pengadaan Pesawat Tempur F-16 yang merugikan negara USD 12 Juta. Kedua, OTT Kasus korupsi Pengadaan Satelit Monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana TNI Bambang Udoyo, Direktur Data dan Informasi Bakamla. Ketiga, Marsekal Pertama TNI Angkatan Udara berinisial FA, dugaan korupsi pengadaan helikopter angkut berat jenis Agusta Westland (AW) 101. Bersama-sama dengan 2 orang lain yang ditetapkan tersangka, merugikan keuangan negara Rp. 220 M.

ADVOKAT/PENGACARA
Yang terakhir, profesi mulia (Officium Nobile) Advokat, tersandung kasus korupsi. Advokat disebut sebagai bagian dari Penegak Hukum karena disebut dalam Pasal 5 Ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Tapi sayang, dari sekian banyak kasus korupsi termasuk penyuapan, yang telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht van Gewisjde), menegaskan bahwa advokat seolah-olah mengtackle progres pemberantasan korupsi.
Menurut data per tanggal 13 Januari 2018 dari Indonesia Corruption Watch (ICW), dan sudah dikembangkan Penulis,  terdapat 22 nama oknum Advokat yang terseret kasus korupsi dengan 3 modus berbeda. 4 pelaku bermodus menghalangi penyidikan, 16 pelaku melakukan penyuapan, dan 2 orang pelaku memberikan keterangan palsu. (metrotvnews.com). 

Melansir data tersebut, nama-nama Advokat dalam kasus korupsi antara lain, Pertama, Advokat Frederich Yunadi, dijadikan tersangka KPK tanggal 10 Januari 2018, oleh dugaan menghalangi dan merintangi penyidikan kasus e-KTP dengan terpidana Setya Novanto. Kedua, Advokat Ace Kurnia, dijadikan tersangka Kejaksaan Tinggi Maluku Utara dan ditahan tanggal 12 Desember 2017, oleh dugaan kasus suap terhadap penyidik Polda Maluku Utara yang sementara menangani kasus Ketua DPRD Halmahera Tengah Rusmini. Ketiga, Advokat Fadly Tuanany yang melakukan penyuapan bersama Advokat Ace Kurnia (poin kedua). 

Keempat, Advokat Akhmad Zaini sebagai kuasa hukum PT. Aquamarone, ditangkap KPK dalam OTT tanggal 22 Agustus 2017, karena dugaan penyuapan kepada panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Tarmizi, sebesar Rp. 425 juta, dengan permohonan agar majelis hakim menolak gugatan perdata wanprestasi yang diajukan Eastern Jason Fabrication Service Pte terhadap PT. Aquamarone Divindo Inspection. Kelima, Advokat Harris A. Hedar, Wakil Ketua Umum Peradi, ditangkap Bareskrim Polri dalam OTT Satgas Saber Pungli tanggal 17 November 2016, karena dugaan penyuapan kepada AKBP Radem Brotoseno sebesar Rp. 1,9 M, kasus yang melibatkan eks Menteri BUMN Dahlan Iskan, dan sudah divonis 3 tahun penjara, denda Rp. 200 juta oleh Pengadilan Tipikor Jakarta 14 Juni 2017. 

Keenam, Advokat Awang Lazuardi Embat, ditangkap KPK dalam OTT tanggal 12 Februari 2017 dan menyita Rp. 400 juta, karena dugaan penyuapan kepada Kepala Subdirektorat Kasasi Perdata Mahkamah Agung, Andri Tristanto, untuk memuluskan penanganan perkara di MA. Ketujuh, Advokat Samsul, ditangkap KPK dalam OTT tanggal 16 Juni 2016, karena dugaan penyuapan kepada Panitera Pengganti PN Jakarta Utara, Rohadi, untuk mengatur siapa yang akan menjadi Majelis Hakim, dan dapat meringankan putusan hakim, yang melibatkan artis Saiful Jamil. Divonis 2 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta, 21 November 2016. 

Kedelapan, Advokat Kasman Sangaji, ditangkap KPK dalam OTT tanggal 16 Juni 2016, dengan kasus yang sama dengan Advokat Samsul, melibatkan artis Saiful Jamil, dan divonis 3 tahun 5 bulan penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Kesembilan, Advokat Bertha Natalia ditangkap KPK dalam OTT tanggal 16 Juni 2016, dengan kasus yang sama dengan Advokat Samsul dan Advokat Kasman, melibatkan artis Saiful Jamil, dan divonis 2 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. 

Kesepuluh, Advokat Raoul A. Wiranatakusumah, ditangkap KPK dalam OTT tanggal 30 Juni 2016, karena dugaan penyuapan 28 ribu Dollar Singapura kepada Panitera PN Jakarta Pusat, Muhamad Santoso, untuk mengatur Majelis Hakim agar dapat meringankan putusan. Divonis 5 tahun oleh Pengadilan Tipikor Jakarta tanggal 9 Januari 2017. Kesebelas, Advokat OC Kaligis, ditangkap KPK lewat OTT sebelumnya tanggal 9 Juli 2015 yang menyeret anak buahnya Gerry Guntur, dan kemudian tanggal 14 Juli 2015, KPK menangkap Kaligis di Hotel Borobudur, karena dugaan penyuapan kepada Hakim dan Panitera Pengadian Tata Usaha Negara (PTUN) Medan tahun 2015, divonis hakim tingkat Peninjauan Kembali menjadi 7 tahun, tanggal 19 Desember 2017. 

Keduabelas, Advokat M Yagari Guntur alias Gerry, ditangkap KPK lewat OTT tanggal 9 Juli 2015, karena dugaan penyuapan kepada Hakim dan Panitera Pengadian Tata Usaha Negara (PTUN) Medan tahun 2015 bersama Advokat OC Kaligis, divonis 2 tahun penjara oleh hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, tanggal 17 Februari 2016. Ketigabelas, Advokat Susi Tur Andayani, ditangkap KPK tanggal 2 Oktober 2013, karena dugaan penyuapan sebesar Rp. 1 M kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mchtar dalam sejumlah sengketa Pilkada tahun 2014, yang diberikan Tubagus Wawan, seorang kepercayaan dari dinasti Ratu Atut Chosiyah. Dan divonis hakim tingkat Kasasi 23 Februari 2014, menjadi 7 tahun penjara. 

Keempatbelas, Advokat Mario Bernando, ditangkap KPK lewat OTT tanggal 25 Juli 2013, memberi uang kepada pegawai MA, Djody Supratman, karena dugaan penyuapan berkaitan dengan perkara tingkat Kasasi MA tahun 2013, sebesar Rp. 150 juta. Dan divonis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta selama 4 tahun penjara, tanggal 16 Desember 2013. Kelimabelas, Advokat Muhamad Azmi Yusuf, ditangkap KPK tanggal 13 Juni 2012 di Hotel Lumiere, Jakarta Pusat. Dan divonis 7 tahun oleh hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Selatan, karena terbukti menghalangi dan merintangi penyidikan KPK, dengan tersangka Neneng Sri Wahyuni (Istri M Nazarudin) tahun 2013. 

Keenambelas, Advokat Muhamad Hasan Khuni, ditangkap KPK tanggal 13 Juni 2012 di Hotel Lumiere, Jakarta Pusat, bersama Advokat Azmi Yusuf, dan divonis 7 tahun oleh hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Selatan, karena terbukti menghalangi dan merintangi penyidikan KPK, dengan tersangka Neneng Sri Wahyuni (Istri M Nazarudin) tahun 2013. Ketujuhbelas, Advokat Haposan Hutagalung, ditangkap Kejaksaan Agung, dan divonis MA selama12 tahun tanggal 18 Agustus 2011, karena memberikan keterangan tidak benar atas asal-usul harta Gayus Tambunan, dan karena terbukti menyuap penyidik Polri Arafat Enanie dan Komjen Susno Duadji (Kabareskrim Polri) sebesar Rp. 500 juta di tahun 2011. Kedelapanbelas, Advokat Lambertus Palang Ama, ditangkap Kejaksaan Agung, dan divonis PN Jakarta Selatan selama3 tahun penjara, karena memberikan keterangan tidak benar atas asal-usul harta Gayus Tambunan Rp. 28 M dan terbukti merekayasan harta Gayus Rp. 23 M. 

Kesembilanbelas, Advokat Adner Sirait, ditangkap KPK saat OTT tanggal 30 Maret 2010, karena dugaan penyuapan sebesar Rp. 300 juta kepada Hakim PTUN Jakarta, Ibrahim, terkait perkara sengketa tanah seluas 9,9 Ha di Cengkareng, melawan Pemprov DKI tahun 2010. Divonis 4 tahun 6 bulan penjara oleh hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, tanggal 25 Oktober 2010. Keduapuluh, Advokat Manatap Ambarita, termasuk daftar pencarain orang (DPO) 5 tahun sejak putusan MA tanggal 16 Juli 2010, ditangkap KPK tanggal 24 November 2017 di Hotel Citicon Slipi, Jakarta Barat, setelah divonis 3 tahun penjara oleh hakim kasasi MA, karena terbukti menghalangi dan merintangi penyidikan Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat kepada kliennya Afner Ambarita, pada perkara Tindak pidana korupsi penyalahgunaan sisa anggaran tahun 2005 sebesar Rp. 736,5 juta di Dinas Kimpraswil Kabupaten Kepulauan Mentawai. 

Keduapuluhsatu, Advokat Harini Wijoso, ditangkap KPK tanggal 30 September 2005 bersama 5 orang staf MA, karena dugaan penyuapan kepada pegawai Mahkama Agung (MA) dan hakim agung MA, yang melibatkan Probosutedjo pada tahun 2005. Divonis 3 tahun oleh hakim Kasasi MA, tanggal 7 November 2006. Keduapuluhdua, Advokat Tengku Syaifuddin Popon, ditangkap KPK tanggal 15 Juni 2005, karena dugaan penyuapan kepada pegawai Pengadilan Tinggi Tipikor sebesar Rp. 249,9 juta, yang melibatkan Abdullah Puteh pada tahun 2005. Divonis Pengadilan Tipikor Jakarta 2 tahun 3 bulan.

KESIMPULAN
Kasus korupsi yang melibatkan Penegak Hukum, semakin mengaburkan upaya pemberantasan korupsi oleh penegak hukum. Di institusi Penegak Hukum sajalah orbitasi penegakan hukum tindak pidana korupsi diletakkan. Disitulah tempat yang paling utama, sebagai fondasi Law Enforcement. Sebagai negara yang menganut prinsip Rule of Law, Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dicetuskan untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, seperti disebut dalam Pasal 1 UU No 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan itu kini diselenggarakan oleh 2 atap (two roof system) kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Badan peradilan di bawah MA seperti peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara. Sedangkan MK dipandang sebagai pengawal konstitusi. Tetapi, introspeksi dari sebagian kasus diatas, sungguh sangat prihatin atas kasus yang menimpa kedua atap kekuasaan kehakiman tersebut, karena ternyata korupsi makin menggurita dan mengerat habis institusi penegak hukum.

Sekurang-kurangnya ada empat (4) faktor penyebab korupsi penegak hukum, yaitu:
Moralitas yang rendah semua aparatur penegak hukum karena masih suka bekerja sama dengan cukong, makelar kasus dan aktor politik.

Budaya politik korupsi tumbuh subur dalam birokrasi yang feodalistik, tidak transparan, dan tidak terkontrol oleh masyarakat.

Apatisme dan ketidakpahaman masyarakat atas cara kerja aparat.

Kriteria dan rekrutmen aparatur penegak hukum yang tidak transparan dan tidak profesional.

Rendahnya political will pemerintah memberikan hukuman pantas dan berat kepada mafia hukum.

Karena berahi korupsi Penegak Hukum, wajarlah  Indeks Persepsi Korupsi Indonesia masih bertengger di level 37, juara bertahan di posisi tahun sebelumnya yang sama di level 37 dan turun ke peringkat 96 dunia. Hasil Survei Transparency International tahun 2017 tersebut tidak hanya memblow up data peringkat korupsi, tapi sembari melukiskan betapa herannya negara sekecil Timor Leste, tetangga Indonesia itu yang berada setingkat lebih atas dari Indonesia yaitu di level 38. Dan tak usah berniat lebih mendongkel negara Singapura yang tetap perkasa di level pertama dengan nilai 84, di tingkat negara  ASEAN.

Berahi korupsi tak pernah habis bahkan akan terus berkembang biak seperti seekor tikus yang bebas menggunakan caranya untuk bisa hidup di lingkungan yang bersih, dan semakin merdeka di lingkungan yang kotor. Walaupun tikus dibantai sampai mati, kita tidak tahu yang mati itu betina atau jantan, muda atau tua, apalagi kita tidak tahu tempat dimana betinanya beranak cucu. Hanyalah dengan pencegahan perkembangbiakan korupsi, kejahatan korupsi sedikitnya terkendali, yaitu dimulai dengan mendidik keluarga berperilaku anti korupsi dan meningkatkan kualitas rohani dan ketakwaan kepada Tuhan.


Menurut Cicero, "Legum servi sumus ut liberi, esse possimus" artinya, sebagai hamba hukum agar menjadi orang bebas. Sebagai budak hukum agar dapat meraih kebebasan.

Terima kasih.
Penulis saat ini sebagai Advokat/Pengacara, dan Sekretaris Eksekutif Perkumpulan Organisasi Bantuan Hukum Pro Eklesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun