Mohon tunggu...
Rolando Michael
Rolando Michael Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik

Homo homini lupus (Politics, Law, Football)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ruang Publik Habermas dan Politik Identitas di Indonesia

19 April 2021   22:25 Diperbarui: 19 April 2021   23:02 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kemudian mengutip jurnal yang ditulis oleh Moh. Rafli Abbas dalam temuan melihat pergulatan identitas ke-Papuan di Yogyakarta, dimana dalam hal ini penulis melihat bahwa ruang publik sebagaimana yang digambarkan Habermas, digunakan sebagai ekspresi identitas yang coba diangkat oleh komunitas Papua yang merupakan minoritas untuk mendapat kesetaraan dan terlepas dari diskriminasi. 

Dan temuan menarik menurut saya dari jurnal ini adalah bagaimana diskursus yang dibangun oleh komunitas Papua dalam ruang publik adalah untuk mendapat kesetaraan memperoleh KTP, karena bagaimanapun juga Papua merupakan bagian dari NKRI, sehingga diskursus yang menarik adalah adanya keinginan masyarakat Papua di Yogyakarta untuk berkesempatan menempatkan wakilnya di kursi DPRD Yogyakarta. (Abbas, 2016) 

Budi Hardiman dalam bukunya yang berjudul Demokrasi Deliberatif menjelaskan bahwa istilah deliberasi berasal dari kata latin, yakni deliberattio. Istilah ini berarti konsultasi, menimbang-nimbang, bisa juga diartikan sebagai musyawarah. Semua arti leksikal tersebut harus ditempatkan dalam konteks publik atau kebersamaan secara politis. 

Dalam teori demokrasi deliberatif Habermas, salah satu titik tekannya, yakni soal legitimitas, bahwa sebuah kebijakan atau norma publik, makin legitim ketika dalam prosesnya menekankan pada diskurivitas rasional dan terbuka terhadap pengujian publik, termasuk keterbukaan terhadap revisi-revisi. Bila melihat kondisi sosiologis Indonesia, barangkali yang paling relevan adalah model demokrasi deliberatif Jurgen Habermas. 

Model komunitarianisme tentu dapat menyebabkan ketidakadilan sosial, karena kebijakan politis (atau bahkan konstitusi) yang dirumuskan akan sangat tergantung kelompok identitas partikular yang dominan, pun demokrasi liberal yang mendasarkan pada sekularisme, masih terlalu jauh bila melihat kondisi sosiologis Indonesia, yang masyarakatnya masih sangat dipengaruhi nilai-nilai primordialisme. (Cusdiawan, 2019) 

Pemahaman tersebut juga semakin menempatkan kita pada pertanyaan penting apakah ruang publik sebagaimana yang digambarkan oleh Habermas dapat menjadi kunci penting dalam meningkatkan kedewasaan politik masyarakat Indonesia untuk mengutamakan proses diskursus dalam ruang publik agar praktik politik identitas yang merupakan penyakit demokrasi dapat diminimalisir, karena dalam demokrasi deliberatif sesungguhnya sudah harus memenuhi kondisi yang inklusif, bebas dari paksaan, dan juga terbuka. 

Dan pertanyaan penting penulis adalah dapatkah pemilu mendatang masyarakat Indonesia sudah mulai menempatkan ruang publik sebagai sebuah langkah strategis untuk dapat terhindar dari budaya politik yang memanfaatkan politik identitas sebagai ajang meraih suara.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, M. R. (2016). Ruang Publik dan Ekspresi Politik Identitas. Yogyakarta: Jurnal Society Vol. VI No. I, 

Cusdiawan. (2019, December 16). Quo Vadis Politik Identitas Dalam Demokrasi. Retrieved from Qureta.com: https://www.qureta.com/post/quo-vadis-politik-identitas-dalam-demokrasi

Habermas, J. (1996). Beetwen Facts and Norms. Cambridge: The MIT Press.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun