Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Bodong

3 Januari 2016   18:01 Diperbarui: 3 Januari 2016   18:52 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Bodong! Keluar kau! Kami tahu kau ada di dalam, tak usah sembunyi! Atau harus benar kami bertindak anarkis?”

“Ada apa ini ramai-ramai, bapak dan ibu?” Kataku saat akhirnya memberanikan diri untuk menghadapi massa dadakan ini.

“Lihat harapan ini, kau kan yang menjualnya? Kami diberikan ini oleh bapak bupati saat kampanyenya di pilkada 2 tahun lalu. Tapi apa? Harapan ini sama sekali belum terwujud. Di sini tertulis ‘bebas banjir dalam 1 tahun’. Kenyataannya, masih saja banjir di sana-sini. Kami jauh-jauh dari dusun datang ke sini untuk menuntut ganti rugi atas harapan palsu yang sudah kau dan perusahaan kotormu ini jual!.”

Aku ingat sekali wajahku saat itu langsung pucat. Mana ku tahu kalau akhirnya si Bupati itu tidak menepati janjinya? Sudah kubilang, aku cuma tahu cara membuat dan menjual harapan, tapi tidak dengan cara untuk mencapainya. Harus berapa kali aku bilang kalau cara-caranya dijual terpisah?

 

Terbebas dari berbagai masalah yang kuhadapi selama berjualan harapan, akhirnya aku tiba di titik yang bisa kubilang titik tertinggi. Aku bagaikan tak tersentuh. Telah kubangun imperium bisnis penjualan harapan yang aku pun sadar telah kubangun dari titik nol. Bukan lagi partai politik yang sekarang memesan harapan denganku, negara ini pun sudah terang-terangan datang sowan hanya untuk minta dibuatkan harapan. Awalnya aku sangsi, trauma berurusan dengan dunia politik semenjak aku digebuki warga yang tidak puas dengan bupatinya. Tapi karena Bapak Presiden langsung yang datang, hatiku melunak.

Kukerahkan semua pekerja yang aku punya untuk mencetak beratus-ratus juga harapan untuk masyarakat Indonesia. Keuntungan yang kudapat dari proyek tersebut betul-betul menjadikan aku konglomerat yang tak tersentuh. Aku bahkan memutuskan untuk tidak lagi terjun langsung di dunia penjualan, cukup bekerja di balik layar. Lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarga, pergi berlibur ke tempat-tempat yang bahkan tidak sempat kuimpikan di saat miskin dulu.

Terus terang lama-lama membosankan juga menjalankan konglomerasi seperti ini. Tidak ada tantangannya. Semua masalah sudah kutemukan pasangan harapannya. Hal itu terus berlangsung sampai suatu hari seorang artis ibukota datang berkunjung. Dia memaksa bertemu langsung denganku sekalipun penjaga kantor sudah melarang. Alasannya, dia punya suatu masalah yang bahkan aku tak tahu cara pemecahannya.

“Saya merasa terhormat, Bang Bodong, bisa bertemu dengan anda.”

“Tidak perlu merasa begitu. Saya memang sengaja menyuruh anda masuk karena saya tertarik dengan pernyataan anda di luar tadi. Harap anda jangan mencewakan saya.”

“Jangankan kecewa, merasa waktu anda terbuang barang sedetik pun tidak.” Tukasnya dengan penuh keyakinan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun