Mohon tunggu...
Rolando Agustian
Rolando Agustian Mohon Tunggu... -

Seorang dokter muda yang hobi beropini dan berakrobat dengan kata dan aksara

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Brigadir Petrus, Skizofrenia atau Pura-pura?

29 Februari 2016   12:44 Diperbarui: 29 Februari 2016   18:53 983
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="psychcentral.com"]

[/caption]Baru-baru ini media sedang heboh dengan pemberitaan tentang seorang brigadir kepolisian yang memutilasi kedua anaknya yang baru berumur 3 dan 8 tahun. Disinyalir mengidap suatu gangguan kejiwaan, berbagai pendapat diminta dari pakar-pakar psikologi dan psikiatri (perlu dibedakan, psikiatri adalah ilmu kedokteran yang mempelajari kesehatan dan gangguan kejiwaan). Pendapat dari sang ahli ini penting untuk menentukan perlakuan hukum selanjutnya pada Brigadir Petrus Bakus, nama si tersangka. Jika seandainya terbukti mengidap gangguan kejiwaan, menurut undang-undang yang berlaku, tersangka akan terbebas dari hukuman pidana dan akan melanjutkan sisa hidupnya di rumah sakit jiwa.

Yang menjadi pertanyaan adalah, seberapa mudah seseorang untuk didiagnosis skizofrenia, sebuah penyakit kejiwaan yang selama ini diberitakan di media sebagai penyakit yang diidap oleh Brigadir Petrus? Bagaimana hal ini bisa terlewatkan pada saat tes masuk kepolisian? Dan apakah mungkin seorang pelaku untuk berpura-pura menjadi skizofrenik untuk mendapatkan keringanan hukuman? Berdasarkan pertanyaan di atas dan beberapa hal lainnya, saya ingin mengungkapkan sudut pandang saya sebagai akademisi dari fakultas kedokteran mengenai perkara ini.

Ulasan ini akan saya buat dalam bentuk studi kasus. Di media sudah kita dapatkan beberapa fakta yang akan saya rangkum sebagian besarnya di sini:

Terduga penderita adalah Brigadir Petrus Bakus, seorang perwira kepolisian dari Kalimantan Barat, kedapatan membunuh dua anak kandungnya dengan alasan mendapatkan bisikan dari Tuhan untuk mempersembahkan kedua anaknya sebagai korban. Setelah tertangkap oleh rekan sekaligus tetangga yang dimintai bantuan oleh istri dari terduga penderita, Brigadir Petrus langsung menyerahkan diri. Menurut keterangan dari istri, terduga penderita sering marah-marah selama sepekan sebelum terjadinya peristiwa sadis ini.

Riwayat penyakit terdahulu menunjukkan terduga penderita juga pernah mengalami hal yang serupa pada usia 4 tahun, di mana saat itu Brigadir Petrus kecil merasa kedinginan yang hebat. Sampai saat ini tingkah laku dan cara bicara dari terduga penderita kacau, dan terus-menerus mengatakan bahwa suruhan untuk membunuh anaknya itu datang bukan dari dirinya sendiri.

Mendiagnosis Skizofrenia

Dalam mendiagnosis suatu panduan kejiwaan, dunia internasional telah memiliki suatu panduan diagnosis yang tersusun dalam Diagnostic & Stasticial Manual of Mental Disorders V atau yang selanjutnya akan disebut dengna DSM-V. Panduan ini terus menerus diperbaharui seiring dengan perkembangan ilmu kedokteran jiwa dan telah sampai pada update-nya yang ke-5. Menurut DSM-V seseorang dapat dikatakan menderita skizofrenia jika memenuhi 6 syarat di bawah ini:

A. Terdapat 2 atau lebih tanda dan gejala berikut ini selama minimal 1 bulan, yaitu delusi (waham), halusinasi, perilaku dan cara bicara yang kacau, dan gejala negatif

B. Terdapat gangguan dalam menjalankan kehidupan sosial dan pekerjaan

C. Penyakit telah berlangsung selama paling sedikit 6 bulan

D. Tidak ada gangguan mood atau gangguan mood tidak dominan pada fase aktif penyakit

E. Tidak di bawah pengaruh obat-obatan atau zat terlarang

F. Tidak menderita Autistic Spectrum Disorder

Jika kita menganalisa kasus yang telah dipaparkan di atas dengan menggunakan panduan diagnosis dari DSM-V, diagnosis penyakit yang diderita oleh Brigadir Petrus memang mengarah ke skizofrenia. Kriteria A terpenuhi karena sudah jelas terdapat 3 dari 4 gejala utama, yaitu:

1. Adanya delusi atau waham. Waham diartikan sebagai perasaan atau kepercayaan yang salah akan sesuatu yang memang tidak terjadi atau tidak masuk di akal. Dalam kasus ini terduga penderita menderita waham dikendalikan, suatu subgrup dari waham paranoid, di mana pada waham ini terdapat keyakinan yang keliru bahwa keinginan, pikiran, atau perasaannya dikendalikan oleh suatu entitas dari luar.

2. Adanya halusinasi. Halusinasi didefinisikan sebagai persepsi palsu akan sesuatu yang tidak ada. Terduga penderita mempersepsi adanya suara “bisikan dari Tuhan” yang sebenarnya tidak ada dalam realita.

3. Perilaku dan cara bicara yang kacau. Pada kasus ini yang sangat prominen muncul adalah cara bicara terduga penderita yang kacau. Penderita skizofrenia biasanya mengalami inkoherensi (ide antar pembicaraan tidak nyambung dan melompat-lompat) serta neologisme (pembentukan kata-kata baru yang tidak dimengerti oleh orang sekitarnya).

Gejala negatif pada kriteria A tidak jelas keberadaannya pada terduga penderita karena ketidaklengkapan data. Gejala negatif adalah pola perilaku yang cenderung diam, tidak peduli dengan lingkungan, dan tidak ada semangat untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Seberapa lama gejala pada kriteria A ini sudah dialami oleh Brigadir Petrus juga masih belum jelas, apakah sudah mencapai 1 bulan atau belum, sehingga tidak dapat dipastikan apakah kriteria A sudah terpenuhi atau tidak.

Untuk kriteria selanjutnya, kriteria B, sudah terpenuhi karena gejala yang diderita sudah menyebabkan gangguan sosial dan okupasi. Kriteria C masih belum jelas terpenuhi atau tidak, namun diduga penyakit sudah berlangsung bertahun-tahun, ditilik dari penyataan bahwa terduga penderita pernah mengalami episode serangan yang sama pada usia 4 tahun, di mana serangan didominasi oleh halusinasi. Untuk kriteria D, E, dan F, perlu data hasil pemeriksaan yang lebih lanjut, mengenai apakah terduga penderita mengalami gangguan mood (depresi atau manik), menggunakan obat-obatan atau zat terlarang atau menderita autis pada masa kanak-kanak.

Dari analisis di atas dapat dilihat bahwa diagnosis memang mengarah ke skizofrenia. Namun perlu dipertimbangkan diagnosis lain seperti gangguan psikotik sekunder akibat kondisi medis umum atau penggunaan zat terlarang, gangguan skizofreniform atau gangguan psikotik singkat (ditinjau dari durasi waktu penyakit yang lebih singkat dari skizofrenia), gangguan skizoafektif (jika ternyata disertai dengan gangguan mood depresi atau manik) atau bahkan sekedar kepura-puraan untuk menghindari hukuman (malingering).

Yang menarik dari beberapa diagnosis lain di atas adalah bagaimana membedakan gangguan kejiwaan sungguhan seperti skizofrenia dan gangguan kejiwaan pura-pura belaka atau yang sering dikenal dengan istilah malingering. Kecurigaan bahwa seseorang akan melakukan malingering harus timbul jika terdapat keuntungan yang bisa diperoleh (seperti terbebas dari hukuman) dari peran sakit yang didapat setelah berhasil melakukan malingering. Dalam kasus ini, terang saja kecurigaan itu otomatis muncul. Namun, mengingat episode serangan yang sama pernah ada di saat terduga penderita berusia 4 tahun, kecil kemungkinan episode yang saat ini merupakan kepura-puraan belaka.

Dua gejala utama skizofrenia (delusi dan halusinasi) cenderung dapat menjadi pembeda yang jelas antara skizofrenia dan malingering. Pada penderita yang berpura-pura, umumnya akan menyatakan bahwa ia mendengar suara halusinasi yang sayup-sayup, memerintahkan dia untuk melakukan sesuatu dengan bahasa yang teramat kaku dan formal (seperti: bunuh anakmu!), serta selalu menuruti setiap perintah dan tidak berusaha melawan. Hal ini berlawanan dengan penderita skizofrenia sungguhan yang cenderung mendengar halusinasinya dalam bahasa awam sehari-hari dan berusaha melawan halusinasinya dengan melakukan aktivitas lain untuk menekan suara-suara yang mengganggu.

Delusi yang dialami oleh seorang pelaku malingering juga sering diungkapkan sebagai delusi yang muncul secara tiba-tiba. Sedangkan pada penderita skizofrenia, delusi tersebut cenderung kompleks sehingga butuh waktu yang lama untuk membangun delusi yang sedemikian kuatnya.

Mendeteksi Skizofrenia dan Gangguan Kejiwaan Lain

Kasus mutilasi yang diduga disebabkan oleh gangguan kejiwaan ini menimbulkan sebuah pertanyaan besar: bagaimana bisa gangguan ini terlewatkan pada saat pemeriksaan kesehatan sebagai syarat masuk kepolisian? Sebagai informasi awal, tes kesehatan kepolisian mencakup beberapa tahap, yaitu pemeriksaan luar (tanda vital, THT, kulit kelamin dll); pemeriksaan laboratorium, EKG, dan pencitraan (ronsen dll.); serta pemeriksaan gangguan jiwa atau psikiatri. Tes gangguan jiwa dan psikiatri hanya dilakukan lewat kuesioner 600 soal, yang memiliki kemungkinan, walaupun kecil, untuk dipalsukan hasilnya oleh seseorang yang pada saat itu mengidap gangguan jiwa yang tidak terlalu berat, misalnya sedang dalam fase laten atau residual dari penyakit skizofrenia.

“Kecolongan” ini juga menimbulkan keraguan pada masyarakat akan proses seleksi penerimaan calon polisi baru. Desas-desus yang selama ini berembus, mengenai banyak calon polisi baru yang masuknya lewat “jalur belakang” makin kencang terdengar setelah kasus Brigadir Petrus ini muncul di media. Sebenarnya kasus gangguan kejiwaan ini bukanlah yang pertama kali timbul di tubuh kepolisian. Sebelum kasus mutilasi sudah ada serentetan kasus lainnya seperti polisi yang menyiksa tahanan, membunuh sesama polisi, pacar atau istri, dan yang sempat fenomenal adalah polisi dan depresi lalu bunuh diri akibat putus hubungan dengan pacar.

Ini menjadi teguran keras bagi Polri, untuk kembali memperketat tes saringan masuk bagi calon polisi baru, terutama di sektor tes kesehatan, serta melakukan tes kesehatan komprehensif secara berkala bagi para polisi yang sudah ada, mengingat gangguan kejiwaan sangat rentan dipicu oleh beban kerja dan stres hebat yang memang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup seorang polisi. 

-Rolando Agustian Halim, Dokter Muda di Fakultas Kedokteran Unviersitas Sriwijaya / Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Moehammad Hoesin-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun