Mohon tunggu...
Roka Tenda
Roka Tenda Mohon Tunggu... -

I am a truth seeker

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Insiden Tolikara: Peristiwa Kecil dengan Reaksi Berlebih!

21 Juli 2015   09:54 Diperbarui: 21 Juli 2015   10:21 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

tidak pernah saya duga kasus Tolikara begitu mendapat perhatian luar biasa dari media nasional dan pemerintah Republik Indonesia. seolah Indonesia sedang berada dalam keadaan genting a.k.a darurat militer luar biasa, sehingga mulai dari tingkat kepala dusun sampai presiden semuanya merasa harus bersuara dan berpendapat. tentu juga para politisi jalanan yang sekarang banyak berkantor di gedung rakyat. reaksi yang sangat berlebihan menurut saya,  seolah menjadi isu seksi yang perlu diolah sedemikian sehingga semakin meningkatkan popularitas. 

bagi saya kerusuhan Tolikara biasa-biasa saja, bahkan tidak ada apa-apanya. satu-satunya yang luar biasa adalah karena yang dianggap korban di sini adalah umat islam, dan pelakunya adalah kristen. selebihnya, soal  intoleransi dan pencemaran amanat konstitusi dalam kaitan dengan kebebasan beribadah, tidak ada yang luar biasa sehingga kita semua harus mengerutkan dahi dan mengurut dada seolah Indonesia sedang berada di ambang kehancuran. 

1. intoleransi agama bukan hal baru di Indonesia 

dengan kata lain,  intoleransi dalam kebebasan beragama merupakan hal biasa di Indonesia, bahkan dianggap sebagai kewajaran. kalau orang Indonesia mau jujur, negara kita ini mungkin yang paling tidak toleran dengan negara lain di manapun di muka bumi ini. hal ini bukan saja nampak dalam maraknya penutupan rumah ibadah non muslim dan sekte muslim, tetapi juga lewat prilaku kaum muslim yang melihat siapapun yang berbeda dari agama dan golongan mereka dengan cap-cap seperti kafir, laknatullah, murtadin, musyrik, dst. setiap orang yang mencap orang lain dengan sebutan seperti itu pada hakikatnya adalah orang-orang atau kelompok yang tidak toleran. dan di Indonesia orang-orang seperti ini sudah terlalu banyak. saking banyak dan seringnya ucapan ucapan seperti terlontar, maka dianggap sebagai kewajaran dan sekaligus kebenaran yang tidak perlu diperdebatkan oleh pejabat negara dan media massa.  ketika ada yang berbeda pandangan dari mereka saja langsung dicap demikian dan dikutuk dengan sumpah serapah membawa nama-nama neraka jahanam dan kebun binatang. sayang memang, tetapi itulah kenyataan intoleransi yang masih tetap dipelihara hingga hari ini.. 

kerusuhan Tolikara jika dilihat dalam kacamata toleransi intoleransi saya kira bukan sesuatu yang harus kita persoalkan dengan membuang energi yang begitu besar. melihat prilaku intoleran orang Indonesia, maka hal itu merupakan bagian dari kewajaran. mengapa kita begitu buta terhadap prilaku intoleran diri kita dan begitu peka terhadap prilaku intoleran kelompok lain terhadap diri dan kelompok kita? ini pertanyaan serius yang harus kita jawab bersama. 

2. yang luar biasa: perspektif korban dan pelaku

seperti yang saya katakan di atas, yang luar biasa dari insiden kecil adalah karena korbannya umat muslim dan pelakunya non muslim. kalau dua variabel ini terpenuhi, maka kejadian sekecil apapun akan menjadi heboh dan tampil seksi di publik Indonesia. semuanya seperti merasa tertindas dan harus berteriak lantang, mulai dari kecaman, kutukan, tuntutan permohonan maaf, aksi balas dendam, sampai keluar fatwa bahwa darah si pelaku halal ditumpahkan. sementara kalau skenarionya berbeda, tidak akan pernah ada reaksi seperti ini. intinya, kalau muslim membunuh muslim dianggap tragedi; muslim membunuh kafir itu mujahid; kafir membunuh kafir itu kutukan; dan kafir membunuh muslim adalah penindasan. yang tidak dilihat adalah peristiwa itu sendiri, tetapi pertama-tama adalah siapa korban dan siapa pelaku. setelah memenuhi kriteria tersebut, barulah isu-isu lain sekitar kejadian tersebut digali dan diolah, bahkan secara berlebihan sehingga seperti negara dalam keadaan genting. 

3. kerusuhan Tolikara: arogansi aparat kepolisian terhadap sipil

seandainya saja semua pihak mampu melihat jernih insiden Tolikara, tanpa dikaitkan dengan agama,  maka yang terjadi adalah perilaku kesewenang-wenangan aparat keamanan terhadap sipil. aparat yang tidak mampu berdialog dan arogan serta royal mengeluarkan pelurulah yang menjadi pemicu seluruh insiden ini. kalau tidak ada tembakan yang akhirnya menjatuhkan korban jiwa, saya jamin tidak akan terjadi seperti yang kita sekalian sekarang. inilah fakta yang terjadi di lapangan, sebagaimana hasil investigasi komnas ham. sayangnya, fakta sedemikian penting ini menjadi tidak bermakna apa-apa karena umat islam dianggap sebagai korban. padahal jelas, korbannya adalah justru masyarakat GIDI Tolikara dan pelakunya adalah aparat kepolisian yang mengeluarkan tembakan. bila sungguh-sungguh ingin agar peristiwa ini tidak terulang di kemudian hari,  maka pemerintah harus jeli mengurai fakta tersebut. 

sebuah akhir kata saya hanya dapat menyimpulkan bahwa insiden Tolikara hanyalah peristiwa kecil yang hanya dipicu reaksi berlebihan dari pihak kepolisian (pra insiden), dan peristiwa in toleransi biasa yang mendapat reaksi berlebihan dan masyarakat Indonesia (pasca insiden). anda setuju kan???  ;)

selamat beraktivitas. 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun