Bagian dari Earthenware.
Guru sudah berupaya sekuat tenaga agar pembelajaran menjadi menarik bagi siswa. Yang ada dalam pikirannya adalah ketika dia menyampaikan materi melalui Canva yang dibuat beberapa hari lalu, ada harapan besar kalau siswa akan penuh antusias untuk menyimak dengan tekun semua hal yang dia samaaikan. Tidak seluruh harapannya pudar, beberapa anak memperhatikan dengan baik, matanya tajam ke arah tayangan canva dan sesakali tertawa kecil mendengar hal lucu yang disampaikan guru. Di pojok kanan belakang, 2 orang anak tidak peduli sama sekali. Mereka asyik dengan kesibukan mereka, sesekali mencuri pandang ke arah bawah dengan gadget di tangan kiri. Entah apa yang dilakukannya, scrolling TikTok atau menunggu orderan Gofood. Yang pasti mereka kurang concern terhadap Pelajaran. Yang deret ke-2 dari belakang lebih parah lagi. Beberapa anak kedapatan main Mobile Legend saat guru berupaya menyampaikan ilmu kepada mereka.
Skrolling TikTok, menonton Shorts, dan main gim online adalah bentuk distraksi. Seharusnya hanya distraksi sesaat. Istilah distraksi ini sebenarnya muncul di berbagai bidang. Dalam dunia kedokteran, khususnya saat pembedahan pada tubuh pasien, diupayakan distraksi untuk mengalihkan focus pasien agar rasa sakit tidak terlalu mendominasi. Ketika anak laki-laki disunat, biasanya mereka diberikan distraksi, mulai yang diajak ngobrol, disuruh membaca hafalan Quran, sampai diperlihatkan film kartun 3D melalui alat virtual reality. Semua untuk mengalihkan perhatian sesaat. Ya, sesaat. Yang terjadi saat ini adalah distraksi itu bukan lagi sesaat, bahkan berjam-jam. Bisa jadi ini bukan lagi distraksi, karena kegiatan yang dilakukan bukan lagi sesuatu yang singkat. Fokus anak yang semestinya adalah belajar dan memperhatikan guru mengajar menjadi bermain gadget. Demikian juga di rumah. Waktu yang semestinya dapat digunakan untuk membaca buku atau mengobrol dengan keluarga atau bermain sepeda bersama teman, tersita oleh aktivitas individu bersama gadget.
Suatu saat, ketika bersama-sama dengan guru dalam sebuah workshop, saya ditanyakan tips agar anak tidak terus menerus bermain dengan gadget. Terus terang ini pertanyaan yang berat dan saya pun tidak ingin sok tahu dan terlihat tidak memiliki masalah dengan penggunaan gadget pada anak. Di sebagian besar sekolah, gadget adalah barang legal untuk digunakan dalam pembelajaran. Â Guru-guru menggunakan Quizziz, Kahoot, Whatsapp, Youtube, dan lain-lain sebagai alat bantu berkomunikasi dengan siswanya maupun memberikan pendekatan yang lebih kekinian dalam menyampaikan pembeljaran. Sehingga, untuk memisahkan antara perangkat/gadget dan pembelajaran menjadi sesuatu yang sulit. Benarkah sulit? Saya khawatir jangan-jangan pikiran kita terlalu konvergen dan menganggap gadget adalah benda wajib. Ini sekaligus untuk kritik terhadap diri saya. Seberapa berat memisahkan anak dengan gadget? Sehingga semua serba sulit. Boleh jadi ini adalah sisi mindset tetap kita yang menganggap kemodernan pembelajaran harus terkait dengan gadget. Juga AI (artificial intelegent). Sampai-sampai kita takut kalau anak-anak kita tidak literat digital.
Sejujurnya saya berpendapat, memisahkan gadget dari dunia anak adalah solusi ideal yang mesti ditempuh dengan membunuh segala keraguan dan kecemasan kita terhadap angan-angan kebodohan. Justru sebaliknya. Bukankah gadget menyebabkan mereka tidak sadar untuk belajar, susah untuk membantu pekerjaan rumah, menyita waktu untuk bermain sepeda, bahkan kalau dihubungkan dengan Kesehatan mental, mereka berada dalam kecemasan yang seharusnya tidak mereka alami. Ditambah lagi sekarang ada istilah brainrot, sebuah penyakit mental modern terkait menurunnya kemampuan otak akibat berlebihan mengkonsumsi konten-konten sampah. Setelah itu mereka cemas dan depresi. Secara sistemik dan structural memang harus ada kesadaran bersama tentang hal ini. Guru-guru meminimalkan atau meniadakan penggunaan gadget, orang tua mendukung dengan menyimpan atau membuang gadget-gadget mereka, dan pemerintah/masyarakat turut mendukung penuh dengan membuat regulasi yang menghambat/membatasi akses gadget untuk anak. Tanpa langkah yang sistemik ini, pembatasan akases gadget pada anak/siswa hanya akan menjadi perdebatan yang tanpa ujung. Beberapa negara sudah mulai menerapkan regulasi akses gadget secara sistematis dan terstruktur, sekaligus memberikan solusi yang jauh lebih baik misalnya dengan kebijakan kembali ke buku dan pena. Â Kebijakan ini tentu lahir dari kesadaran akan dampak gadget yang demikian merusak. Sebenarnya kita tidak perlu takut jika anak tidak mengakses gadget pintar. Keterampilan menggunakan gadget bukanlah keterampilan sulit. Yang sulit adalah menumbuhkan literasi digital: mengakses konten yang baik, memahami informasi yang diperoleh, dan menggunakannya untuk kemaslahatan. Ini perlu dibiasakan dengan belajar dari sumber-sumber yang benar, banyak membaca, bernalar, dan membuka wawasan untuk hal-hal baik. (bersambung).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI