Mohon tunggu...
Rohmat Sulistya
Rohmat Sulistya Mohon Tunggu... menulis, karena ingin.

Kesuksesan terbesar adalah mendapat hidayah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Semua Hal Adalah Guru

27 Februari 2025   09:57 Diperbarui: 27 Februari 2025   09:57 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sambungan dari Saya Juga Membaca Mindset-nya Carol Dweck

Bagian dari Earthenware.

Itu semua adalah contoh-contoh kecil yang terkadang kita mengabaikannya. Atau sering kali kita kurang berpikir akan hal tersebut. Ketika saya menumpang taksi online ke bandara, banyak hal yang dapat saya serap dari para driver. Apalagi ketika mendapatkan driver taksi yang ekstrovert dan mudah bercerita. Hal-hal yang belum saya tahu, dari dialog saya dengan driver, akhirnya saya mendapat wawasan. Ada yang bercerita tentang perbandingan skema taksi online yang sudah tidak segacor masa lalu. Ada yang bercerita tentang pekerjaannya disamping kuliah yang dia jalani, dan banyak lagi. Ada juga yang mengeluhkan kesusahan hidup dan saya pun mendengarkan dengan cermat sebagai pelajaran. Ketika membeli bakso keliling, saya jadi tahu strategi jalur keliling untuk menjual bakso. Dari saya belajar sayuran kepada Mbah Ranto, saya jadi mengetahui betapa kecilnya margin keuntungan berdagang penganan dan sayur. Dari pedagang sayur keliling yang sudah berusia lanjut itu pulalah, saya jadi lebih mengerti makna kepasrahan pada Tuhan, tentang makna keberterimaan, dan tentang usaha yang harus dilalui.

Sehingga pemberi wawasan baru atau pemerkaya wawasan yang kita punya sejatinya adalah guru bagi kita. Entah itu orang, lingkungan, fenomena, berbagai tulisan, dan sebagainya. Banyak dari kita menganggap bahwa ilmu-ilmu berada di ruang-ruang kelas dan perpustakaan. Itu benar sekali dan itulah sumber ilmu utama. Tetapi di jaman sekarang, kita memang harus membuka mindset kita lebih luas. Seandainya kita hanya mengandalkan guru di kelas dan perpustakaan maka tentu wawasan kita kan sangat sempit. Bagaimana mungkin kita akan menganggap pepustakaan sebagai sumber ilmu, sementara kita tidak pernah menbaca buku. Kita hanya membaca medsos dan whatsapp. Walaupun memang, buku adalah sumber utama ilmu. Dan itu terjadi ketika kita membacanya.

Lingkungan adalah juga guru. Kontekstualisasi pada sebuah pembelajaran akan lebih mencapai makna daripada pembelajaran yang tanpa konteks. Saya belajar tentang integral dan diferensial. Saya juga belajar tentang ketetimbangan benda tegar. Saya pun belajar tentang Mesopotamia dan Babilonia. Yang saya peroleh dari integral dan diferensial adalah saya bisa menyelesaikan soal-soal  -yang bagi saya- sangat sulit. Apalagi soal-saoalnya sudah berbicara sinus, cosinus, dan tangen. Selebihnya saya kurang begitu tahu apa makna integrasi dan diferensiasi dalam konteks yang lebih luas. Sangat mungkin saya kurang membaca untuk lebih tahu fungsi ilmu tersebut dalam konteks yang riil. Tetapi bisa juga terjadi bahwa kontekstualisasi saat pembelajaran tidak terlalu dilakukan, sehingga pemahaman yang saya peroleh kurang membumi. Pun demikian ketika belajar fisika pada materi kesetimbangan benda tegar. Untuk materi ini, saya merasa ini lebih riil daripada contoh sebelumnya. Karena dalam buku-buku selalu digambarkan konteks kasus atau fenomena kesetimbangan benda tegar. Untuk konteks tertentu, gambar ternyata dapat memberikan pemahaman yang lebih riil daripada tanpa gambar sama sekali. Mesopotamia dan Babilonia juga sering membuat saya tidak mengerti mengapa itu dipelajari. Saya tidak sedang menggugat kebermanfaatan pelajaran-pelajaran tersebut untuk saya, tetapi saya hanya ingin bertanya, mengapa peristiwa-peristiwa sejarah itu tidak membuat kita lebih baik. Padahal ilmu sejarah pasti bermanfaat untuk kita. Kita semestinya akan lebih baik ketika kita mengambil pelajaran dari masa lalu. Yang baik dikembangkan, yang sesat jangan diulangi. Mengapa juga pengetahuan sejarah-sejarah Indonesia tidak membuat kita bangga dengan kebesaran negeri ini. Bahkan sebaliknya, kita semakin tidak tahu apa yang terjadi dengan pendiri-pendiri bangsa. Kita bahkan acuh dengan kondisi yang tidak baik ini.

Kontekstual terkait dengan kekinian dan kesinian. Kekinian menyebabkan anak cepat menghubungkan antara pembelajaran dengan situasi waktu yang ia rasakan dalam masa ini. Kesinian menghindarkan dari terputusnya keterkaitan pembelajaran dan situasi ruang/tempat dia berada. Kurang relevan seandainya, anak Indonesia belajar tentang suhu tetapi konteks situasinya adalah musim dingin di Seoul. Tetapi sangat kontekstual, ketika membelajarkan pengaruh-pengaruh budaya luar dengan mencontohkan bagaimana budaya Korea bisa sampai ke seluruh dunia. Saya pikir, para guru di kelas sudah sangat paham tentang hal ini. Hanya, bagaimana menerapkan secara smooth yang masih menjadi tantangan besar. Beberapa guru mengeluh tentang kurangnya perhatian siswa dalam pembelajaran. Mereka juga mengeluh tentang sangat kecilnya kesadaran siswa dalam belajar. Ini adalah problem kompleks yang harus ditinjau dari bayak perspektif. Tidak fair rasanya ketika kita hanya menyalahkan guru. Pun tidak fair juga ketika menyalahkan siswa dengan gadget-nya. Bisa jadi ini adalah masalah global yang semua bingung bagaimana mengatasinya. (bersambung)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun