Mohon tunggu...
Rohmat Sulistya
Rohmat Sulistya Mohon Tunggu... menulis, karena ingin.

Kesuksesan terbesar adalah mendapat hidayah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Manusia dan Tanah Liat

13 Februari 2025   09:38 Diperbarui: 13 Februari 2025   09:38 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bagian ke-3 dari Earthenware

Kembali pada tulisan ini, mengapa memilih kata earthenware, saya pikir ini merupakan local wisdom atau kearifan lokal bahwa Indonesia itu sebenarnya mempunyai sesuatu hal yang istimewa dan ditemukan di hamper semua wilayah di Indonesia. Kalau kearifan lokal harusnya "gerabah" dong. Okelah, earthenware. Keberadaan tanah liat merah yang hampir merata di Indonesia -atau bahkan di belahan dunia- pasti bukanlah sebuah kebetulan.

Dalam catatan sejarah manusia, penemuan tanah gerabah sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk kemudahan hidup berkorelasi dengan penemuan api. Dan perkenalan manusia dengan gerabah menjadi transisi peradaban yang sangat penting, Dalam transisi tersebut, manusia menuju kondisi keteraturan dalam hidup: lebih menetap, mengenal wadah, berbudidaya, dan memulai untuk menyimpan sesuatu. Ini terjadi pada jaman prasejarah, fase neolitik, sekitar 10.000 tahun lalu.

Kalau kita hubungkan lebih jauh dengan tinjauan transendental,  kita akan mendapati istilah tanah tembikar secara sangat eksplisit di dalam kitab suci. Tuhan menciptakan manusia dari tembikar itu bisa kita temukan dalam sebuah ayat di Al Quran atau dan mungkin kitab suci lain. Sehingga adalah sebuah kepastian, bahwa tanah liat itu mempunyai posisi yang sangat istimewa di dalam proses kehidupan manusia atau di dalam ruang lingkup hidup manusia. Kemudian dari sini kita harus punya nalar kritis, mengapa earthenware atau tanah tembikar atau tanah liat ini memiliki posisi yang sangat penting dalam hidup manusia. Dalam kita suci agama-agama besar di bumi, menyebutkan manusia diciptakan dari debu, tanah liat kering yang dibentuk kemudian ditiupkan ruh. Tentu saya tidak berkapasitas membahas tentang hal ini; walaupun saya sangat menganjurkan untuk belajar tentang hal ini agar pemahaman kita tentang fenomena menjadi utuh, tidak hanya dari sisi materiilnya. Selain dari tinjauan agama, mitologi Yunani dan mesir pun juga menyatakan bahwa manusia dibuat dari tanah yang dibentuk. Dari paham filsafat, misalnya Taoisme, juga menyatakan bahwa manusia adalah bagian dari alam sehingga harus menjaga keseimbangan dengan alam. Sedangkan tradisi-tradisi kuno dibeberapa belahan bumi mengatakan manusia terdiri dari unsur tanah, kayu, dan api. Sekali lagi, saya hanya ingin menyampaikan bahwa manusia tidak lepas dari tanah. Bahkan secara spesidik dikatakan tanah liat atau tembikar. Sehingga pasti ada korelasi yang sangat dalam antara badan manusia, kehidupan manusia, dan tanah liat tembikar atau earthenware.
Korelasi Manusia dan Tanah

Dalam kajian sains, ternyata manusia dan tanah memiliki kesamaan, terutama pada unsur pembentuknya. Secara kasat mata, kalau kita perbandingkan, barangkali akan terlihat perbedaan yang nyata. Tanah bersifat keras dan kasar, manusia lembut dan lunak. Tanah relative kering, manusia relative basah. Tanah dominan anorganik, manusia terdiri dari daging yang organic. Lalu dimana letak kemiripannya?

Kita akan mendapatkan bukti yang sahih ketika kita menelitinya secara mendalam juga. Kemiripan ini ternyata terbukti ketika kita menyelidiknya dari sisi unsur kimianya. Tentu kita paham bahwa unsur terkecil dari sebuah benda atau entitas bisa kita dapatkan melalui tinjauan kimia. Atom dan unsur pembentuk sesuatu dapat kita pelajari dari ilmu kimia. Ada 3 molekul pokok penyusun tanah liat tembikar, yaitu silikat, aluminat, dan hidrat. Kalau kita urai ke unsur penyusunnya yang utama dalah unsur silicon, aluminium, dan hydrogen -- oksigen yang membentuk air. Dari unsur-unsur tersebut membetuk senyawaan dengan oksigen menghasilkan mineral silika (SiO2), alumina (Al2O3), dan air (H2O). Sedangkan unsur-unsur yang lain melengkapi kandungan tubuh manusia tetapi dalam jumalah yang kecil seperti besi, magnesium, kalsium, dan natrium. Penjelasan secara ilmiah ini penting bagi kita untuk mengetahui ilmu tanah secara komprehensif. Saya menemui beberapa orang yang ingin belajar keramik (termasuk tentang earthenware di dalamnya) secara fundamental, tetapi begitu bertemu dengan ilmu kimia, merasa cukup kesulitan. Mungkin hal ini cukup wajar karena ada pemisahan yang cukup lebar antara ilmu sains dan humaniora termasuk seni di dalamnya. Akibatnya, ketika keramik dipelajari oleh orang seni, terkadang keluasan belajarnya tidak menyentuh secara mendalam pada aspek sains. Padahal sesungguhnya, keramik ini ilmu yang kompleks dan integrative. Cabang-cabang ilmu seperti kimia, fisika, matematika, geologi, desain dapat kita jumpai ketika kita belajar keramik.

Kembali pada korelasi tanah liat dan tubuh, pada tubuh manusia juga mengandung banyak unsur yang sama, tertapi dalam proporsi yang berbeda. Misalnya, unsur-unsur utama tubuh manusia terdiri dari oksigen, karbon, hydrogen, nitogen, kalsium, fosfor, kalium, sulfur, natrium, klor, magnesium, besi dan seng. Unsur-unsur C, H, O dalam senyawaannya akan cenderung membentuk sesuatu yang organic, sedangkan unsur-unsur lain akan terlarut dalam cairan-cairan yang ada di dalam tubuh. (Bersambung)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun