Mohon tunggu...
David Rohans R Hutagaol
David Rohans R Hutagaol Mohon Tunggu... Akuntan - I write what i think

My name is David Rohans Rivaldo Hutagaol | An idealistic scatterbrain who loves reading, writing, listening, analyzing and travelling | A banker (someday) | A man with too many questions inside his head, who's interested in politic, music, social and economy |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"When Connectivity and Truth Became Ubiquitous"

17 Februari 2018   06:59 Diperbarui: 19 Februari 2018   12:53 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seperti pada prolog yang udh gue kemukakan, mengenai krisis ekonomi di tahun 1998, lalu 10 tahun berselang disusul krisis ekonomi di tahun 2008 (untungnya di tahun 2008, Indonesia tidak terkena dampak besar krn kejeniusan seorang Sri Mulyani). Bagaimana dengan tahun 2018? Mari kita bedah satu persatu. Di tahun 1998, krisis yg disulut oleh masalah di neraca pembayaran, ketidakmampuan swasta membayar hutangnya krn pelemahan nilai mata uang kita. Sedangkan di tahun 2008 dipicu oleh produk derivatif,mortgage di AS. Namun terkait dengan krisis ekonomi di AS yang disebabkan oleh mortgage, anda bisa baca buku "Too Big Too Fail". Gue lupa nama author nya. Di buku itu, detail banget digambarin mengenai krisis ekonomi di Amerika. Akibat spekulan properti yang memicu buble di Amerika, kurangnya mitigasi resiko, dll. Btw, bukunya blm di translate ke bahasa Indonesia.

 Gue mau cerita sedikit mengenai teori ekonomi. Oke, gue anak akuntansi. Dulu wkt gue kulia, gue pernah belajar teori ekonomi dan teori akuntansi.  Pernah dengar teori overinvestment? Teori ini menyalahkan pelonggaran moneter dan suku bunga terlalu rendah yg menyebabkan masif nya investasi yg kemudian menjadi resesi. Ini sekedar teori. Tp tidak ada salahnya kalo gue bedah dan kaitkan satu sama lain, sesuai judul "Connectivity and Truth Became Ubiquitous". Tahun 1998 krismon, tahun 2008 krisis ekonomi yg disebabkan produk derivatif, dan tahun 2018? Siklus krisis 10 tahunan? Di tahun 2018, menurut  gue pribadi, BI hrs jalankan roh nya sebagai penjaga stabilitas keuangan. Di awal 2018 ini, harusnya BI mulai memperketat kebijakan moneter nya dengan menaikkan suku bunga.

Di tengah melambatnya pertumbuhan kredit, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) justru cenderung meningkat. Sementara itu, meskipun Bank Indonesia sudah beberapa kali menurunkan suku bunga acuannya (BI 7 days repo rate) ternyata tidak otomatis mempengaruhi penurunan suku bunga kredit. Net Interest Marginyg rata rata masih diatas 5% menyebabkan sektor riil semakin berat menyerap kredit dari perbankan. Situasi ini menunjukkan terganggunya fungsi intermediasi bank.

Di tahun 2018 ini, Pemerintah mulai membentuk holding BUMN.  Di bidang tambang, Pemerintah menunjuk PT Inalum menjadi holding atau induk usaha dan membawahi 3 perusahaan lain yaitu PT Timah Tbk, PT Aneka Tambang Tbk dan PT Bukit Asam Tbk. Di sektor Perbankan dan jasa keuangan, Pemerintah menunjuk PT Danareksa (PERSERO) sebagai holding. Danareksa sebagai holding dan bakal berperan sebagai induk usaha 4 bank plat merah (BNI, BRI, BTN dan Mandiri) dan juga membawahi perusahan -- perusahaan jasa keuangan milik negara yaitu PT Pegadaian, PT Pemodalan Nasional Madani (PNM) dan PT Jalin Pembayaran Nusantara. Mungkin beberapa dari anda belum familiar dengan PT Jalin Pembayaran Nusantara. Oke, PT Jalin Pembayaran Nusantara adalah perusahaan milik negara yg bergerak di sektor jasa keuangan. Productnya adalah ATM Link. Yg selama ini sudah tersebar di Jakarta dan sekitarnya. Dan bagaimana di sektor Migas? Di sektor Migas, rencanya Pertamina akan menjadi holding. Pertamina akan membawahi PGN.

Menarik untuk dibahas adalah PGN terkait dengan holding BUMN di bidang migas. Gue bakal bahas pengalaman sedikit terkait dengn fluktuasi harga saham PGN di pertengahan Januari. PGN atau Perusahaan Gas Negara punya kode "PGAS" di Bursa Efek Indonesia. Gue sebagai trader, dari dulu berharap banyak di saham PGAS.  Gue beli beberapa lot stlh pelantikan Jokowi sebagai RI 1. Gue berharap proses migrasi dan keseriusan pemerintah dari BBM ke BBG terealisasi.

Apalagi di awal, concern Jokowi ingin membangun infrastruktur Gas di Indonesia. 2 tahun yg lalu kurang lebih, gue beli saham PGAS dan harga saham nya stuck. Tidak bergerak. Yg mana kalo dijual gue bakal rugi. Krn fee saat beli x 0,2, sedangkan fee saat jual x 0,3. Saham PGAS tidak bergerak, stagnan, yg menandakan saham ini tidak diminati investor. Stlh turun beberapa poin, gue memutuskan untuk cut loss saham tersebut. Stlh itu gue ga pernah ngambil saham PGAS lg.

Trus, di pertengahan Januari 2018, dikarenakan ada issue bahwa saham Pertamina di Pertagas akan diambil alih oleh PGN, hal ini menyebabkan tren positif di PGAS. Besoknya rally lanjut. Harga PGAS melonjak. Average harga saham PGAS di kisaran Rp 1.700 -- Rp 1.800 / lembar , namun di pertengahan Januari 2018, harga PGAS sempat menginjak di Rp 2.660 / lembar. Harga yg roller coaster dikarenakan adanya investor kakap yg masuk dan ingin take profit, dengan kekuatan modal bisa memainkan harga, spekulasi.  Fluktuasi yg roller coaster ini yg menyebabkan nama PGAS naik menjadi headline di kalangan trader dan investor. Syukurnya by the way, gue masuk di harga Rp 1.960, dan gue lepas di Rp 2.480. Haha. Saat rally lanjut, tepat jam 10 pagi, gue pantengin dari kantor. Saat harga melonjak jauh, gue lepas di kisaran Rp 2.480.

Pembentukan holding Migas ini gue rasa perlu. Knp? Agar bisa berkompetisi dengan perusahaan asing, terutama Petronas Malaysia. Kenapa gue blg Petronas Malaysia sebagai acuan? Krn kalo ngeliat laporan keuangan Pertamina, PGN dan Petronas, jauh banget. Tingkat profit dan efisiensinya Petronas jauh lbh unggul. Maka dengan pembentukan holding di sektor Migas diharapkan bakal lebih efisien, ada pendalaman usaha dan kompetitif di tingkat global. Terkait dengan rencana PGN ingin mengakuisis Pertagas dari Pertamina, cukup tepat. Hal ini dikarenakan secara asset, PGN lbh besar dibanding Pertagas,

Pengalihan 57% saham Pertamina di Pertagas, menjadi PGN sebagai pemiliknya cukup membawa angin segar di PGN. PGN merupakan perusahan publik, bagaimana dengan sahamnya? Saham PGN, hanya yg seri B saja yg diserahkan ke Pertamina, sedangkan saham seri A tetap milik PGN. Dan PGN memiliki hak veto dan setelah pengalihan 57% saham dari Pertamina ke PGN, akan ada valuasinya yg akan diumumkan oleh Pemerintah. Terkait dengan harga saham, hingga hari ini (Jumat, 16/02/2018), average saham PGN di sepanjang Februari Rp 2.310 ke Rp 2.430. Namun penutupan di tanggal 15/2/2018, saham PGN tutup di Rp 2.530, bullish!

Kita beralih ke sektor tambang. Dimana PT Inalum sebagai holding dan membawahi 3 anak usaha lainnya. Bedanya dengan PGN, pemerintah tidak menambah modal atau tidak mengeluarkan duit sepeserpun ke PT Inalum sebagai holding. Kok bisa? Krn Pemerintah mengalihkan kepemilikan saham milik pemerintah di 3 anak usahanya yaitu PT Timah Tbk, PT Aneka Tambang Tbk dan PT Bukit Asam Tbk ke PT Inalum, hal ini yg membuat Pemerintah tidak perlu mengeluarkan uang sepeserpun dr kas negara. Dengan kepemilikan 65% di 3 anak usahanya, dan menyerahkan ke Inalum, hal ini bertujuan untuk  memperkuat posisinya sebagai induk usaha tambang.

Arah ekonomi Indonesia saat ini bisa dibilang 60:40. Kemungkinan untuk krisis, ada, Cuma peluangnya masih sedikit dan gue yakin pemerintah bisa melakukan mitigasi resiko dengan baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun