Mohon tunggu...
Rofinus D Kaleka
Rofinus D Kaleka Mohon Tunggu... Insinyur - Orang Sumba. Nusa Sandalwood. Salah 1 dari 33 Pulau Terindah di Dunia. Dinobatkan oleh Majalah Focus Jerman 2018

Orang Sumba, Pulau Terindah di Dunia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pakondongo, Tradisi Bawa Lari Perempuan dalam Masyarakat Sumba

9 Desember 2019   20:53 Diperbarui: 9 Desember 2019   21:01 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam kehidupan sosial masyarakat Sumba, khususnya yang berkaitan dengan perkawinan, kadang-kadang terjadi peristiwa bawa lari perempuan atau biasa juga disebut kawin lari. Masyarakat suku Kodi di Kabupaten Sumba Barat Daya menyebutnya sebagai Pakondongo (dibaca: Pkondong).

Peristiwa Pakondongo sudah sangat langka sekarang ini. Pada era sebelum tahun 1980-an, peristiwa tersebut masih sering disaksikan.

Bukan Tradisi Wajib

Pakondongo adalah suatu peristiwa di mana seorang laki-laki dewasa bersama saudara-saudaranya dan atau keluarganya mengambil atau membawa (paksa dan atau tidak) seorang perempuan atau wanita (umumnya masih gadis) yang disukai untuk dijadikan calon isteri. Perempuan tersebut dibawa ke rumah orang tua laki-laki dan diperlakukan secara baik-baik.

Sesungguhnya Pakondongo, bukan suatu tradisi wajib dalam perkawinan adat masyarakat Sumba. Tapi suatu peristiwa darurat atau tidak sewajarnya yang kemudian dapat dimaklumi dan seolah-olah sah-sah saja jika sudah terlanjur terjadi dengan catatan perempuan yang dibawa lari tidak keberatan lagi setelah berada di rumah laki-laki. 

Maksudnya, perempuan itu sudah ikhlas sebagai bagian dari nasibnya atau merasa malu untuk harus  kembali ke rumah orangtuanya. Di samping itu, keluarga terutama orangtua dan saudara-saudara perempuan itu, juga tidak berkehendak untuk menggugat dan memperkarakannya. 

Kalau demikian yang terjadi maka akan damai-damai saja. Orangtua kedua belah pihak tinggal mengurus prosedur adatnya, sehingga perkawinan  kedua insan tersebut mengikuti jalur tata krama adat-istiadat dan kebudayaan yang berlaku sah. 

Ceriteranya menjadi lain, jika perempuan itu dan atau juga keluarganya tidak rela. Urusannya jadi alot dan merambat ke mana-mana. Jika bukan denda adat, ya masuk ke ranah pidana. Bahkan bisa juga berbuntut perang tanding dan pertumpahan darah.

Motif Pakondongo

Apa motif terjadinya Pakondongo? Setahu saya, khususnya di wilayah Kodi, ada beberapa motifnya.

Pertama, orang tua laki-laki dewasa yang ingin beristeri hendak menunjukkan pengaruh dan keberadaannya. Umumnya berlatar belakang ekonomi yang baik. Punya ternak cukup untuk membelis atau memberi mahar kepada orangtua perempuan yang dibawa lari. 

Dalam kasus ini, perempuan dewasa yang dibawa lari dan orangtuanya tidak menduga sedikitpun akan terjadi peristiwa seperti ini. Peristiwa seperti ini sudah langka sekarang seiring dengan kemajuan jaman, terutama pendidikan.

Kedua, atas persetujuan salah satu orangtua perempuan, biasanya ibunya. Karena ayah perempuan itu, tentu dengan suatu alasan, tidak mau anak perempuannya dipersunting oleh laki-laki dimaksud dan atau juga orangtuanya. Sementara anak perempuan dan juga ibunya sudah berempati dengan laki-laki dimaksud bersama orangtuanya. 

Dalam kasus seperti ini, anak perempuan itu bisa dibawa lari oleh laki-laki ke rumah orangtuanya tanpa paksaan sedikitpun. Hanya dengan cara jalan sembunyi-sembunyi saja. Sebab perempuan dan laki-laki itu saling mencintai.

Ketiga, laki-laki dan perempuan saling mencintai, tapi ada halangan berat dari salah satu keluarga, entah orangtua perempuan atau laki-laki, alasannya pasti ada, mungkin status sosial atau bisa juga orangtua laki-laki tidak mampu memberi mahar atau ada alasan yang lain.

Dalam kasus seperti ini, laki-laki dan perempuan yang saling mencintai itu bisa memilih jalan buntu dengan kawin lari. Urusan adat perkawinan akan menyusul di kemudian hari.

Dan keempat, ada kemarahan atau dendam dari laki-laki. Tentu saja ada alasannya. Misalnya, perempuan menghina saat laki-laki itu menyatakan cinta, perempuan itu disukai atau menyukai lebih dari satu laki-laki. Laki-laki yang nekat akan membawa lari perempuan itu.

Dalam kasus seperti ini, umumnya akan berunjung kurang damai. Hasilnya bisa berantakan.

Mungkin bukan hanya ini saja alasan terjadinya Pakondongo. Tapi kurang lebihnya, begitulah motifnya.

Di Berbagai Arena

Peristiwa Pakondongo bisa terjadi kapan dan di mana saja. Bisa di berbagai arena yang memungkinkan.

Bisa di pasar, rumah, jalan raya, dan pesta teristimewa pesta adat seperti Woleka dan Pasola. Begitu ada kesempatan laki-laki bisa membawa lari perempuan yang disukai atau didambakannya. 

Bagaimana jika perempuan yang mengikuti laki-laki yang dicintainya. Ini sih terjadi juga namun istilahnya beda, sangat memalukan dan nilainya tidak bermartabat. 

Proses Adat Wajib Berjalan

Pakondongo tidak menghilangkan sama sekali proses tradisi adat-istiadat dan budaya perkawinan Sumba. Proses adatnya wajib dijalankan. Bahkan lebih mahal daripada proses adat perkawinan yang seharusnya.

Bagaimanakah itu, dapat ditelusuri melalui artikel-artikel terdahulu yang telah saya sajikan beberapa waktu lalu di Kompasiana ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun