Mohon tunggu...
Rofinus D Kaleka
Rofinus D Kaleka Mohon Tunggu... Insinyur - Orang Sumba. Nusa Sandalwood. Salah 1 dari 33 Pulau Terindah di Dunia. Dinobatkan oleh Majalah Focus Jerman 2018

Orang Sumba, Pulau Terindah di Dunia

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Bukan Kontrol Kaki, Mbak!

7 April 2019   00:55 Diperbarui: 7 April 2019   02:14 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humor. Sumber ilustrasi: PEXELS/Gratisography

Santai saja membaca artikel yang saya sajikan ini. Karena memang isinya tidak serius. Bahkan sesungguhnya juga mungkin tidak penting sama sekali. 

Tapi kalau mau baca untuk sekadar mengisi waktu lowong atau menghabiskan waktu sambil meneguk kopi hangat, ya tidak dilarang. Toh, siapa juga yang lihat saat membacanya. Sama seperti saat saya sedang menulis artikel ini, tidak ada juga yang lihat. Silahkan, boleh baca atau boleh lewatkan saja!

Ini hanya sepenggal kisah pengalaman biasa-biasa saja. Saat mulai belajar teknologi baru yang tidak biasa-biasa saja. Benar-benar baru di awal 1990-an, saat saya masih sedang kuliah di kota pelajar Yogyakarta.

Ketika itu, sudah mulai trend penggunaan teknologi canggih bernama Komputer. Memang sih masih terbatas kemampuannya. Hanya untuk ketik-mengetik dan Lotus saja. Walaupun begitu, saya sendiri sudah sangat mengaguminya. Hanya sebatas itu saja, karena saya belum bisa mengoperasikannya. Bahkan untuk memegangnya saja masih belum berani.

Suatu waktu datanglah seorang kawan mahasiswa dan mengajak saya untuk ikut kursus komputer. Karena ingin tahu menggunakannya maka saya menyepakati dan pergilah kami untuk mendaftar pada sebuah tempat kursus komputer di jalan Mangkubumi, arah selatan Tugu Yogyakarta, dekat Kantor Harian Umum Kedaulatan Rakyat.

Hari pertama, kami sepuluh orang untuk satu kelas, masing-masing berhadapan sendiri dengan satu unit komputer. Hari itu kami sukses berkenalan dengan perangkat komputer sesuai petunjuk mentor kami.

Hari kedua, kami mulai berkenalan dengan program Word Star (WS), masih WS 4 saat itu. WS ini sama dengan microsoft office word sekarang. Bedanya, WS masih perintah manual. Harus hafal dan diselesaikan di atas stut keyboard.  Sedangkan microsoft office word, menunya sudah tersaji di monitor dan hanya main klik saja pakai mouse.

Disinilah mulai ada kendala bagi kami saat belajar. Salah satu peristiwa yang tidak terlupakan bagi kami saat belajar WS tersebut adalah ketika mentor meminta kami untuk menekan tiga stut pada keyboard.

" Sekarang silahkan tekan kontrol  ka ki," kata mentor.

Saya dan beberapa kawan lain tidak ada masalah. Kami langsung mengikutinya dengan baik. "Sudah pak," kata kami.

Tapi teman kami yang satu orang, namanya sebut saja Dewi, bukan nama sebenarnya, sibuk menunduk ke bawah meja. Kami sudah lama selesai, namun Dewi, seperti dalam kebingungan, masih menunduk memperhatikan di sekitar wilayah kakinya.

"Dewi sedang cari apa," kata mentor sambil tersenyum.

Tanpa ragu-ragu Dewi menjawab, "Tidak ada sesuatu di kaki pak."

"Memang tidak ada sesuatu di kaki yang berhubungan dengan WS," gurau mentor. Senyumnya terlihat lebih mekar dan gesturnya memperlihatkan sesuatu funny.

Beberapa teman saya, langsung meledak tertawa. Rupanya mereka cepat menangkap sinyal bahwa Dewi salah memahami apa yang dimaksud mentor tentang "tekan kontrol ka ki". Saya pun ikut tertawa juga, walaupun sebenarnya lambat mengerti apa yang sedang dialami Dewi.

"Ini pasti salah pengertian. Yang saya maksud itu Control + K + Q, bukan kontrol kaki mbak," kata mentor sambil menuliskan maksudnya itu di White Board.

Terus terang saya sudah lupa maksud perintah tersebut. Kalau ada generasi saya yang masih mengingatnya, bisa disampaikan di kolom komentar. Ya kalau berkenan. Sebab tidak penting lagi untuk zaman sekarang ini.

Sejak peristiwa tersebut, hari ketiga dan seterusnya, Dewi tidak ikut kursus lagi. Mungkin ia malu dianggap tell me karena peristiwa itu. Tapi jauh lebih malu dong kalau gagap teknologi komputer di era komputer. Bukankah begitu?

Secara pribadi, saya merasa bersalah, karena turut tertawa sehingga menyebabkan Dewi tidak melanjutkan kursusnya. Jika saat itu, saya berempati kepada Dewi dan menyemangatinya, mungkin ia akan terus bersama-sama kami pada jadwal-jadwal berikutnya.

Saya dan kawan saya, juga tidak menyelesaikan belajar di tempat kursus komputer tersebut. Bukan karena Dewi tidak ikut lagi lho! Juga bukan karena mengalami peristiwa serupa yang dialami Dewi.

Alasannya, biasa-biasa saja. Merasa sudah bisa padahal bisanya belum seberapa. Disamping itu karena jarak tempat kursus dengan kost kami jauh. Butuh tenaga ekstra untuk mengayuh sepeda sambil boncengan.

Tapi syukurlah kami tetap mahir menggunakan WS karena kami tidak berhenti belajar. Demikian pula ketika program komputer makin maju, kami terus menyesuaikan diri, sehingga tidak gaptek komputer.

Kira-kira adakah suatu pesan yang didapat dari artikel ini? Kalau ada ya syukurlah. Tapi kalau tidak ada sama sekali, ya jangan marah. Siap salah, siap hormat.

Anggap saja ini mimpi indah yang samar-samar.

Tambolaka, 7 April 2019  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun