Mohon tunggu...
Rofinus D Kaleka
Rofinus D Kaleka Mohon Tunggu... Insinyur - Orang Sumba. Nusa Sandalwood. Salah 1 dari 33 Pulau Terindah di Dunia. Dinobatkan oleh Majalah Focus Jerman 2018

Orang Sumba, Pulau Terindah di Dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gila, Mengapa Masih Ada yang Utak-atik Pancasila?

17 Januari 2018   20:05 Diperbarui: 17 Januari 2018   20:14 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sudah lebih dari tujuh puluh dua tahun Pancasila dipedomani sebagai satu-satunya dasar, ideologi, dan falsafah hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tapi akhir-akhir ini masih ada saja oknum-oknum tokoh-tokoh nasional atau ormas-ormas tertentu yang masih mengutak-atik dan berkeinginan untuk mengganti Pancasila. Suatu keinginan yang tidak masuk akal dan gila.

Ironisnya, keinganan tersebut munculnya dari dalam negeri kita sendiri. Juga munculnnya selalu saja bertepatan dengan momentum proses politik demokrasi dalam negeri, seperti Pilkada atau Pemilihan Presiden dan Wapres. Apa mereka buta-tuli tentang empat konsensus nasional yang telah ditetapkan menjadi "harga mati" untuk Indonesia yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika?

Hasil Perjuangan Panjang

Sebagaimana diketahui bahwa Pancasila tidak terjadi begitu saja secara instan. Ia merupakan buah perjuangan yang panjang dari para pejuang perintis, pelopor dan pendiri NKRI. Ia juga merupakan hasil kreativitas genius olah pikir dan olah rasa yang dirajut dari nilai-nilai luhur kebudayaan bangsa sendiri dalam waktu yang lama.

Terkait isi dan susunan kalimat pernyataan dalam Pancasila, juga merupakan hasil perjuangan melalui diskusi dan perdebatan serius yang panjang secara kontinyu. Bahkan sampai sore hari sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 atau sehari sebelum Penetapan Pancasila sebagai dasar negara pada 18 Agustus 1945, isi dan susunan kalimat pernyataan sila pertama Pancasila masih juga melalui diskusi dan perdebatan yang sangat alot dalam Sidang Pleno Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) antara golongan nasionalis dan golongan islam.

Ketika itu, Muhammad Hatta dan tokoh-tokoh nasionalis lainnya, yang mengusung usulan keberatan tokoh-tokoh dari wilayah timur Indonesia, berusaha keras meyakinkan tokoh-tokoh islam, sehingga isi pernyataan sila pertama Pancasila yang semula berbunyi "Ketuhanan dengan menjalankan syariat islam bagi pemeluknya" diedit secara ikhlas melalui musyawarah-mufakat dan berubah  menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa".

Pengeditan isi sila pertama Pancasila tersebut oleh para pendiri bangsa ini, bukan semata-mata karena kekhawatiran (dan apalagi ketakutan) rakyat wilayah timur Indonesia akan memisahkan diri sebagaimana sudah disampaikan tokoh-tokohnya tadi, tapi berangkat dari kesadaran moril dan panggilan nurani bahwa NKRI yang baru saja merdeka adalah hasil militansi perjuangan nasionalisme, persatuan dan kesatuan secara bersama dan serentak dari seluruh rakyat yang beraneka ragam baik suku, antar golongan, ras dan agama.

Dari fakta sejarah proses finalisasi isi Pancasila itu sangat jelas, bagaimana pandangan dan sikap para pendiri NKRI yang berjiwa besar, rendah hati, bertoleransi tinggi dan saling menghormati serta tidak tega mengkhianati dan menyakiti perasaan saudara sesama bangsanya. Disamping itu, mereka juga tidak ingin meninggalkan benih-benih atau bom waktu yang sangat berpotensi dapat memecah-belah masa depan eksistensi NKRI.

 Pancasila sudah Teruji

Perjalanan sejarah eksistensi NKRI dari waktu ke waktu selalu saja mengalami pasang-surut. Ancaman demi ancaman silih berganti mulai dari eksistensi nasionalisme dan kebhinekaan sampai Pancasila. 

Pancasila seringkali dituding sebagai penghambat kemajuan NKRI dalam berbagai aspek, seperti pembangunan perekonomian, kebebasan berekspresi dan demokrasi politik. Tudingan-tudingan subyektif ini menjadi "komoditi jualan" oleh oknum-oknum tertentu, yang selalu berkeinginan dan berusaha untuk mengganti Pancasila,  melalui cara-cara yang tidak berberadab, seperti provokasi dan adu domba diskriminatif SARA yang sangat sensitif untuk menciptakan kerusuhan dan perpecahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun