Mohon tunggu...
Rofinus Sela Wolo
Rofinus Sela Wolo Mohon Tunggu... Karyawan -

Ingin pergi dan hidup lebih lama dari ini

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rumor dan Fakta tentang Nasib TKI Ilegal

4 November 2015   14:35 Diperbarui: 26 Oktober 2017   08:59 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis: Rofinus Sela Wolo

TKI (Tenaga Kerja Indonesia), kata yang akrab di telinga setiap saat kita mengenang mereka. Para pahlawan devisa negara yang sungguh berjasa ini selalu menjadi perhatian banyak kalangan. Tertera secara hukum, para TKI telah mendapatkan legalitas dari pemerintah Indonesia untuk bekerja di luar negeri. Namun, legalitas itu tidak cukup menjamin gaji, kesehatan, dan keselamatan kerja para TKI. Ada saja persoalan yang menerpa mereka. Kekerasan kerap menjadi bagian dari perjuangan mereka mengadu nasib demi keluarga dan, secara tidak langsung, demi negara.

Lalu bagaimana dengan sanak saudara dan handai taulan kita yang mengadu nasib di negeri orang tanpa legalitas atau ijin dari pemerintah, yang biasa disebut tenaga kerja ilegal (imigran gelap)?

Demi hidup lebih baik

Merantau bukan kata asing lagi bagi sebagian besar masyarakat kita. Bagi masyarakat di daerah saya, di Kecamatan Nangaroro, Nagekeo, NTT, khususnya di kampung Aekana dan beberapa kampung sekitarnya, kai deo (merantau) identik dengan kai Malaysia (merantau ke Malaysia). Mengadu nasib ke Malaysia sudah menjadi tradisi sejak beberapa dekade lalu. Ini dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki pekerjaan tetap di kampung, mulai dari kalangan pria dan wanita dewasa, mereka yang telah berkeluarga, hingga anak-anak putus sekolah.

Mengadu nasib ke negeri jiran tanpa visa, passport, atau surat ijin sejenis bukan masalah buat mereka. Tanpa pendataan diri melalui Pemerintah Daerah atau instasi terkait, tanpa begitu memedulikan resiko dan kemungkinan buruk yang dapat terjadi, para perantau berangkat ke Malaysia. Ini semua demi perbaikan kesejahteraan hidup kelak di kemudian hari.

Sebagian besar tenaga kerja gelap dari kampung-kampung di Nangaroro memilih Malaysia Timur dan Malaysia Barat sebagai tempat mengadu nasib. Alasanya adalah jarak yang dekat, tak sejauh negara-negara di Timur Tengah. Selain jarak, biaya yang dibutuhkan untuk berangkat ke Malaysia juga tentu lebih murah.

Berdasarkan informasi yang saya peroleh, perjalanan menuju Malaysia susah-susah gampang. Namun, banyak perantau yang mengatakan bahwa lebih baik hidup di sana dari pada hidup di kampung sendiri. Di sana ada harapan untuk mendapatkan hidup lebih baik, sedangkan di kampung sendiri tidak ada harapan akan masa depan yang lebih baik.

Biasanya para perantau pendahulu yang sudah tahu seluk-beluk masuk ke Malaysia memengaruhi para calon perantau di kampung dengan cerita atau janji upah menyenangkan serta iming-iming kesenangan hidup di sana. Pada kenyataannya, tawaran ini tak lepas dari komisi berupa uang yang akan didapat perantau lama (pendahulu) dari para perantau baru. Janji-janji seperti ini tentu menyenangkan bagi para perantau gelap karena berpikir mudah dan aman berangkat ke Malaysia, begitu juga sesampainya di sana.

Fakta Menyedihkan

Akan tetapi, cerita yang saya dengar dari saudara-saudaraku yang pernah menjadi pekerja ilegal di Malaysia Barat membuat saya terenyuh. Mereka mengatakan, tidak ada hal yang menyenangkan sebagai pekerja ilegal di sana, seperti iming-iming para perantau pendahulu itu. Memang, menurut pengakuan mereka, upah ringgit yang mereka peroleh (sebagai pemetik buah dan sayur) cukup memuaskan bila ditukarkan ke rupiah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun