Mohon tunggu...
Hasten Rumain
Hasten Rumain Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa

Seorang pecinta kata

Selanjutnya

Tutup

Financial

Kita Harus Pelit

15 September 2019   09:21 Diperbarui: 15 September 2019   09:23 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Aku pernah menjadi mahasiswa yang berpikir ekonimis, walau tidak berada pada jurusan tersebut di perguruan tinggi, atau menjadi pelaku ekonomi yang berperan dalam bisnis yang killer. 

Menurutku, tidak perlu menjadi mahasiswa jurusan ekonomi untuk berpikir ekonomis, karena persoalan angka ditambah, dibagi, dikurang, dikali ya berenang. Hehe. Persoalan angka dan nominal, kita tahu itu.

Kita harus mengadopsi sifat pelit ketika menjadi mahasiswa. Hmm, pelit? maksudku... bukan pelit secara sifat, melainkan pengeluaran untuk keperluan yang menguntungkan proses di perguruan tinggi. Pada dasarnya manusia adalah mahluk terbaik yang baik. Hanya saja, terkadang kita berada pada posisi terbaik yang sulit terkontrol.

Berangkat dari status sosial yang biasa-biasa saja, tentu menjadi mahasiswa itu seolah menyiapkan tali gantungan untuk menunggu waktu tepat menempatkan leher di sana. Yah, sebuah keputusan tersulit terhadap usaha merubah takdir.

Hari ini aku menghabiskan 20 ribu rupiah, dan aku menyesal. Tentu bukan perkara yang berat, namun bagi seorang mahasiswa, nominal rupiah sebanyak itu harusnya terpakai untuk keperluan print resume, tugas, copian materi dan lain-lain yang pentingnya seperti mengisi absen kelas "wajib". Makan? oh, yang benar saja. 

Sebagai mahasiswa, apalagi lelaki, tidak makan sehari atau dua hari, cukup bertahan dengan cairan hitam yang menggiurkan "kopi". Oleh karenanya, ketika Ramadhan tiba, kami tidak perlu bersiap-siap terlalu lebai untuk menyambut bulan suci penuh ujian itu. Ya, setidaknya dari satu syarat, jangan diragukan lagi.

20 ribu rupiah, menjadi sumbangan pada brangkas sopir-sopir angkutan Kota Ambon. Perjalanan itu tergolong percuma dilakukan, namun aku bodoh melakukannya. Hanya mengiyakan ajakan teman, pada akhirnya aku harus menghakimi diriku. 

"Kenapa aku tidak menolak saja? Ahhh... aku benar-benar bodoh menghormati pertemanan". Protesku tiga tahun yang lalu, dan luar biasanya, diriku pula menjadi objek protes itu. Hehe perilaku yang aneh bukan?

Beranjak dari pengalaman buruk itu, yah... sungguh itu pengeluaran yang sangat buruk karena aku harus merelakan resume yang gagal ku print, dan nilai "C" pada satu mata kuliah merupakan usaha yang berantakan di semester dua. Kemudian aku mulai berpikir bahwa- mengadopsi sifat pelit jauh lebih berguna karena kelas ekonomi tidak se-level.  

Pelit terlibat pada kegiatan yang berimbas kerugian, merupakan keharusan walau berpotensi buruk pada ikatan pertemanan. Setidaknya aku tidak harus bersusah payah menjadi kaki mereka yang wajib menopang tubuh dan kepala mereka di mall, pasar-pasar ternama, bioskop, dan warung-warung. Itu terlalu mewah bagi mereka, tetapi bagiku itu terlalu buruk, bahkan sebuah penderitaan.

Semenjak kisah usang yang merugikan itu, hingga kini aku melibatkan diri pada pergaulan yang wajar. Latar belakang ekonomi yang mirip, menghabiskan rupiah pada keperluan yang sesuai, dan mencicipi segelas kopi bersama lebih terhormat, dibandingkan mengahabiskan banyak rupiah hanya karena obsesi-obsesi yang berlebihan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun