Mohon tunggu...
Choirul Huda
Choirul Huda Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer sejak 2010

Pencinta wayang, Juventini, Blogger. @roelly87 (www.roelly87.com)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Maaf Pak Polisi, Ayah Saya Tak Bersalah...

27 November 2011   13:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:08 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

[caption id="attachment_145033" align="aligncenter" width="360" caption="* * *"][/caption] Bagai petir di siang bolong, tatkala beberapa orang Polisi mendatangi rumah kami dan menyatakan ingin menangkap Ayah yang terlibat korupsi akibat wisma Tani. Maklum, menjelang bulan panen di desa kami, rencananya akan diselenggarakan suatu perhelatan akbar untuk merayakan keberhasilan panen di desa yang meningkat dibanding beberapa tahun belakangan ini. Dan sebagai salah satu perangkat desa, Ayah bertugas untuk mengkoordinir segala macam keperluan untuk hajatan di desa yang juga mengundang beberapa pejabat desa tetangga. Namun malangnya, beberapa hari menjelang Hari H hajatan akbar itu, seorang perangkat desa yang menjabat sebagai seorang Sekretaris Desa (Sekdes) yang berinisial XX, kabur dengan membawa uang hasil patungan dari beberapa masyarakat desa. Apesnya lagi, Ayah yang posisinya sebagai seorang deputi di desa Royo Makmur, terkena imbas karena kelakuannya. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Hingga akhirnya, seluruh masyarakat desa mengkambing hitamkan Ayah karena posisinya yang strategis itu. Meskipun Pak Kades, Sesepuh dan juga atasan di Kecamatan banyak yang membela perbuatan Ayah yang sama sekali tidak bersalah, namun apalah daya. Bukti surat-surat memang berada di tangan Ayah karena di tanda tangani atas nama Ayah sendiri, walaupun uang hasil sumbangan berada di tangan Pak XX. Hingga tujuh hari menjelang acara, Ayah ditangkap untuk dibawa ke kantor Polisi dan ditahan, sebab adanya bukti yang kuat dari beberapa pengaduan yang ada. "Pak Polisi, sebagai pengayom dan pelindung masyarakat, mengapa Bapak-bapak sekalian langsung menangkap Ayah kami, bukannya Pak XX sebagai dalang sekaligus yang memakan uangnya itu?" Ucap saya gusar, tatkala sebuah tragedi berlangsung tepat di mata saya hingga perih. "Maaf, Dek. Bukan maksud kami untuk sengaja menangkap Ayahanda Adik, tapi memang sudah dinyatakan bersalah, berdasarkan pengaduan yang kami terima, dan adanya bukti-bukti yang kuat." Jawab seorang Polisi dengan pangkat tinggi namun tetap ramah. "Tapi, kenapa Ayah sayalah sang tersangka tunggal dari kasus ini. Padahal banyak lagi, yang turut merasakan ini semua...! Kalian TIDAK ADIL, TIDAK ADIL, TIDAK ADIL...!!!" Teriak saya gusar, yang akhirnya harus dipapah oleh beberapa warga untuk menjauhkannya dari Polisi. "Mohon maaf, sekali lagi Kami mohon Maaf Dik. Kami hanyalah sekadar melaksanakan Perintah saja. Untuk lebih jelasnya silahkan adik melapor ke Kantor kami. Terima kasih." Tutup Pak Polisi itu, bagai hantaman busur Adipati Karna yang nyaris memenggal Arjuna. Saya hanya dapat melihat riuh rendah iring-iringan mobil polisi hingga tinggal setitik kecil meninggalkan desa kami.

*   *   *

Sedih, pilu, gusar dan amarah yang tak tertahankan ketika akhirnya Pak XX datang kembali ke desa tanpa perasaan bersalah. Malah ia dengan sumringah menggunting pita tanda pembukaan acara yang berlangsung meriah. Seluruh warga pun seperti terhipnotis oleh kepiawaiannya dalam berorasi dan memberikan janji-janji belaka. Hanya ada segelintir saja yang merasa ada kejanggalan dari apa yang terjadi di desa Royo Makmur, namun apalah daya beberapa orang itu tentunya kalah suara dibanding ratusan warga lainnya yang sudah diiming-imingi Pak XX tersebut. Hingga acara berakhir, dan sukses besar di raih desa kami karena terselenggaranya acara tersebut. Mereka seolah-olah melupakan satu sosok yang tentunya berjasa dalam persiapan selama ini, yaitu Ayah... Ah, sejarah selalu berulang, dan kali ini justru kamilah sebagai tokoh utamanya. Batin saya saat itu.

*   *   *

"Ilham... Bangun! Woi, sudah siang tuh. Jam segini masih enak-enakan tidur, sementara Ayahmu sudah capek-capek macul di sawah. Mau jadi apa, kalau generasi pemuda seperti kamu semua yang jam sembilan pagi ini masih tidur!" Teriak dari suara orang yang sangat familiar dan sudah ku kenal baik. Ternyata yang membangungkan tidur saya itu adalah Ibu. Ah, setelah keringat dingin mengucur deras, ternyata kasus Ayah dengan Pak Polisi itu hanyalah mimpi...

*   *   *

Djembatan Lima, 27 November 2011 (21:00 wib) Ilustrasi: http://zicoe.com - Choirul Huda (CH)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun