Mohon tunggu...
Choirul Huda
Choirul Huda Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer sejak 2010

Pencinta wayang, Juventini, Blogger. @roelly87 (www.roelly87.com)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sensasi Perjalanan Melintasi Hutan Belantara

19 Maret 2012   06:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:49 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_166869" align="aligncenter" width="461" caption="Menumpang truk muatan batubara saat cuaca tidak mendukung"][/caption] Tinggal di pedalaman atau tepatnya di tengah hutan belantara dimana jauh dari keramaian serta tidak ada angkot, bus, ojek ataupun kendaraan umum lainnya. Tentu mempunyai kesan tersendiri, sebab suasananya sangat berbeda dengan Jakarta atau kota besar lainnya. Saat masih bekerja di proyek Batubara yang berada di pedalaman Sumatera Barat, baik itu di daerah Dharmasraya maupun Pesisir Selatan, kantor tempat tinggal karyawan dengan areal tambang jaraknya lumayan jauh. Kantor kami berada di jalur lintas tengah Sumatera yang melewati dari arah Muara Bungo, Jambi hingga ke Solok, Sumatera Barat. Dari kantor menuju mes yang menjadi tempat istirahat sekitar 50 km atau dengan kendaraan proyek menempuh perjalanan 1,5 jam saat keadaan normal dan jalan tidak becek karena hujan. Namun saat musim penghujan ceritanya bisa berbeda, sebab beberapa kendaraan yang dimiliki perusahaan sama bisa sama sekali tidak terpakai. Karena dari lima kendaraan perusahaan hanya ada dua yang dapat digunakan saat turun hujan, yaitu Taft  yang berpenggerak empat roda (Double Gardan). Sedangkan sisanya adalah kendaraan operasional biasa seperti mobil keluarga yang tentunya kurang pas untuk di pakai saat jalanan becek karena hujan. Karena dari bagian staf dan pengawas termasuk saya setiap harinya harus pulang pergi dari kantor menuju lokasi, berbeda dengan bagian operasional serta karyawan lepas seperti sopir truk, operator alat berat macam Excavator, Dozer yang tinggal dalam mes. Untuk itu dari pukul enam pagi kami sudah berangkat menuju mes seraya bersama-sama karyawan lainnya menuju areal tambang dan baru selesai saat matahari terbenam sekitar pukul enam sorenya. Yang menjadi masalah adalah saat siang hari hujan turun deras dan tidak bisa dilewati oleh mobil operasional yang kami punya, karena jalanan biasanya akan becek bahkan amblas akibat tekstur tanah merah sering dilewati kendaraan besar seperti truk. Maka mau tidak mau sore itu atau malam harinya juga harus meninggalkan mes, dan kembali ke kantor untuk membuat laporan harian operasional di tambang yang akan di evaluasi oleh kantor pusat di Bandung. Karena berbagai macam peralatan seperti komputer, mesin faks dan catatan lainnya berada di kantor dan tidak tersedia di mes. Salah satu pilihan alternatif yang biasanya kami tuju adalah dengan menumpang truk muatan batubara atau yang sedang kosong menuju ke daerah Jambi sampai di persimpangan jalan lintas Sumatera. Tetapi dengan menumpang truk tidak selamanya mulus juga karena adakalanya malah sering mogok di jalan akibat rodanya anjlok terbenam jalan. Malahan pernah kami beberapa kali menginap semalaman di tengah perkebunan sawit dan karet saat truk yang ditumpangi kehilangan kendali dan terperosok genangan lumpur setinggi 30 cm akibat jalan yang berasal dari tanah merah tidak kuasa menampung beban berat. Meski dibantu dorong beberapa orang yang menumpang termasuk sopir itu sendiri, truk sama sekali tidak bisa bergerak sedikitpun hingga akhirnya kami menyerah dan terpaksa semalaman suntuk pada bergadang untuk menunggu pagi hari. Karena di areal perkebunan sawit sama sekali tidak ada sinyal untuk kami berkomunikasi meminta bantuan ke kantor atau mes, lalu ingin melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki juga bukan pilihan yang baik sebab berbahaya karena banyak hewan liar yang berkeliaran seperti ular sawah ataupun biawak. Akhirnya saat matahari mulai menyingsing, dua orang diantara kami kembali ke mes untuk meminta bantuan alat berat seperti Dozer supaya mendorong truk yang kami tumpangi agar bisa lewat dan melanjutkan perjalanan kembali. Selain dengan truk batubara, salah satu pengalaman saya yang berkesan sekaligus mendebarkan adalah sewaktu menumpang mobil Taft hingga terbalik saat sopir yang mengemudikan kehilangan kendali akibat menghindari hewan ternak milik penduduk setempat. Bukan sebab sopir itu kurang waspada, karena memang hewan ternak yang dimiliki penduduk setempat seringkali melintasi jalan dengan tiba-tiba. Dan lagi kalau sampai menabrak hewan ternak itu, dari Ayam, Kambing, Sapi atau Kerbau bisa berbuntut panjang apalagi kalau menyebabkan kematian. Seperti kasus yang di alami oleh salah satu sopir truk yang pernah menabrak, denda yang dikenakan dari pemilik ternak dan juga tokoh setempat sangat besar. Yakni harus mengganti rugi dengan membayar tujuh turunan hewan ternak yang di tabrak, seperti misalnya kambing yang harganya hanya satu jutaan bisa mencapai belasan juta rupiah. Maka saat kami mengetahui tindakan sang sopir jadi mengerti sendiri, sebab kalau sampai menabrak maka resiko yang kami tanggung akan lebih fatal dibandingkan hanya luka lecet yang kami alami dan bisa sembuh beberapa hari kemudian. Sekarang kendati sudah tidak mengalami suasana pulang pergi seperti di tambang lagi, karena telah menetap di Jakarta, tetapi apa yang di rasakan saat ini sungguh tidak berbeda jauh. Sebab di jalanan Ibukota ini sepertinya lebih parah dibandingkan saat masih di tambang, karena tingkah laku yang main menang sendiri dari pemilik kendaraan. Sepeda motor sudah seperti raja jalanan dengan saling kebut-kebutan, lalu bus dan angkot yang juga ngetem sembarangan bahkan menunggu penumpang di tengah jalan seperti yang saya lihat saat di kawasan Slipi. Belum lagi aksi slonong boy ala sopir bajaj yang sama sekali tidak terduga karena sering berbelok dan memutar arah tanpa memberitahu pengendara di belakangnya. Ingin naik busway, tetap saja sama karena rawan aksi pelecehan terutama untuk kaum perempuan, pun begitu dengan angkutan massal lainnya seperti kereta (KRL) yang sering terlambat datang juga resiko kecopetan. Akhirnya saya sendiri kini setiap hari hanya mengandalkan sepeda motor untuk bepergian, dan berharap agar kedepannya pemerintah lebih fokus dalam mengembangkan sarana angkutan umum agar dapat di pergunakan warganya dengan layak. Selain dengan menggunakan angkutan umum dapat meminimalisir kemacetan akibat tumpah ruahnya berbagai kendaraan pribadi, juga dapat menekan kesenjangan sosial antar pengendara di jalan raya.

*    *    *

[caption id="attachment_166871" align="aligncenter" width="457" caption="Salah satu kendaraan berpenggerak empat roda yang terbalik"]

1332093812173215708
1332093812173215708
[/caption]

*    *    *

[caption id="attachment_166872" align="aligncenter" width="461" caption="Jalanan menuju kantor dari mes"]

1332093894498550321
1332093894498550321
[/caption]

*    *    *

[caption id="attachment_166890" align="aligncenter" width="461" caption="Meminta bantuan alat berat untuk melewati jalan seperti ini"]

1332110480394686884
1332110480394686884
[/caption]

*    *    *

[caption id="attachment_166873" align="aligncenter" width="461" caption="Salah satu pemandangan menarik yang menghapus rasa lelah di jalan"]

1332094007888128636
1332094007888128636
[/caption]

*    *    *

Tulisan Sebelumnya: - Pengalaman Ekstrem di Pedalaman Sumatera

*    *    *

Djembatan Lima, 19 Maret 2012 - Choirul Huda

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun