Mohon tunggu...
Choirul Huda
Choirul Huda Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer sejak 2010

Pencinta wayang, Juventini, Blogger. @roelly87 (www.roelly87.com)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Ironi Film Indonesia: Terasing di Negeri Sendiri

4 Juni 2013   02:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:34 2851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1370242213131428464

[caption id="attachment_246894" align="aligncenter" width="491" caption="Ilustrasi suasana pemutaran Negeri 5 Menara (www.kompasiana.com/roelly87)"][/caption] Ironi. Mungkin itu kata yang tepat menggambarkan beda perlakuan antara film Indonesia (lokal) dengan luar negeri, khususnya Hollywood. Itu terjadi ketika saya iseng berselancar di media sosial, twitter, untuk mencari tahu info film garapan sineas lokal, Pintu Harmonika. Dalam banyak kicauan, ternyata film yang disutradarai trio dara, Luna Maya, Sigi Wimala, dan Ilya Sigma, kurang mendapat perhatian. Mirisnya, itu akibat tidak adilnya sistem pemutaran yang dilakukan beberapa jaringan bioskop terbesar di Indonesia terhadap film lokal dibanding film luar negeri. Sebagai contoh, Pintu Harmonika yang dirilis pada 23 Mei lalu hampir "lenyap" pemutarannya di beberapa kota di Indonesia. Memang sih, beberapa bioskop masih ada yang menayangkannya seperti yang saya lihat Jumat lalu di sebuah studio di kawasan Jalan Cihampelas, Bandung. Begitu juga yang terjadi pekan sebelumnya di sebuah mal di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Hanya, film yang dibintangi aktor laga Doni Damara itu sepi penonton! Animo penonton untuk menyaksikan Pintu Harmonika dan film lokal seperti Sang Kyai, bisa dihitung lewat jari tangan dan kaki, alias hanya belasan. Saya sendiri memakluminya, karena pada saat bersamaan, pengunjung disuguhi film asal Hollywood yang memang di negara asalnya sedang jor-joran dalam merilis film, seperti Epic, Hangover Part, Jurassic Park 3D, Star Trek Into Darkness, hingga film balapan yang dibintangi aktor asal Indonesia, Joe Taslim di Fast & Furious 6. Padahal, banyak sineas lokal yang  kecewa dengan perlakuan dari pemilik studio yang terkesan menganaktirikan film hasil karya sendiri. Itu terjadi pada bulan April lalu, seperti yang dikeluhkan Ketua Umum Persatuan Produser Film indonesia (PPFI) Firman Bintang. Dalam pernyataannya yang saya kutip dari situs Kompas.com, Bintang menyebut pemilik bioskop tidak fair karena merangkap sebagai importir film. Alhasil, mereka lebih mengutamakan film impor, yang pastinya lebih menguntungkan.

*     *     *

Sebenarnya, apa yang dikeluhkan itu tidak begitu tepat. Sebab, tidak semua film lokal yang mendapat porsi sedikit. Sebagai contoh, sejak satu tahun terakhir lumayan banyak film lokal yang tayangnya sama dengan film luar, seperti Negeri 5 Menara, The Raid, 5 cm, Habibie dan Ainun, Modus Anomali, hingga Java Heat. Memang, beberapa film itu tidak bisa mewakili dari jumlah sekitar 100-an film sejak 2012 lalu. Namun, itu wajar, karena dari sekian banyak film lokal yang tayang, justru didominasi oleh film bertema mistis menjurus esek-esek. Ironisnya, justru film-film bertema seperti itu lebih laris dibanding film yang penuh inspirasi atau mengharumkan Indonesia sendiri di mata dunia. Selain itu, salah satu alasan karena film lokal kurang bersaing adalah isi cerita yang kurang menggigit. Pasalnya, meski film tersebut dibintangi aktor dan aktris kenamaan, tapi kalau ceritanya klise dan mudah ditebak, bisa membuat kurang gereget bagi yang nonton. Lalu, bujet yang kurang saat produksi berpengaruh terhadap kesuksesan film tersebut. Java Heat misalnya. Salah satu film lokal tersukses ini harus mengeluarkan ongkos produksi yang tidak tanggung-tanggung, 15 juta dollar AS (sekitar Rp 147 miliar). Dana sebesar itu, sebagian besar digunakan untuk promosi ke berbagai negara, bayar bintang Hollywood, serta properti seperti penghancuran gedung di Yogyakarta. Sementara, film lokal kita jarang mengeluarkan anggaran lebih dari 10 miliar. Bahkan, tak jarang, pelaku film itu sendiri, cenderung menekan biaya promosi dengan sekadarnya. Termasuk hanya menyebarkan kalangan tertentu, seperti penggemarnya di media sosial, Twitter. Meski itu dapat mendongkrak animo calon penonton, tetap saja terbatas dan tidak bisa diketahui masyarakat luas. Sebagai contoh, film terlaris Hollywood sepanjang masa seperti Avatar, Titanic, dan The Avengers, harus mengeluarkan dana gila-gilaan tidak hanya untuk ongkos produksi, melainkan juga promosi. Dan, itu terbukti karena pemasukan ketiga film tersebut berbanding lurus dengan biaya yang dikeluarkannya.

*     *     *

Di sisi lain, saya pribadi melihat pelaku film lokal kurang begitu tanggap saat merilis film. Sudah tahu pada periode April-Agustus merupakan puncak tayangan film luar negeri, karena di Amerika Serikat sedang memasuki musim Semi dan Panas. Tapi, banyak  nekad dengan mencoba bersaing dengan film-film produksi Hollywood tersebut. Hasilnya? Tentu saja film kita kalah bersaing. Penonton, terutama remaja, pasti lebih memilih film superhero seperti Iron Man 3 dan Fast & Furious 6 dibanding Pintu Harmonika, bahkan Kerasukan! Ini fakta yang terjadi di lapangan, dan saya sendiri sebagai penikmat film lokal dan luar negeri, harus realistis menyikapinya. Itu berbeda jika film bertema superhero luar negeri diadu dengan film lokal yang sarat inspirasi, misalnya tentang almarhum Presiden Sukarno atau Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo. Jika dikomparasikan, tentu membuat calon penonton lebih tertarik dengan film bertema tokoh Indonesia tersebut. Yang pertama merupakan Pendiri Negara ini, yang banyak dikagumi seluruh rakyat Indonesia. Sementara, tokoh kedua sedang naik daun karena aksinya yang membumi, sekaligus penasaran dengan masa lalunya sebelum jadi Gubernur maupun Walikota Solo. Jadi, laris tidaknya sebuah film tidak semata karena peran aktor atau aktrisnya semata, melainkan banyak faktor lain yang harus disikapi dengan rinci oleh pelaku film itu sendiri.

*     *     *

*     *     *

*     *      *

Referensi: - Promosikan Film, Luna Maya Manfaatkan Penggemar (Kompas.com) - Most Popular Indonesian Movie (IMDb.com) - Dokumentasi Perfilman Indonesia (Pnri.go.id) - Box Office 31 Mei - 2 Juni 2013 (Boxofficemojo.com)

*     *      *

Tulisan Sebelumnya: - Catatan Film Tahun 2011: Gempuran Film Horror Berbau Esek-esek Ditengah Lesunya Penonton - Joe Taslim dan Wakil Indonesia di Hollywood

*     *      *

- Jakarta, 4 Juni 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun