Mohon tunggu...
Muhammad Rodinal Khair Khasri
Muhammad Rodinal Khair Khasri Mohon Tunggu... Dosen - Penulis Lepas

Peneliti di Collective Academia/ Co-Founder/ Koordinator Bidang Religious dan Cultural Studies; Alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada; sekarang berdomisili di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pengantar Hermeneutika Gadamer

25 Maret 2020   14:45 Diperbarui: 25 Maret 2020   15:05 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://media.gettyimages.com/

Bagaimanapun subjek, siapapun dia, dia adalah anak zamannya (lahir dari tradisi). Subjek tidak bisa menafikan peran sejarah dalam hidupnya (Khasri, 2019: 29). Gadamer secara eksplisit menjadikan analisis Heidegger tentang pra-struktur pemahaman dan historisitas intrinsik (Geschichtlichkeit) keberadaan manusia sebagai fondasi dan titik awal analisisnya tentang "kesadaran sejarah".

Menurut konsepsi Heidegger tentang pra-struktur pemahaman, kita memahami suatu teks, keadaan dan situasi yang ada, tidak dengan suatu kesadaran yang kosong yang secara temporer dipenuhi oleh situasi kekinian namun lebih karena kita bertahan dengan pemahaman kita, dan menggiring suatu maksud yang utama ke dalam permainan yang berkenaan dengan situasi, suatu cara pandang yang sudah mapan, dan "pra-konsepsi" ideasional tertentu (Palmer, 2005:208).

Hermeneutika Gadamer dan kritiknya atas kesadaran sejarah menegaskan bahwa masa lalu tidak seperti sebuah tumpukan kenyataan yang dapat dijadikan sebuah objek kesadaran, namun lebih sebagai sebuah arus di mana kita bergerak dan berpartisipasi dalam setiap tindakan pemahaman. Dengan begitu, tradisi bukanlah sesuatu yang berlawanan dengan kita namun merupakan sesuatu di mana kita berdiam diri dan sepanjangmana kita eksis; dalam kiasan yang sangat terkenal ia bersifat sangat transparan sebagai sebuah mediasi yang seolah-olah tidak terlihat pada kita---sebagaimana tidak terlihatnya air bagi ikan.

Bagi Heidegger dan Gadamer, bahasa, sejarah, dan keberadaan, semuanya tidak hanya saling berhubungan namun juga saling menyatu. Untuk itulah maka linguistikalitas keberadaan sekaligus merupakan ontologinya---"menjadi berada"nya---dan merupakan media historisitasnya (Palmer, 2005:208-209).

Konsekuensinya yaitu masa sekarang tidak dapat ditinggalkan begitu saja untuk masuk pada masa lalu; "makna" dari sebuah karya masa lalu tidak dapat dilihat secara menyendiri dalam term dirinya sendiri. Sebaliknya, "makna" karya masa lalu didefinisikan dalam term pertanyaan-pertanyaan yang diarahkan kepadanya dari masa sekarang.

Bila kita memikirkan struktur pemahaman secara hati-hati, kita dapat melihat bahwa persoalan-persoalan yang kita tanyakan diarahkan oleh cara di mana kita memproyeksikan diri kita sendiri dalam memahami masa yang akan datang. Oleh sebab itu tidak ada interpretasi tanpa pra-anggapan.

Temporalitas masa lalu-kini-akan datang teraplikasi baik dalam pemahaman saintifik maupun non-saintifik serta bersifat universal. Di dalam ataupun di luar sains tidak akan terdapat pemahaman yang tanpa pra-anggapan. Di mana kita memperoleh pra-anggapan kita? Dari tradisi kita berada. Tradisi ini tidaklah berlawanan dari pemikiran kita sebagai sebuah objek pemikiran namun merupakan produk relasi, horizon, di mana kita melakukan pemikiran kita. Tetapi, kita tidak dapat memperoleh pra-anggapan kita sepenuhnya dari tradisi. Kita harus ingat bahwa pemahaman merupakan suatu proses dialektis interaksi pemahaman diri seseorang ("horizon" atau "dunia"nya) dengan apa yang ditemuinya (Palmer, 2005:215-216).

  • Fusi Cakrawala (Verschmelzung von Horizonten) 

Ketika subjek membaca teks tentang suatu hal atau objek kajian, maka subjek akan berdialog dengan objek yang dikajinya pada situasi batin dan pikiran objek ketika dia menulis teks yang bersangkutan. Implikasinya yakni subjek harus tahu betul tentang latar belakang pemikiran ataupun tulisan yang dikajinya (Khasri, 2019: 31-32).

First of all, as a hermeneutical task, understanding includes a reflective dimension from the very beginning. Understanding is not a mere reproduction of knowledge, that is, it is not a mere act of repeating the same thing. Rather, understanding is aware of the fact that it is indeed an act of repeating (Gadamer, 1977:45). 

Bertitik tolak dari uraian pemikiran Gadamer di atas, dapat dipahami bahwa kegiatan memahami tidah hanya sekadar menghadirkan kembali ingatan masa lampau ke masa kini, dan juga tidak sekadar menghadirkan ulang pengetahuan lampau. Lebih dari itu, pemahaman merupakan modus eksistensi, yang bisa disamakan dengan cara manusia berada di dunianya.

Cara manusia berada itulah yang mengimplikasikan sebuah hubungan yang tak terelakkan antara subjek yang memahami dengan tradisinya, di mana tradisi tersebut merupakan horizon aktivitas berpikirnya sepanjang hidupnya sampai sekarang. Keterikatan pada tradisi juga mengimplikasikan pada adanya pra-asumsi yang selalu hadir bersamaan dengan proses "memahami" (Khasri, 2019: 32).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun