Dalam negara demokrasi, pilihan politik merupakan hak setiap warga negara. Seharusnya setiap orang bebas mendukung siapapun kandidat pemimpinnya, tanpa harus menerima konsekuensi sosial.
Namun tidak bagi Nurulita, seorang karyawan swasta. Ia justru diberhentikan secara sepihak oleh perusahaan tempatnya bekerja karena berbeda pilihan politik. Tak hanya itu, dia juga menerima bully-an dari bos dan rekan sekantornya.
Lita mengungkapkan, pemecatan atas dirinya dilakukan keesokan harinya setelah ia menghadiri acara Konvensi Rakyat, tempat Jokowi menyampaikan pidato kebangsaan.
Karena bisa berdiri sangat dekat dengan Jokowi, Nurulita spontan merasa bangga. Momen itu ia abadikan dalam bentuk foto yang kemudian ia upload ke dinding facebook-nya, dengan caption yang menunjukkan kebanggaannya itu.
Karena foto itulah, Nurulita keesokan harinya dipecat oleh manajemen PT. PPLA. Alasannya, Nurlita punya pilihan capres yang berbeda dengan mayoritas pegawai di perusahaan tersebut.
Ia tidak menyangka sekaligus kecewa dipecat hanya karena memperlihatkan foto dirinya di acara bersama Presiden.
Bisa dikatakan, Nurulita ini menjadi korban persekusi, bahkan dibully dan dipecat karena berbeda pandangan politik dengan rekan kerja dan atasan.
Apa yang menimpa Nurulita hanyalah secuil dari korban yang juga mengalami nasib serupa. Entah itu diintimidasi, dibully, diolok-olok bahkan dijadikan objek diskriminasi.
Pendukung Prabowo-Sandi memang mati-matian membela junjungan, tapi caranya aneh, konyol dan bikin geram. Mereka tak sadar tindakan seperti itu adalah pemaksaan dan intimidasi atas pilihan politik yang dilindungi UU.
Baru menjadi capres saja para pendukungnya sangat anti perbedaan pilihan politik, apalagi bila nanti sudah terpilih. Pasti akan sangat otoriter kepada masyarakat Indonesia. Siapapun yang berbeda akan diberangusnya.
Inilah kelakuan pendukung watak otoriter nan suka kekerasan ala Prabowo-Sandi. Jangan jadikan Indonesia seperti itu ke depannya, salah satunya dengan memastikan gerombolan fasis itu berkuasa.