Mohon tunggu...
ROBERTUS DARVINO KARNO
ROBERTUS DARVINO KARNO Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lahir pada bulan November, tanggal 15, 1993. Menyukai pemikiran Herakleitos tentang Pantha Rei. Bahwa sesuatu itu mengalir dan dinamis.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Nilai-nilai Filosofis Sawah Lodok dalam Budaya Manggarai

7 April 2022   09:29 Diperbarui: 7 April 2022   09:38 2164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: https://ksmtour.com

Karakternya yang unik dan eksotis tersebut kemudian menarik perhatian para peneliti untuk menggali makna yang sesungguhnya di balik keunikan sawah lodok tersebut. Di sisi lain keunikan dan ciri eksotis sawah lodok menarik perhatian para wisatawan terutama wisatawan manca negara.

Hal pertama yang wajib dilakukan sebelum upacara pembagian sawah lodok adalah dengan mengadakan musyawarah antara tua adat bersama warga kampung. Dalam  musyawarah tersebut jika telah mencapai kesepakatan bersama, maka selanjutnya dilaksanakan proses pembagian lahan. 

Adapun proses pembagian lahan itu yaitu harus melalui berbagai ritus adat yakni pemberian sesajian kepada para leluhur dan Realitas Tertinggi (mori kraeng) sebagai penghuni tanah ulayat tersebut.

Untuk membagi tanah ulayat secara adil dan merata maka di lodok harus ditanami dengan kayu teno dengan tinggi satu meter.Kayu teno dibuat menjadi pilar star pembagian tanah. 

Bila kayu teno telah ditancapkan maka disipkan juga satu butir telur ayam kampung (melambangkan kesuburan) dan segenggam daun ngelong(sejenis daun yang biasa digunakan untuk menyimpan sesajian). Sedangkan semua warga mengelilingi tempat tersebut dengan suasana yang hikmat.

Telur ayam dan daun ngelong diletakkan di dalam lubang yang telah digali untuk ditanami kayu teno tersebut. Orang-orang Manggarai meyakini bahwa telur ayam merupakan sumber kesuburan. Kelak tanah yang akan dibagikan akan menjadi tanah yang subur dan memberikan hasil panenan yang berlimpah ruah. 

Sedangkan di sekeliling kayu teno dibuatkan pagar kecil yang jumlahnya disesuaikan dengan jumlah peserta yang akan mendapat bagian dalam pembagian tanah ulayat tersebut. Penerima yang paling berhak menerima tanah tersebut adalah suku-suku asli yang mendiami sebuah tanah ulayat.

Setelah kayu teno dan pagar didirikan maka dibentangkanlah tali ke setiap pagar-pagar kecil yang tingginya disesuaikan dengan tinggi kayu teno tersebut. 

Tali itu kemudian direntangkan hingga ke batas terluar area tanah yang disebut cicing sehingga dapat membentuk pembagian tanah para peserta sesuai dengan daftar nama yang dipegang oleh tu'a teno(tua adat yang memiliki kewibawaan tertinggi dalam suatu kampung). 

Karena tanah itu adalah miliki seluruh warga maka, pembagian tanah tersebut diatur sesuai dengan jumlah suku atau clan yang mendiami kampung tersebut. Tidak menutup kemungkinan suku-suku lain yang mendiami kampung tersebut juga akan mendapat tanah. 

Hal ini dapat terjadi seturut kebijaksanaan para tua adat. Karena orang meyakini kehadiran pendatang (suku lain) dalam kampung adalah pembawa berkat. Mereka harus diperlakukan layaknya warga kampung. Meski pun dalam hal pengambilan keputusan yang substansial mereka tidak dilibatkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun