Mohon tunggu...
Robert Parlaungan Siregar
Robert Parlaungan Siregar Mohon Tunggu... lainnya -

Sekarang Pemerhati Indonesia Kekinian.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ngengsrot, Pecemaran Nama Baik dan Bung Karno

13 Oktober 2015   05:00 Diperbarui: 13 Oktober 2015   05:02 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

MEREKA YANG BERKUASA ATAS KAMU, ADALAH MEREKA YANG TAK DAPAT KAMU KRITIK

Kata-kata diatas mungkin dari Voltaire.
Kasus Prita menghentak bangsa Indonesia. Menghentak, meyadarkan betapa rapuhnya rakyat Indonesia, betapa lemahnya posisi mereka.

Prita Mulyasari dipenjara selama 21 hari
Prita ditahan Polisi karena menulis surat pembaca yang berisi keluhan tentang pelayanan yang diterimanya dari RS Omni. Dengan dalih perbuatan tidak menyenangkan/pencemaran nama baik, maka Prita dipidanakan oleh pihak Rumah Sakit Omni.

Bangsa ini begitu tersentak oleh penahanan terhadap Prita, hingga menelorkan Aksi Gerakan Sejuta Koin. Aksi yang unik dan baru kali ini dilakukan di negeri kita. Dahsyat karena semua kalangan dan golongan tergerak sekaligus terketuk hatinya untuk berpartisipasi memberikan koin meringankan beban Prita Mulyasari.
Kasus penahanan Prita juga menyita perhatian Presiden SBY yang meminta agar Jaksa Agung, Kapolri, dan Pengadilan mempertimbangkan berbagai segi dan hukum lainnya, termasuk undang-undang dasar secara keseluruhan.

Meskipun Prita mendapat dukungan yang begitu besar, perkara Prita masih diteruskan sampai ketingkat Mahkamah Agung. Prita baru bebas pada tingkat PK di Mahkamah Agung
Catatan: Prita sendiri tidak menuntut Pihak Rumah Sakit atau Pihak manapun atas pencemaran nama baiknya, atas penderitaannya ditahan selama 21 hari.
Kisah Prita berlanjut dengan Prita lain, malah semakin umum terjadi dan Bangsa Indonesia sudah menerimanya sebagai Hal yang Adil, sebagai Hal yang Semestinya.

Rakyat Ngengsrot dilarang melihat wajah seorang Bangsawan
Sebelum kemerdekaan, dizaman feodal, seperti juga pada kasus Prita, yang memiliki nama baik hanyalah para Bangsawan. Orang kebanyakan tidak diperkenankan melihat wajah seorang Bangsawan maka jika berhadapan duduk bersimpuh, muka tunduk.

Jika perlu bergerak maju atau mundur, maka tetap dududuk bersimpuh, muka tunduk dan mengeser-geserkan tubuhnya tanpa pantatnya lepas dari lantai.
Bangsawan duduk/berdiri lebih tinggi. Menengadah, berani melihat wajah si Bangsawan sama dengan mencemarkan Nama Baik si Bangsawan.

Kepala Daerah sesudah kemerdekaan
Masa kanak-kanak saya di Bogor. Bupati/Walikota atau Residen sangat anggun dan berwibawa. Mereka bertutur dengan lembut. Jika seorang Rakyat Kebanyakan menyerang mereka, mungkin wajah merah sesaat, lalu kembali menunjukkan keanggunan mereka, menunjukkan betapa tinggi/besarnya mereka. Mereka tetap berbicara dengan lembut.
Si Kepala Daerah meyakinkan si Rakyat Kebanyakan bahwa yang diperbuat si Kepala Daerah adalah untuk kesejahteraan bersama. Tidak pernah terjadi seorang Kepala Daerah menuntut Rakyat Kebanyakan.

Seorang Kepala Daerah akan mencemarkan Nama Baiknya sendiri, jika dia marah-marah atau tersinggung, apalagi mempidanakan seorang Rakyat Kebanyakan.

Bung Karno memuliakan Rakyat Ngengsrot dan Prita
Ucapan Bung Karno Ini Dadaku, Mana Dadamu sesungguhnya sudah melepaskan Belenggu Rakyat Ngengsrot dan Prita sebagai Kelas Lemah. Ucapan Bung Karno itu mensetarakan Rakyat Ngengsrot dan Prita dengan Kelas Penguasa dan Pengusaha.

Ini Dadaku, Mana Dadamu

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun