Mohon tunggu...
roberan 25
roberan 25 Mohon Tunggu... Seniman - Penulis Lepas

Kenapa Jadi Penulis Lepas ? Ingin Melepaskan beban

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bab I: Paradoks dan Kenyataan Pahit

23 Mei 2019   22:29 Diperbarui: 24 Mei 2019   09:15 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sejak menginjak usia dewasa, pemikiran pertama yang terus membuat asa menggelora jiwa ialah kebiasaan yang kiat berubah mengikuti raga. Semua gaya dan daya berubah seolah raja yang memerintah dayang-dayangnya untuk terus memetuhi sebuah perintah. Hal ini membuat gundah gulana memikirkan cita rasa sebuah karya yang ikut andil dalam suatu cita-cita. 

Paradoks dan kenyataan pahit ikut mengusik dengan taktik agar sang khalayak ramai tergelitik seolah sebagai pemantik. Keputusan, kekuatan dan kenyataan memang terkadang menyerang dan membelenggu pribadi yang rentah dan fana, penolakan dan penghakiman seolah-olah membimbing jiwa kearah yang salah. Waktu itu berbeda dengan sebelumnya. 

Jiwa yang lemah kan kalah dengan kenyataan dan kebenaran yang semu, seolah ikut membiarkan jiwa itu mati dan terus mati. Langkah yang terhenti seakan ikut merajut asa yang telah padam. Siapa sangka manusia-manusia berjiwa lemah susah rentah, dapat menyeimbangkan lingkungan dengan kenangan yang diawali angan-angan palsu yang seolah menusuk jiwa dan kalbu? 

Lalu, siapa yang harus menjawab dan menebak segala kemungkinan itu ? Apakah para pendosa yang berharap surga ? atau bahkan pendoa yang takut akan neraka ? Suatu paradoks dan kenyataan pahit, seperti penjahit yang sedang terhimpit, menjerit-jerit seakan dirasuki ifrit. Menentukan tanggung jawab dan berharap hak seakan khalayak tergeletak mengoyak dan tak layak. 

Siapapun anda pasti tidak tahu, mengapa kegagalan kerap menghimpit dan terasa sulit. Menarik dan terus tergelitik merupakan suatu taktik untuk menghindari kritik. Fisik yang mulai menua, membuat jiwa enggan terpana dengan semua ke fanaan dan hawa dunia. Saat itu langit ikut menyaksikan penolakan yang dialami oleh manusia berdosa ini, ikut membuat kita terenyuh.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun