Mohon tunggu...
Cerpen

Apa Itu Cinta?

20 Maret 2017   20:24 Diperbarui: 21 Maret 2017   06:00 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen Karangan : Robby Kurniawan

Manusia, apa kau ingat siapa dirimu?
 Apa kau ingat tugas yang diberikan padamu di dunia ini?
 Apa kau ingat apa tujuan hidupmu?
 Manusia, kau nodai dunia dengan minimnya akhlakmu
 Kau lukai dunia dengan keserakahanmu
 Kau hancurkan dunia dengan ambisimu
 Seperti inikah yang disebut makhluk paling mulia dan sempurna?

Aku terpana oleh setiap kata yang keluar dari mulutnya. Terdengar sarkastik, namun pesannya mampu menembus hati. Tak ada yang pernah menyangka cewek sepertinya mampu menyampaikan kata penuh makna di hadapan seluruh penghuni kelas.

Dia adalah Riska, teman sekelasku. Sudah dua tahun aku berada di kelas yang sama dengannya, dan sudah dua tahun juga aku tak kunjung memiliki kesempatan untuk dekat dengannya. Riska itu siswi yang paling cuek dan pendiam di kelas. Namun dibalik sifat cuek dan diamnya itu, dia menyembunyikan banyak fakta menarik. Yang pertama, ternyata dia adalah seorang fangirl. Kedua, dia juga seorang Otaku dan Fujoshi. Ketiga, dia siswi yang cukup cerdas. Keempat, dia memiliki kemampuan menulis yang luar biasa. Dia mampu merangkai kata-kata sehingga memiliki makna dan pesan yang sangat berarti, dan dia mampu menyampaikannya hingga terdengar indah di telinga pendengarnya.

“Manusia, dunia itu ibarat permainan. Dimana para pemainnya berlomba agar menempati level teratas, hanya demi harta dan tahta. Namun dunia tidak bisa semudah itu kita miliki, karena hanya ada dua pilihan untuk menghadapinya. Yaitu membunuh, atau dibunuh. Terima kasih.”

Seisi kelas terpaku mendengar kata terakhir dari puisi yang Riska bacakan. Tak ada satu pun ucapan selamat atau tepuk tangan untuknya. Aku sendiri ikut kaget mendengar kata-kata janggal itu, kata-kata yang seperti menyerukan peperangan. Tapi entah kenapa aku yakin, ada arti dan makna tertentu dibalik kata-kata tersebut. Aku yakin Riska tidak bermaksud menyerukan hal tidak baik, jadi aku pun berdiri; bertepuk tangan untuk Riska.
 “Huuuh, hebat! Riska emang the best!” seruku tanpa mempedulikan pandangan teman-teman yang memandangku dengan penuh tanya. Namun kemudian, semuanya ikut bertepuk tangan untuk Riska, mengikuti seruanku yang membanggakan dirinya. Dan Riska pun kembali ke tempat duduknya.

Aku tertarik padanya, aku menyukainya. Entah sejak kapan, mungkin semenjak aku tahu dia tipe cewek yang tak banyak tingkah tapi menyimpan segudang keistimewaan. Yang jelas, aku tak dapat melepaskan pandanganku darinya.

“Hey, hey! Yang merasa Tim Kreatif, ayo kesini!” Bel istirahat baru saja berbunyi ketika tiba-tiba Deni berteriak di depan kelas. “Ayo cepet, gue mau bagi-bagi job desk, nih.” lanjutnya.
 Aku yang merupakan anggota Tim Kreatif untuk Drama Musikal kelas kami pun menghampiri Deni, diikuti oleh teman-teman Tim Kreatif lainnya. Kami duduk membentuk lingkaran di atas lantai di depan kelas, dan aku duduk tepat di seberang Riska berada.
 “Oke, gue langsung ngomong aja, ya. Soalnya kalau lama kasian, kita kan belum istirahat,” ucap Deni.
 “Ya udah, Den. Gak usah basa-basi, lapar nih.” sahut Jeje.
 “Iya, bawel.”
 Deni membolak-balik kertas yang ada di tangannya, membaca dan mencoba menyampaikan apa yang tertulis di sana. “Jadi gini, teman-teman. Kita kan kebagian tema Kisah Kasih di Sekolah, otomatis Drama yang nanti harus kita pentaskan itu tentang cinta-cinta gitu. Nah, gue mau yang urus naskah dramanya itu Riska. Karena gue yakin Riska bisa, Riska pinter merangkai kata-kata puitis nan dramatis. Lo sanggup kan, Ris?”
 Riska mengangguk. “Oke, sanggup.”
 “Riska mah pasti sanggup, pasti bilang iya. Riska kan lempeng,” komentar Iqbal, dan langsung mendapatkan tatapan tajam dari Riska.
 Aku tersenyum melihat ekspresinya. “Enggak, Bal. Riska tuh the best, jadinya dia sanggup lah, karena dia the best.” ucapku kemudian, membuat Riska tersenyum padaku.
 “Ssst, Boy.” Deni memanggil namaku.
 “Iya, bro?”
 “Lo juga bantu Riska ya, nyusun naskah Dramanya.” jawab Deni.
 Aku terkejut. “Kok gue?”
 Deni mengangguk.
 Aku menggaruk dan menatap ke arah Riska, yang memberikan tatapan datarnya padaku. Kemudian aku tersenyum lebar. “Ya udah, gak apa-apa. Selama ada Riska, gue juga sanggup, kok.”
 Semuanya tertawa mendengar aku kembali membanggakan Riska, dan Riska ikut tertawa. Aku yakin dia hanya menganggap perkataanku sebagai candaan semata, padahal sebenarnya aku memang tertarik padanya.

Setelah Deri selesai membagikan job desk pada anggota kami, semuanya pun bubar dan berbondong-bondong pergi ke kantin. Sudah tak ada lagi yang dapat menahan rasa lapar yang sudah dari tadi mengerogoti perut. Termasuk diriku, dan juga Riska.
 “Hey, Ris.” Aku mendekati Riska dan mengiringi langkahnya.
 “Apaan?” tanyanya.
 “Minta pin BBM lo, dong. Kira-kira kita mau mulai nulis naskahnya kapan?”
 “Ehm, secepatnya. Nanti janjian aja,” jawabnya sambil memberikan pin BBM-nya padaku.
 Aku tersenyum lebar. “Oke.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun