Mohon tunggu...
Robby Karman
Robby Karman Mohon Tunggu... -

Pernah nyantri...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Satu Islam Ragam Pemahaman

8 Februari 2012   14:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:54 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini diinspirasi oleh perkataan atau tulisan yang penuh keingintahuan sekaligus menggugat, Islam itu satu,Al Quran dan sunnah satu,tapi kenapa ada organisasi ini, organisasi itu, partai Islam ini, partai Islam itu, aliran ini, aliran itu?

Islam itu satu, Al Quran dan sunnah itu satu, tapi memang pemahamannya banyak.. Jangankan dari yang beda firqah, jangankan dari yang beda mazhab, jangankan dari yang beda pesantren, jangan dari beda guru, dari satu orang saja bisa beda.. Imam syafii contohnya, saat di baghdad berbeda pemahamannya dengan saat di Mesir, sehingga ada istilah qaul qadiim dan qaul jadiid. Lalu saya pun semenjak di pesantren, menemukan perbedaan antara ustadz lulusan timur tengah dengan lulusan UIN. Kalau lulusan timur tengah bercorak arab-sentris, karena letak geografis dan sumber keilmuan mereka terletak di timur tengah, kalau lulusan UIN bercorak lebih indonesia-sentris, ya karena UIN di Indonesia. Itu masih dalam satu pesantren lho, namun yang menarik tidak ada hal yang membuat lulusan arab dan UIN tidak harmonis, semua berjalan harmonis. Saya pun dikarenakan keluaran pesantren yang dibina keharmonisan dalam keragaman pemahaman, maka corak pemikiran saya pun cenderung tidak terlalu mempermasalahkan keragaman (kalau bahasa kerennya, posmodernisme).Lalu kita bisa lihat kasus para ulama mazhab di masa lalu, ambil contoh imam malik dan imam abu hanifah. Kalau Imam Malik dikarenakan hidup di Madinah, menghadapi masalah yang bisa diatasi dengan mengambil contoh terdahulu, yang tidak terlalu rumit, maka pemahaman beliau sangat tekstual. Ya karena masalah-masalahnya sederhana, dan dengan pemahaman tekstual pun beres. Sedangkan Imam Abu Hanifah, beliau hidup di Baghdad, di sebuah kota metropolitan kalau zaman sekarang, disana hidup macam-macam orang dari berbagai budaya (kita tahu bahwa sebelum Islam Persia sudah punya peradaban), maka masalah dihadapi beliau pun lebih rumit dan bermacam-macam, maka pemahaman beliau pun tidak bisa tekstual atau apa adanya, melainkan dibutuhkan penalaran rasio dalam memahami teks-teks agama, dengan kata lain kontekstual. Sehingga lahirlah madzhab maliki, yang tekstual, dan mazhab hanafi yang kontekstual. Oleh generasi selanjutnya, Imam Malik disebut Ahlul Hadiits (pengguna hadits), dan Imam Abu Hanifah disebut Ahlu Ra'yi (pengguna akal).Nah, pengolahan teks dengan akal ini dimetodologikan oleh Imam Syafii menjadi Ilmu Ushul Fiqh.

Jangankan masa sekarang, jangankan masa para ulama fiqh dan hadits,jangankan zaman sahabat dan generasi sahabat salafus shalih, zaman nabi saja, saat Rasul masih hidup, sudah ada perbedaan pendapat, pernah denger kan cerita tentang 2 orang sahabat yang disuruh Rasulullah saw. sholat ashar di bani quraizhah, yang satu memahaminya tekstual apa adanya, sehingga benar2 sholat di bani quraizhah, yang satu lagi memahaminya secara kontekstual, sehingga saat waktu ashar akan habis dan mereka belum sampai di bani quraizah, dia sholat ashar walau secara teks melanggar perintah nabi, karena pemahaman dia bahwa nabi menyuruh seperti itu agar mereka cepat2 ke bani quraizhahnya. Tatkala peristiwa itu diadukan, nabi saw. diam pertanda tidak menyalahkan kedua2nya.. Begitupun saat ada dua orang sahabat yang tidak menemukan air untuk wudhu, kemudian tayamum lalu sholat, lalu setelah sholat, mereka menemukan air, yang satu sholat lagi, yang satu tidak sholat lagi. Saat diadukan ke Nabi, Nabi menjawab kepada yang tidak sholat lagi, kamu telah mengikuti sunnah. Nah lho, si yang sholat lagi kaget, berarti gue salah donk? katanya dalam hati. Namun tanpa di duga, kepada yang sholat lagi, kamu dapat 2 pahala. Nah lho? aneh kan? ya Nabi tahu dan sadar, bahwa 2 orang ini niatnya baik, gak ada satupun diantara 2 orang ini yang bermaksud menentang Nabi, dan proses mereka berfikir pun oleh Nabi dihargai, jadi aja dua-duanya dibenarkan. Nabi sendiri pun, dalam kehidupannya, bisa seperti Imam Syafii tadi, jadi saat awal membangun tauhid, nabi mengharamkan ziarah kubur karena takut jadi musyrik lagi umatnya, nah saat di madinah, saat dirasa tauhid umatnya sudah kuat, dibolehkan, malah dianjurkan karena bisa mengingatkan kepada kematian.

Imam Abu Hanifah pernah mengatakan, Ra'yunaa hadzaa shawwaab, wa laakin yahtamilul khatha', wa ra'yukum haadzaa khata' walaakin yahtamilu shawwaab. pendapat kami kini dan disini tepat, walau kemungkinan nanti atau disana tidak tepat, pendapat kalian disini dan kini, tidak tepat, walau mungkin disana dan nanti tepat.. inilah fiqh (secara etimologi fiqh berarti pemahaman). Syaikh Muhammad Rasyid Ridha yang kemudian dikutip oleh Imam Hasan Al Banna pun mengatakan, Nahnu nata'aawan fiimattafaqnaa wa natasaamah, fiimakhtalafnaa.. Kita bekerja sama dalam hal-hal yang disepakati, dan toleransi dalam hal yang diperselisihkan. Maka kalau kata Rhoma Irama TERLALU.. kalau ada pihak-pihak yang memaksa Islam ini harus dipandang dengan datu pandangan, harus difahami dengan satu pemahaman. karena pemahaman ini adalah soal shawwab dan khatha, bukan haq dan bathil.. Shawwab dan khatha berbeda dengan haq dan bathil. shawwab dan khatha' kalau shawwab dapat 2 pahala, kalau khatha' dapat 1 pahala. Sedangkan haq dan bathil kalau haq surga, kalau bathil neraka.. shawwab khatha dalam masalah fiqh, sedangkan haq dan bathil masalah akidah.

Memang pasti ada seseorang yang semenjak awal dia mengkaji Islam, didapatkan dari ustadz-ustadz yang anti keragaman, atau kurang terbiasa dengan keragaman. Pemahaman yang anti keragaman dan fanatik terhadap keseragaman inilah yang disebut aliran monolitik. Ya karena saya berada dalam faham yang menerima keragaman maka mau tidak mau saya harus hargai juga eksistensi mereka, walau sedikit atau banyak mereka pasti akan berlawanan dengan yang pro-keragaman. Biar bagaimanapun mereka juga bagian dari keragaman tadi kan? yah sabar aja. Nah, apakah saat kita pro-keragaman maka kita juga manjadi tidak punya keyakinan atau pegangan? Dan apakah saat kita menghargai keragaman maka kita tidak menghendaki lagi ada forum-forum dikusi untuk adu argumentasi antara masing-masing pemahaman? Tentu tidak. Keyakinan mutlak diperlukan karena dengan kayakinan lah amalan-amalan kita bisa diterima, namun kita harus menyadari bahwa di luar keyakinan kita, orang lain juga punya keyakinan, nah tugas kita adalah membangun keharmonisan antara keyakinan-keyakinan ini. Lalu soal adu argumentasi jelas sangat perlu, sebagai pengayaan wawasan, kalau kata kawan-kawan LKIs, memperkenalkan perspektif, memperkaya wacana. Tentu dari diskusi akan didapat mana yang terbaik dari yang baik. Namun tatkala ditemukan jalan buntu, maka keputusannya sepakat dalam ketidak sepakatan, dan disinilah diperlukan toleransi demi kemaslahatan bersama.

Namun catatan pentingnya adalah, berbeda bukan asal beda! beragam bukan asal beragam! tentu perbedaan dan keragaman ini bukan semata-mata rame-ramean pingin beda, tapi dibangun atas dasar yang bisa dipertanggung jawabkan. Persatuan tidak akan ada kalau unsurnya hanya satu, kalau hanya satu, apa yang mau disatukan? toh hanya satu? tapi persatuan ada dari keragaman yang kemudian dibingkai oleh bingkai ukhuwah Islamiyah. Kalau kata bahasa sansekerta, Bhineka Tunggal Ika.

Salam Damai! Bandung 4 Februari 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun