Mohon tunggu...
Robby Arief
Robby Arief Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hardiknas, Pengingat Mimpi Ki Hajar Dewantara yang Belum Terwujud

2 Mei 2017   07:30 Diperbarui: 2 Mei 2017   07:53 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : ARSIP KOMPAS Ki Hajar Dewantara diabadikan 11 Maret 1959, sebulan sebelum meninggal.

Pendidikan adalah syarat dasar bagaimana indikator sebuah negara dilabeli maju. Pendidikan adalah dasar di mana manusia bisa meraih kesejahteraan bagi hidupnya. Dengan pendidikan yang terpenuhi masyarakat akan mengetahui berbagai indormasi. Mencetak pola pikir bagaimana caranya meraih kebahagiaan. Kita lihat negara-negara seperti Jepang dan Amerika, begitu modernnya mereka sampai-sampai bisa menguasai pasar perekonomian dunia. Pendidikan disusun rapi sedemikian rupa, mulai dari jenjang yang paling dasar sampai jenjang tinggi macam perkuliahan.

Di Indonesia sendiri, tepat hari ini pada tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional atau yang biasa kita sebut sebagai Hardiknas. Ditetapkan bersamaan dengan kelahiran bapak pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara, menjadi saksi bisu di mana terus menurunnya kualitas pendidikan di sini. Seperti guru semakin terdesak dengan gaji yang tak setara, banyak terjadi krisis guru di beberapa tempat walaupun lulusan pendidik di sini membeludak, degradasi moral murid, amburadulnya kurikulum, serta tidak relevannya ujian akhir semacam UNAS.

Masih ingatkah anda dengan tiga jargon mashyur yang pernah dikumandangkan Ki Hajar Dewantara. Bahkan salah satunya menjadi semboyan pakem Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sampai saat ini. Ketiganya berbunyi Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mbangun Karsa dan Tut Wuri Handayani.

Ing Ngarsa Sung Tuladha, yang mempunyai pengertian orang-orang yang berada di depan (pemimpin) sebagai seorang teladan. Pemimpin adalah orang yang paling dikagumi bagi rakyat/ bawahanya, tentu saja karena kekaguman tersebut muncullah sosok idola yang didambakan dan mengakibatkan para bawahan tadi mencontoh dia sebagai panutan.

Kita liat sekarang para artis banyak digandrungi dikarenakan sosoknya sangat berpengaruh selayaknya seorang pemimpin. Otomatis image yang diperlihatkan si artis akan ditiru banyak orang, walaupun itu baik atau buruk. Hal ini berbanding terbalik dengan guru sebagai pemimpin siswa-siswi di sekolah. Ekspektasi awal guru sebagai panutan siswa-siswi kini banyak menyimpang. Guru banyak diposisikan sebagai pelayan siswa-siswi. Guru melayani sebagai fasilitator belajar dan ketika murid tidak memenuhi indikator guru yang disalahkan. Semakin marak kasus penahanan guru karena pemberian punishment yang diduga over bagi wali murid. Padahal juga sudah jelas guru tidak mungkin melakukan hal semacam itu jika muridnya tidak melanggar peraturan atau berkelakuan kurang ajar.

Ing Madya Mbangun Karsa, yang berarti di tengah membangun niat atau kemauan. Orang yang sudah berada di tengah kesibukan/kesuksesan hendaknya juga memperhatikan sekelilingnya. Apakah dia berguna bagi lingkungan sekitar. Ataupun orang tersebut bisa menghadirkan apa yang dibutuhkan lingkungannya.

Indikator ini ditujukan kepada para remaja yang sudah terjun dalam pembangunan karirnya. Menumbuhkan inovasi baru, agar berguna bagi lingkungan dan negaranya. Tak luput pula guna menuntun para juniornya yang sedang berjalan menuju impiannya. Sering kali mungkin kita dimintai tolong oleh orang yang lebih muda dari kita. So, jangan jatuhkan mental mereka dengan mengolok bahwa mereka tidak bisa. Tuntunlah mereka, mungkin suatu saat mereka akan melebihi dirimu dan berguna bagi bangsa sebagai penerusmu.

Tut Wuri Handayani, yang mempunyai artian mengikuti dari belakang dan memberikan motivasi. Seorang guru harus bisa memberikan dorongan dari belakang kepada siswa-siswi agar pantang menyerah untuk maju. Memberikan motivasi agar siswa-siswi meraih cita-citanya dan menjadi generasi yang lebih baik dari generasi sebelumnya. Mencoba menularkan ilmu semaksimal mungkin sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.

Menjadi guru bukan hanya mencerdaskan anak bangsa, tetapi bagaimana caranya guru itu mengarahkan kecerdasan siswa tersebut. Tentu saja ke ranah yang positif. Di dunia ini orang pada awalnya terlahir dengan kecerdasan masing-masing, tinggal mereka saja yang menentukan. Mampu mengendalikannya atau tidak

Memperingati Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2017, mari memperbaiki pendidikan dan moral para siswa siswi di Indonesia. Menjadi pendidik, niatlah mengajar dengan slogan Jihad fi Sabilillah dalam artian mengajar dengan niat berjihad. Jadilah pelajar yang mampu menginstropeksi diri dan jadilah pengajar dengan slogan khas “pahlawan tanpa tanda jasa.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun