Mohon tunggu...
Robbi Khadafi
Robbi Khadafi Mohon Tunggu... Jurnalis - Tukang Ketik

Kecil disuka muda terkenal tua kaya raya mati masuk surga

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Mempertontonkan "Kedunguan" Capres 2019

25 Januari 2019   13:50 Diperbarui: 25 Januari 2019   13:58 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menggelar debat perdana calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pemilihan presiden (Pilpres) 2019 di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis (17/1/2019) malam. Dalam debat tersebut, kedua pasangan calon (paslon) yakni Joko Widodo atau Jokowi - Kiai Ma'ruf Amin dengan nomor urut 01 dan Prabowo Subianto - Sandiaga Uno nomor urut 02, membahas masalah hukum, hak asasi manusia (HAM), korupsi dan terorisme.

Debat yang di moderatori oleh dua jurnalis senior Ira Koesno dan Imam Priyono selama kurang lebih 90 menit itu berlangsung seru. Di awal debat kedua paslon diberikan kesempatan menyampaikan visi misinya. Pada segmen ini keduanya tidak menemui masalah. Namun ada perbedaan dalam penyampaianya, dimana Jokowi tidak memberikan kesempatan kepada Ma'ruf Amin berbicara. Sementara Prabowo-Sandi bergantian menyampaikannya.

Sesuai dengan judul yang saya buat di atas, saya mengutip pernyataan atau istilah yang sering kali dikatakan oleh pengamat politik yang juga akademisi Rocky Gerung terkait "dungu". Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia atau KBBI, dungu memiliki arti sangat tumpul otaknya; tidak cerdas; bebal; bodoh. Sementara arti kedunguan adalah kebodohan; kekebalan.

Dalam debat perdana ini, saya melihat banyak kedunguan yang diperlihatkan oleh kedua paslon. Padahal KPU sebagai penyelenggara debat sudah memberikan kisi-kisi pertanyaan yang akan dipertanyakan oleh moderator. Sebab itu, saya akan memaparkan kedunguan yang dilakukan oleh kedua paslon. Saya menulis artikel ini bukan bermaksud untuk menjelek-jelekan kedua paslon, melainkan untuk membuka mata publik agar tidak salah menentukan pilihannya dalam memiliki pemimpin Indonesia 5 tahun mendatang pada 17 April 2019.

Jokowi

- 9 Menteri Perempuan

Pada segmen keempat, Jokowi salah menyebut jumlah menteri perempuan yang ada di kabinet kerja Jokowi-Jusuf Kalla. Ia menyebut ada 9 menteri perempuan. Padahal saat ini jumlah menteri perempuan di kabinetnya ada 8 menteri. Yakni Sri Mulyani Menteri Keuangan, Susi Pudjiastuti Menteri Kelautan dan Perikanan, Retno Marsudi Menteri Luar Negeri, Rini Soemarno Menteri BUMN, Nila F Moeloek Menteri Kesehatan, Puan Maharani Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Yohana Susana Yembise Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Siti Nurbaya Bakar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

- Penegak Hukum Berafiliasi dengan Parpol

Masih pada segmen yang sama seperti di atas, Prabowo-Sandi bertanya kepada Jokowi-Ma'ruf mengenai penunjukan jabatan aparat penegak hukum berafiliasi atau ditempati oleh kader partai politik. Bukan berasal dari orang yang netral. Jokowi menjawab "Menurut saya, jabatan itu yang paling penting seperti tadi bisa sampaikan ada sebuah merit sistem, ada sebuah proses rekrutmen yang betul, proses rekrutmen yang transparan, proses recrutment yang mengacu pada kompetensi, kepada integritas, kepada kapasitas, banyak kok aparat hukum yang berasal dari partai yang dalam memimpin juga sangat baik dan legendaris.

Misalnya Pak Baharuddin Lopa itu dari PPP, nyatanya memimpin kejaksaan juga bisa sangat baik. Kenapa harus jadi dibedakan ini yang partai, ini yang non partai saya kira sama saja buat saya, yang paling penting proses rekrutmen yang penuh."

Berkaca pada jabatan Jaksa Agung saat ini yang ditempati oleh Muhammad Prasetyo dari Partai Nasional Demokrat (NasDem), dimana NasDem merupakan partai pendukung Jokowi, banyak kasus tebang pilih. Terutama yang berkaitan dengan partai pendukungnya. Sebagai contoh kasus "papa minta saham" pada 2015 lalu yang melibatkan Setya Novanto atau Setnov. Ketika itu Setnov menjabat sebagai Ketua DPR yang juga petinggi Partai Golkar. Hingga kini, kasus tersebut tidak jelas. Apakah sudah dihentikan atau tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun