Mohon tunggu...
Robbi Gandamana
Robbi Gandamana Mohon Tunggu... Ilustrator - Ilustrator

Facebook : https://www.facebook.com/robbi.belumfull -------- IG : https://www.instagram.com/robbigandamana/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara Muslim dan Kafir Budiman

7 Maret 2018   18:47 Diperbarui: 8 Maret 2018   08:41 2078
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tangkapan layar dari Instagram

"Aku tidak bisa menuduh orang lain itu kafir atau muslim. Bahkan Aku menyebut diriku muslim saja tidak berani, karena itu hak prerogatif Allah untuk menilai aku ini muslim atau bukan, " kata Cak Nun suatu kali.

Statement di atas adalah bentuk kesadaran manusia yang biso rumongso, kesadaran untuk rendah hati di hadapan manusia dan Allah. Kesadaran dari seseorang yang merasa ibadahnya masih belum apa-apa dibandingkan Nabi, sehingga sungkan menyebut dirinya muslim di hadapan Allah.

Tentu saja itu bukan bentuk rasa minder menjadi muslim. Pahami konteks dan nuansanya.

Di negeri ini nggak cuman krisis kesempitan dan kedangkalan berpikir, tapi juga krisis rendah hati. Banyak orang yang hapal Al Qur'an dan ngajinya fasih (wong Arab kalah fasih) tapi malah menjadikannya tinggi hati, merasa paling alim, paling benar, yang lain masuk neraka. Surgone dipek dewe.

Kemarin ada Ulama yang menganggap statement Cak Nun di atas bertentangan dengan doa yang diajarkan Nabi (doa iftitah : " Wa ana minal muslimin (aku dari golongan orang muslim.."). Yo wis jarno ae, kita hormati pendapatnya. Aku gak seneng ngedu Cak Nun dengan ulama lain. Semua punya peran dan kontribusi dalam memajukan Islam.

Yang kutahu doa itu harapan, kalimat di doa iftitah itu lebih pada berharap (dijadikan golongan orang muslim). Soal kita termasuk (lulus jadi) orang muslim atau tidak, hanya Allah yang tahu pasti. Manusia hanya bisa berharap dan mengira-ngira.

Banyak orang (di luar jamaah Maiyah (istilah untuk jamaahnya Cak Nun)) yang memahami omongan Cak Nun dengan apa adanya. Tidak dipahami konteksnya dan nuansanya, juga tidak jernih sampai ke akarnya. Cak Nun berdakwah pun diejek mirip agama sebelah, karena diselingi musik di jedah dakwahnya. Musik itu cuman kendaraan, nggak ada agamanya. Nggak masalah kalau dijadikan kendaraan menuju Allah.

Beliau meneladani cara dakwah Sunan Kalijaga yang berdakwah dengan pendekatan kultural. Cara dakwah yang nyaris tanpa simbol Islam, tanpa teriakan "Allahu Akbar!", tapi secara subtansi sangat Islam, sangat rahmatan lil alamin, tanpa perlu merendahkan orang lain untuk meninggikan diri. Sunan Kalijaga adalah contoh ulama yang paling sukses berdakwah dengan cara yang sangat Jawa, sama sekali tanpa kostum Arab.

Buat apa sih bergamis tapi hobinya bikin status di medsos yang berpotensi polemik, menonjol-nonjolkan diri, terlihat benar dengan cara menyalahkan orang. Terkenal dengan cara yang nggilani. Apalagi dia bergelar Ulama. Itu bukan teladan Nabi, tapi teladan Wak Di.

Jangan bercita-cita terkenal, tapi bercita-citalah jadi orang yang bermanfaat bagi orang banyak, dengan begitu otomatis akan terkenal dan terpaksa kaya. Itu yang dilakukan Cak Nun. Dengan stamina yang luar biasa di usia senja hampir tiap hari mengisi berbagai acara dimana-mana. Tidak pernah berhenti membesarkan hati rakyat.

Kuperlah orang yang mengatakan Cak Nun sebagai Ustadz yang nggak laku, omdo, tanpa bergerak. Yang ngomong begitu biasanya mereka-mereka yang menganggap Ustadz yang top itu yang sering tampil di layar tipi nasional. Cak Nun sendiri menolak tampil di tipi nasional, karena di sana penuh kepalsuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun