Mohon tunggu...
Rob Januar
Rob Januar Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Sedang menikmati pagi senja kolong Jakarta...rock on!!!

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Jurnalisme Mesti Membumi

13 April 2013   00:08 Diperbarui: 20 April 2016   01:19 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13657861391018303244

Itu pesan besar yang saya dapat dari seminar "Jurnalism 101" di AMINEF Jakarta, 11 dan 12 April. Seminar yang diadakan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia ini menghadirkan pembicara Inna Dubinsky (BBG Development Officer dari Voice of America), Frans Demon (Koresponden VOA Biro Jakarta), Harry Surjadi (Penerima Knight International Journalism Fellowship), dan Iskandar Zulkanaen (Kompasiana). Hal menarik pertama yang saya dapat adalah mengenai etika dalam praktik jurnalistik Harry Surjadi, mantan wartawan Harian Kompas yang sekarang menjadi koordinator Greenpeace Indonesia. Berbekal minat dan kepedulian pada isu-isu lingkungan hidup, Selama menjadi wartawan Kompas, Harry kerap menguak kasus penyelewengan keputusan terkait perusakan lingkungan. Sedikit informasi, Harry menilai dirinya "mengidap" Ekosenstrisme. [caption id="attachment_237742" align="aligncenter" width="619" caption="Harry Surjadi (Kompas.com)"][/caption]

Ilustrasi kisah yang Ia ceritakan adalah pengalamannya saat meliput rencana Indonesia mengimpor lumpur galian dari Singapura. Sebuah metode peliputan kontroversial yang Ia tempuh adalah meyakinkan Badan Pengendalian Lingkungan (Bapedal), instansi yang akan menjadi narasumbernya, untuk meneliti kandungan lumpur galian tersebut. Hasilnya, dari berita investigasi yang ia tayangkan di Harian Kompas, impor lumpur tersebut berhasil digagalkan setelah Bapedal berhasil membuktikan lumpur tersebut mengandung bahan limbah berbahaya.

Mempengaruhi pendapat narasumber adalah salah satu hal paling tabu dalam praktik Jurnalisme. Ditilik dari Kode Etik Jurnalistik, hal tersebut melanggar prinsip objektivitas.

Namun, bukan itu saja keputusan kontroversial yang Ia ambil selama 10 tahun masa kerjanya di Harian Kompas. Menurut pengakuannya, Ia bahkan tidak segan mengatakan motivasinya dalam menulis berita seputar perusakan lingkungan adalah melakukan persuasi. Di seminar, Ia menceritakan mengapa Ia berani menempuh hal tersebut. Motivasinya cuma satu. Dengan bekal minat dan pengetahuannya, intuisi kewartawanannya mengatakan Ia harus melakukan hal itu agar pembaca tercerahkan mengenai fakta di sisi lain. Tanpa mendeskripsikan fakta yang mendasari kecurigaannya, Harry merasa narasumber utama, yang justifikasinya memiliki otoritas untuk menentukan benar tidaknya skeptisme awal, tidak akan teryakinkan untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan Hingga detik ini, Ia meyakini bahwa bentuk-bentuk Advocative Journalism seperti itu benar saat media memberitakan kejadian penyelewengan yang dinilai dapat membawa kerugian bagi kepentingan masyarakat umum. Hal ini sejalan dengan 2 nilai utama dalam 9 Elemen Jurnalisme, berpihak pada kebenaran dan loyal pada (kepentingan) masyarakat umum. Lain cerita saat Frans Demon mengangkat isu seputar penggunaan kamera tersembunyi dalam peliputan investigasi. Dalam kondisi penegakan hukum Indonesia saat Ini, Frans, yang notabene diharuskan mempraktikkan jurnalisme bersih ala VOA, secara pribadi cenderung menyetujui penggunaan kamera tersembunyi ketika SANGAT dibutuhkan untuk liputan investigasi terhadap berbagai penyelewengan. Ia memberi ilustrasi, pers di India menerapkan metode ini saat dibutuhkan. Berbeda dengan Frans yang cenderung menyetujui penggunaan kamera tersembunyi ketika SANGAT dibutuhkan, Inne Dubinsky, yang makan garam di lingkungan pers yang demokratis, tetap pada idealisme untuk tidak menggunakan kamera tersembunyi selama melakukan peliputan, kecuali jika SANGAT, SANGAT, SANGAT dibutuhkan. Inne menilai, kamera tersembunyi hanya boleh dipakai ketika kebutuhan masyarakat akan informasi tidak dapat dipenuhi dengan ratusan bahkan ribuan metode liputan yang lebih layak secara etika, serta absennya informasi tersebut berakibat negatif secara masif pada kemaslahatan umat manusia. Dari semua diskusi yang saya ungkapkan di atas, saya melihat bahwa praktik jurnalisme yang ideal adalah yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat yang menjadi ruang lingkupnya, dengan pendekatan yang sesuai dengan konteks kekinian. Dengan kata lain, jurnalisme itu bisa dilakukan dengan berbagai pendekatan selama motivasinya memihak pada nilai moralitas dan humanisme. Terlepas dari pertanyaan balik Harry pada saya tentang moralitas menurut ekosentrisme atau antroposentrisme, saya merasa sreg dengan mengatakan "jurnalisme dibuat untuk (umat) manusia, bukan manusia untuk jurnalisme".

Tapi, kesannya masyarakat kok masih dianggap bagian pasif dalam siklus jurnalisme ya?

Selamat hari Sabtu, Kawan :D

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun