Sejarah mengenai adanya BRP itu memang benar, tetapi, kakek sebagai simpatisan PKI itu belum tentu benar.
Sepengetahuanku, kakek hanyalah orang yang menjalani hidupnya dengan sederhana. Kakek tak lebih sebagai petani biasa yang tak tahu-menahu soal politik.
Jika pun nama kakek masuk dalam daftar orang yang dicari, tentu ada tangan usil yang melibatkan kakek dalam perkara hidup-mati itu.
Mekipun demikian, kata nenek, kakek selamat dari eksekusi. Berkat kemampuan kakek membaca tanda-tanda.
Suatu hari, tikus berdatangan entah dari mana memasuki desa. Menjarah beras, gabah, kedelai, singkong dan mencabik-cabik pakaian.
Orang-orang percaya tikus itu keluar dari bukit atau dari dalam tanah karena kelaparan. Memang waktu itu sedang musim paceklik, saat pangan sulit untuk didapat. Akibatnya, orang-orang berebut makanan dengan tikus.
Ribuan tikus dibakar. Asapnya menghitamkan desa. Menghasilkan bau sangit daging terbakar. Usaha itu percuma saja. Sebab jumlah tikus tak berkurang sedikit pun. Tikus terus berkeliaran.
Di tengah kegemparan itu, kakek menghilang dari keramian. Sebelum menghilang, kakek berpesan pada nenek bahwa ia akan kembali setelah segala sesuatunya menjadi terang.
Konon, kakek masuk ke dalam hutan dan bertapa di sana. Lewat semedi itulah kakek mendapat keajaiban-keajaiban.
Selama satu minggu tikus itu terus berkeliaran. Penduduk hampir saja pasrah. Dan setelah mereka putus asa dan mulai terbiasa dengan kehadiran tikus, ribuan tikus itu menghilang. Entah kemana.
Tikus itu datang seperti hantu. Dan menghilang seperti hantu. Tak ada seorang pun yang tahu kemana tikus itu menghilang. Mereka hilang ketika penduduk sedang lelap dalam tidur.