"Sebaik-baik manusia adalah manusia yang selaras dengan alam," kata kakek , "kau tahu bagaimana agar bisa selaras dengan alam?"
Aku menggeleng.Â
"Berkatalah yang jujur. Berbuatlah yang jujur. Jangan berlebihan. Maka alam akan menjaga kita."
Bagiku kehilangan kakek bukan hanya perkara kehilangan jasadnya, melainkan juga kehilangan keajaiban-keajaibannya. Suatu kali kakek membawaku melihat sungai yang luas.
Kelak aku tahu bahwa itu adalah Sungai Brantas di Kediri. Berjarak puluhan kilo meter dari Ponorogo. Mustahil ditempuh dalam waktu sehari dengan berjalan kaki.
Nenek selalu menggerutu jika diam-diam, kakek membawaku keluar rumah. Ia selalu khawatir kakek mencelakakanku atau meninggalkanku di suatu tempat yang jauh.
Namun kakek hanya membalas gerutuan nenek dengan diam. Dan kadang-kadang tersenyum. Kemudian ia akan menyalakan sebatang rokok klobot dan tak seorang pun bakal bisa menggagunya.
Kakek juga pernah membawaku ke Tanjung Perak melihat kapal-kapal berangkat berlayar.
Dalam buaian kakek, aku melihat kapal yang begitu besar mengapung di atas permukaan kolam raksasa yang jutaan kali lebih besar dari Sungai Brantas atau sungai mana pun, kapal itu bergerak menuju pulau lain.
Kebiasaan aneh berjalan dari satu tempat ke tempat lain itu, kata nenek, rutin kakek lakukan setelah dituduh sebagai simpatisan PKI, hanya karena ia sering bermain judi dengan teman-temannya yang anggota BRP.
Kelak aku tahu, BRP adalah singkatan dari Barsian Reog Ponorogo. Aku mengetahuinya, dari makalah yang aku baca dari perpustakaan kampus.