Mohon tunggu...
RM Armaya Mangkunegara
RM Armaya Mangkunegara Mohon Tunggu... Dosen - Advokat -

Dosen - Advokat

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kehutanan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia (?)

22 Oktober 2018   01:55 Diperbarui: 22 Oktober 2018   02:50 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filosofi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bukan semata-mata mengandung makna pemerataan tanpa penataan. Pencapaian tujuan nasional dalam rangka mensejahterakan rakyat memerlukan daya dukung sistemik yang dilandasi pada aspek yuridis sebagai konsekuensi negara hukum (rechtstaat).

Hutan sebagai penyangga sistem kehidupan, memegang peran penting dari segala aspek. Realita menunjukkan bahwa berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat 8 OLI tahun 2016, total daratan Indonesia yang ditafsir adalah sebesar 187.751,9 Juta hektar, dengan kondisi areal berhutan seluas 95.271,9 juta hektar (50,74%) dan areal tidak berhutan sebanyak 92.480,0 juta hektar (49,26%). Data ini menunjukkan bahwa lebih dari setengah luas daratan Indonesia berupa areal hutan, sehingga cukup signifikan pada sendi kehidupan bangsa Indonesia.

Aspek kemakmuran rakyat dalam pengelolaan alam di Indonesia merupakan faktor esensial yang menjadi tujuan penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Legitimasi penguasaan sumber daya alam oleh negara yang dituangkan dalam konstitusi menunjukkan bahwa bangsa Indonesia menaruh perhatian khusus terhadap kelangsungan lingkungan hidup agar benar-benar memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Terlebih lingkungan hidup yang baik dan sehat juga dituangkan sebagai Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Pasal 28 H UUD 1945 yang merupakan landasan konstitusional negara dan bangsa Indonesia.

Beranjak dari ketentuan di atas, setidaknya ada dua hal penting sebagai orientasi pengelolaan hutan. Pertama, hutan dikelola sedemikian rupa sehingga dapat menciptakan kemakmuran rakyat, dan yang kedua, pengelolaan hutan tidak meninggalkan kelangsungan fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan demi mewujudkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Dua hal tersebut merupakan amanat konstitusi yang secara implementatif dibebankan kepada negara sebagai pemegang otoritas pengelolaan sumber daya hutan.

Dalam konteks pengelolaan hutan, keadilan sosial tidak sebatas pada keadilan secara ekonomis semata. Keadilan ekologis dan kesesuaian prosedur secara yuridis juga sepatutnya dikedepankan sebagai bentuk kepatuhan pada hukum yang berlaku.

Jika pengelolaan hutan yang dirasa adil adalah dengan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat tertentu saja, maka bagi masyarakat lain yang tidak mendapatkan izin pemanfaatan hutan akan merasa diberlakukan secara tidak adil. Padahal manfaat hutan sangat berpengaruh bagi masyarakat secara menyeluruh.

Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), baru-baru ini menggulirkan program yang dinamakan "Perhutanan Sosial". Secara yuridis, tata laksana perhutanan sosial (PS) disandarkan pada Permen LHK Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial yang kemudian ditindaklanjuti juga dengan Permen LHK Nomor P.39/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 tentang Perhutanan Sosial Di Wilayah Kerja Perum Perhutani (selanjutnya disebut P.39).

Berdasarkan data, hingga Juli 2018, sedikitnya perizinan perhutanan sosial telah mencapai 1,73 Juta hektar. Hal yang mengkhawatirkan dari program PS adalah paradigma 'bagi-bagi lahan hutan' dari pemerintah kepada masyarakat (tertentu). Di samping itu, PS juga sangat potensial menggerus hak penguasaan negara dalam bentuk 'privatisasi pengelolaan hutan'.

Padahal, wujud konkrit penguasaan negara atas sektor kehutanan adalah adanya institusi khusus yang diberikan tugas secara langsung oleh negara untuk mengelola hutan. Institusi tersebut adalah Perusahan Umum (Perum) Kehutanan Negara sebagaimana penjelasan Pasal 21 UU Kehutanan yang kemudian melahirkan PP 72/2010 berkaitan dengan Penugasan dari Negara kepada Perum Perhutani untuk mengelola Hutan Negara.

Jika kemudian muncul P.39 yang notabene menghasilkan produk berupa Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) di wilayah kerja Perum Perhutani, sesungguhnya merupakan permasalahan serius di bidang hukum yang harus diselesaikan. Sebab, pemberian IPHPS di wilayah kerja Perum Perhutani, bertentangan dengan ketentuan Pasal 48 ayat (2) huruf a PP 6/2007 jo PP 3/2008 yang pada pokoknya menyatakan bahwa pada hutan produksi, dilarang memberikan izin dalam wilayah kerja BUMN bidang kehutanan yang telah mendapat pelimpahan untuk menyelenggarakan pengelolaan hutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun