Mohon tunggu...
Rizky Kurniawan
Rizky Kurniawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pribadi

Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Syekh-Yusuf Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Andai Aku Sedang Menulis Kisah Patah Hati

20 Maret 2019   14:48 Diperbarui: 20 Maret 2019   15:06 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kau tahu, Bel. Aku menyayanginya, dan ingin membuatnya bahagia. Tapi, rupanya dia juga ingin lihat aku bahagia. Barangkali, kami ingin sama-sama membahagiakan orang yang kami sayangi, tanpa tahu apa yang sesungguhnya membuat kami bahagia. Kamu mengerti maksudku?" Kali ini Fuad memandang Ebel lebih lekat.

Monyet itu sekilas memadanya, untuk kemudian kembali berpaling, tak acuh.

Fuad menyerah, dia membuang napas panjang untuk kedua kali. "Apa para monyet sepertimu punya masalah yang sama ruwetnya? Oh, atau barangkali, untuk urusan perempuan dan perasaan memang sama saja, sulit?

"Ah, tapi aku yakin jika kamu dapat keluar dari kerangkeng ini, kamu bisa langsung berlari mencari monyet perempuanmu. Tak sesulit diriku barangkali.

"Eh, tapi kayaknya cukup sulit juga. Mungkin kamu akan tersesat di kota ini, Bel. Tempat ini jauh dari hutan. Dan jika pun tujuanmu kebun binatang, pusatnya ada di tengah kota. Sulit untuk mencapai ke sana. Kamu bisa mati terlindas truk duluan sebelum sampai kepada monyet perempuanmu.

"Maaf, Bel, bukannya menakut-nakuti. Baragkali memang kamu sama sepertiku, tidak akan pernah sampai pada perempuan yang kita inginkan jika pemilikmu tidak memberikan monyet perempuan untuk menemanimu di sini, atau Fivi yang menyadari perasaanku." Fuad kembali mengaitkan ransel pada bahunya, dia berdiri, siap pergi. "Ingat, Bel. Biar galau begitu, kau tetap harus makan," pesan pemuda itu kemudian. Dia beranjak.

Sejarak lima langkah Fuad meninggalkan Ebel, monyet itu beranjak dari duduknya. Dia lekas menyambar pisang yang tadi diletakkan Fuad di sudut lain kandangnya. Entah, dia memang mengerti ucapan Fuad, atau memang monyet itu hanya gengsi menerima pisang yang tadi disodorkan langsung oleh si yang empunya.

**

Lalu lintas siang itu cukup ramai, namun angkot yang ditunggu belum juga datang. Fuad sudah berdiri di halte bersama beberapa calon penumpang lainnya. Beberapa sudah naik angkot tujuan yang dikehendaki, beberapa turun dari angkot untuk naik angkot yang lain---transit.

Sejarak tidak kurang dari 15 meter, Fuad memperhatikan seorang anak berseragam sekolah membawa kotak berisi aneka minuman dan tisu, serta rokok, mengasong. Seketika pikirannya melayang pada moral anak didik, tema tulisan minggu ini. Dalam pikirannya, dia sedang membandingkan kasus pemukulan siswa pada guru dengan anak yang sedang dalam pandangannya. Yang satu sekolah dengan biaya orang tua, dan petantang-petenteng menantang guru, sementara satunya barangkali sedang berjuang untuk bagaimana bertahan hidup di kota ini. Mencari makan, sambil tetap bisa bersekolah.

"Karakter itu penting," begitu ungkap ayahnya belum lama saat menonton siaran tentang pemukulan oknum siswa pada gurunya. Fuad tak terlalu jauh bertanya mengenai karakter waktu itu. Barangkali ini yang dimaksud Ayah waktu itu, pikirnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun