Era Penjajahan Belanda
Di Indonesia, film pertama kali dihadirkan pada era penjajahan Belanda. Saat itu film digunakan sebagai salah satu media propaganda pemerintah. Setelahnya pemerintah kolonial Belanda merasa penting untuk memberlakukan sensor film karena ada film yang dianggap tidak layak untuk dikonsumsi oleh pribumi dan dinilai dapat merugikan pemerintah Belanda.Â
Contohnya yaitu film yang menampilkan adegan pembunuhan, pemerkosaan, seks bebas, dan banyak film penyelesaian masalahnya dianggap main hakim sendiri. Oleh karena itu, pada tahun 1916 Film Ordonantie sebagai kebijakan film diberlakukan. Terbentuklah Commissie voor de Kuering van Films atau Komisi Pemeriksa Film (KPF) sebagai lembaga pengawas sensor. Salah satu kebijakannya yaitu Film Ordonantie No. 276 bahwa sistem penyensoran film dilakukan pada pra-produksi, tetapi jika dianggap perlu, film akan dipertunjukkan kepada KPF.
Era Pendudukan Jepang
Pada era pendudukan Jepang, lembaga perfilman pada era penjajahan Belanda dibubarkan dan diganti dengan Sendenbu Eiga Haikyusha (Peredaran Film) sebagai perwakilan Dinas Propaganda tentara militer Jepang.Â
Selama masa pendudukan Jepang, jumlah produksi film Indonesia dan import sangat dibatasi. Perusahaan film yang diperbolehkan untuk memproduksi film di Indonesia hanyalah Nippon Eigasha yang juga didirikan oleh Jepang. Sedangkan film import dari Barat dilarang, kecuali film yang menunjukkan kekejaman Barat. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengontrol produksi dan peredaran film di Indonesia guna kepentingan propaganda Jepang.
Era Orde Lama
Pada 6 Oktober 1945, Nippon Eigasha Studio jatuh ke tangan Indonesia dan berubah nama menjadi Berita Film Indonesia yang berada di bawah Menteri Penerangan Republik Indonesia. Pada tahun 1948, Film Ordonantie 1940 disempurnakan dan kembali diberlakukan dalam Staatsblad No. 155. Pengawasan film era itu dilakukan oleh Panitia Pengawas Film di bawah Directeur van Binnenlandsche Bestuur. Sedangkan, Dewan Pertahanan Nasional menerbitkan surat keputusan dan membentuk Badan Pemeriksaan Film di kawasan yang masih dikuasai oleh Pemerintahan RI, khususnya di Yogyakarta.
Dalam Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan RI No. 40439/ Kab. Tahun 1952, terdapat instruksi bagi PPF, yaitu melarang film, adegan, percakapan, tulisan atau inti moral dalam film yang bersifat: menganjurkan perang, melanggar codex perwira, memperlihatkan usaha merobohkan pemerintah, serta memperlihatkan tujuan yang dapat dicapai dengan kekerasan menggunakan senjata berlebihan dan berulang-ulang.Â
Selanjutnya, kebijakan perfilman diatur dengan UU No.1 Pnps/1964 tentang Pembinaan Perfilman. Pada 21 Mei 1965, melalui Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 46/SK/M/1965, penyelenggaraan penyensoran film di Indonesia diatur melalui suatu lembaga yang bernama Badan Sensor Film (BSF). BSF berupaya menjauhkan masyarakat dari pengaruh buruk film serta memantapkan program nation and character building.
Era Orde Baru