Mohon tunggu...
Rizka Khairunnisa
Rizka Khairunnisa Mohon Tunggu... -

Serial "POTONGAN" terbit setiap pekan. Bisa dibaca juga di http://rizukanisa.tumblr.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Potongan #1 - Enggan

28 Juni 2016   12:43 Diperbarui: 15 Juli 2016   08:59 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kriiiiing... kriiiing...

Alarm berbunyi. Mila meraih handphone-nya dan mematikan alarm. Kemudian kembali menarik selimut hingga menutupi kepala. Lima detik kemudian, dia menyibak selimutnya hingga jatuh ke lantai dan segera berlari ke meja belajarnya. Dia baru benar-benar tidur sekitar satu jam, tapi dia harus bergegas menyerahkan data presentasi kepada Profesor. Profesor sudah mempercayakan materi presentasi risetnya kepada Mila, jadi kesempatan itu tidak akan dia sia-siakan. Siapa tahu dari sekedar menyusun materi untuk presentasi riset akan membuka gerbang untuknya mengikuti proyek besar yang akan dikerjakan Profesor, sehingga dia bisa membuktikan kapabilitasnya.

Matahari belum benar-benar tampak. Padahal sudah musim semi, tapi udara masih dingin. Mila memasukkan sebuah pisang yang sudah dikuliti ke mulutnya bulat-bulat kemudian mengunci kamar kontrakannya. Dia menuruni tangga sambil mengunyah buah pisang di mulutnya. Dia mengambil sepeda di lantai bawah dan menuntunnya hingga jalan raya. Orang-orang belum bangun sisa mabuk semalam, jadi jalanan masih lengang. Mila mengayuh sepedanya pelan, berusaha agar angin tidak menerpa wajahnya terlalu keras. Dua orang ibu-ibu sedang menyapu di pinggir jalan. Mila bersitatap dengan keduanya. Mila hanya mengangguk, melewati kedua orang paruh baya itu.

“Hei, hei. Lihat, betapa sombongnya dia. Bukankah gadis seusia dia seharusnya membungkuk dalam-dalam pada kita?” Salah satu dari kedua wanita paruh baya itu berbicara. Lebih tepatnya, berteriak. Sengaja agar Mila bisa mendengarnya.

“Kurasa begitu. Bahkan seharusnya dia berhenti dan menyapa kita terlebih dahulu. Kalau dia cucuku, sudah kupukul betisnya pakai kayu sampai bengkak!” Wanita yang lain menimpali.

“Bagaimana bisa dia hanya mengangguk tanpa tersenyum sedikitpun? Hei, bukankah dia orang Asia juga? Apakah tidak pernah diajari membungkuk hormat pada orangtua? Seharusnya...”

Mila sudah terlalu jauh untuk bisa mendengar celotehan kedua wanita tadi. Lagipula, Mila tidak peduli. Sama seperti jika melihat iklan di layar kaca.

Mila mengayuh sepedanya lebih cepat. Dia harus segera sampai ke kampus. Walaupun dia sudah mengirim datanya lewat e-mail, dia sudah berjanji untuk menyerahkan print out-nya kepada Profesor. Membuktikan kalau dia sungguh-sungguh dan sudah bekerja keras.

Handphone Mila berdering ketika Mila memasuki lift. Profesor sepertinya sudah sampai.

“Saya sudah kampus, Prof. Dua menit lagi saya sampai di ruangan Anda,” ujar Mila tanpa basa-basi.

“Oh, benarkah? Tadinya...”

“Saya sudah membelikan kue waffle kesukaan Anda tadi malam, karena saya tahu Anda tidak bisa makan apapun selain waffle jika berada dalam pesawat. Sudah saya hangatkan di microwave tadi pagi, jadi saya pastikan Anda bisa menikmatinya di perjalanan.”

Pintu lift terbuka. Mila berjalan cepat sambil mengeluarkan isi ranselnya.

“Ah, begitu. Sebenarnya kau tidak usah repot-repot.”

“Tidak apa-apa, Prof. Saya senang membantu kelancaran riset Anda walau hanya hal-hal yang kecil. Ngomong-ngomong, saya sudah di depan ruangan Anda. Bolehkah saya masuk?”

Tidak ada jawaban. Telepon diputus.

“Masuk,” suara dari dalam ruangan.

Mila mendorong pintu di depannya. Dia sudah siap mengangsurkan map berisi data presentasi ketika dia melihat pemandangan yang tak terduga. Profesor tidak sendirian.

“Kemarikan,” ujar Profesor.

Mila meletakkan map di meja sambil menatap empat makhluk yang berdiri di depan meja Profesor. “Ini waffle-nya, Prof.” Mila menaruh kotak makanan yang masih hangat.

“Terima kasih,” ujar Profesor singkat sambil melihat-lihat hasil pekerjaan Mila.

Si Merah, yang berdiri paling dekat dengan Mila menatap kotak makanan itu tanpa berkedip. Tangannya hendak meraih kotak makanan itu ketika..

“Hei!” Profesor menepiskan tangan Si Merah. Gadis itu menggigit bibirnya yang semerah rambut sebahunya.

“Sepertinya enak, Prof..” ujarnya sambil nyengir kuda.

“Tentu saja.” Profesor memasukkan kotak waffle ke dalam goodie bag. “Seenak kalian minum-minum tadi malam, kan?”

Si Merah ternganga. Habis sudah. Mila mengernyit bingung. Setahu dia, empat seniornya seharusnya mengerjakan penelitian mereka untuk laporan berkala. Dan kalau tidak salah, deadline-nya hari Senin. Kecuali...

“Kami begitu lelah, Prof. Sudah tiga hari tidak tidur. Kami hanya minum segelaaaas saja, tapi entah kenapa kami...” Si Merah melirik yang lain. “Tertidur...”

“Sudah, sudah. Deadline tidak akan kumundurkan. Apa kalian bisa mengerjakan satu hal saja dengan becus, hah?!” Suaranya menggelegar. Empat orang di depannya terkesiap. Mila juga.

“Kau sudah kalah taruhan. Jadi selesaikan saja, oke?” Profesor bangkit dari kursinya. “Ah, Mila. Karena kau yang paling muda, setidaknya bantu sedikit seniormu. Ya?”

“Tapi, Prof..” bukan Mila yang sedang memohon. Sudah pasti Si Merah.

Professor tidak mengatakan apa-apa. Matanya melotot. Si Merah mengkerut seperti tikus terpojok. Profesor menyentil dahi Si Merah. “Minggir.”

Profesor melenggang menyebrang ruangan. Membuka pintu, dan.. blam!

“Ayo bubar, bubar,” ujar SI Kumis.

Yang lain mulai meninggalkan ruangan, kembali ke meja masing-masing. Kembali ke komputer masing-masing. Kecuali Mila.

“Kau hebat juga.” Si Kumis menghampiri Mila yang masih berdiri mematung. Mila diam saja. “Hei, kamu ini mesin atau apa? Bagaimana kamu bisa membuat file presentasi dari sekian puluh halaman paperdalam semalam?”

Mila melirik sinis laki-laki di sebelahnya. “Kenapa? Ada masalah?”

Si Kumis mengangkat bahu. “Tidak. Hanya saja, tidak biasanya dia kalah taruhan. Tapi gara-gara kau, yah, di sinilah kita.”

“Maksudnya?”

“Sebenarnya Profesor bisa saja memundurkandeadline kami. Dan dia tidak terlalu keberatan kalau kau tidak bisa menyelesaikan tugasmu. Toh penerbangan ke Amerika cukup lama, dia bisa mengerjakannya di pesawat. Tapi waktu kami ketahuan tidur di lab dengan bau alkohol menyengat dan kerjaan belum selesai, tikus kecil merah itu malah bertaruh kalau kau tidak akan sanggup menyelesaikan file presentasi, sama saja dengan kami. Tapi Profesor bilang kalau kau bisa menyelesaikannya, kami juga harus menyelesaikan tugas kami.” Si Kumis menyerocos tanpa diminta.

Mila memutar bola matanya. Kesal. “Jadi aku harus ada di sini, di hari Minggu, membantu kalian yang bahkan aku tidak tahu apa yang sedang kalian kerjakan?”

Si Kumis menepuk bahu Mila. “Semangatlah. Di negara ini, itulah nasib orang yang memiliki umur paling muda.” Dia pergi sambil bersiul.

Yah, itulah alasan kenapa aku benci negara ini.

“Hei, Junior.” Si Merah menyebalkan menghampiri Mila. “Ini bagianmu.” Dia menyodorkan hampir serim kertas pada Mila. “Buat summary-nya. Bahasa Inggris. Empat halaman.”

Hanya itu yang dia katakan. Lalu pergi begitu saja. Mila memandangnya dari atas sampai ke bawah. Rambut sebahu merah menyala seperti tali rafia, tengkuk yang memperlihatkan choker hitamnya, kemeja dan celana ketat warna hitam, serta high heels. Sepertinya dia bukan habis minum di restoran, tapi di bar.

“Hei Milky!” Si Kumis berteriak dari depan komputernya. Milky adalah sebutan untuk Mila dari dirinya. Sebenarnya itu adalah ejekan, karena kulit Mila tidak seputih susu. Lebih mirip susu basi. “Bagaimana kalau kau belikan kami waffle yang sama seperti Profesor? Kami lapar.”

“Belum buka,” jawab Mila malas. Dia berjalan menuju mejanya di sebelah Si Kumis. Meletakkan serim kertas di mejanya dan menghempaskan badannya di kursi. Si Kumis menggeser kursinya ke arah Mila.

“Kalau sudah buka, kau mau belikan?” Mila menolehkan kepalanya perlahan dan mendelik ke arahnya. Si Kumis buru-buru menggeser kursinya kembali. 

Laki-laki di sebelah kiri Mila itu, jika tidak ada kumis lele di bawah hidungnya, dia bisa dibilang tampan. Tapi dia terlalu konyol karena meniru kumis para aktor usia 30-an yang sedang digandrungi gadis-gadis usia 20-an saat ini. Hanya Si Kumis yang masih suka mengajak bicara Mila walaupun sering tidak direspon. Tipe orang yang terlalu ingin tahu dan mengganggu.

Firasat Mila sedikit tidak enak. Sekarang dia gantian mendelik ke arah kanan. “Kenapa?”

Sekarang laki-laki di sebelah kanannya terlihat sedikit gugup, ketahuan memandang Mila lama-lama. “Tidak, aku hanya...” Dia bangkit berdiri. Tingginya lebih dari 180 cm, makanya Mila menyebut dia Si Tinggi.

“Apa?”

“Aku mau memfotokopi ini.” Dia mengacungkan sembarang kertas di meja dengan gugup, kemudian berjalan ke arah koridor.

“Mesin fotokopi di sebelah sana.” Mila menunjuk ke arah sebaliknya yang dituju si Tinggi. Laki-laki itu hanya garuk-garuk kepala dan mengikuti arah yang ditunjuk Mila.

Si Tinggi tidak aneh, kecuali kalau dia sering memandang Mila lama-lama. Diam seribu bahasa jika ditanya, atau bahkan gugup seperti sekarang. Mila tidak merasa seperti Si Tinggi menyukai dirinya, tapi seperti ada kamera CCTV yang mengawasi apapun yang dilakukan oleh Mila. Tapi di luar itu semua, dia orang baik. Terlalu baik untuk Mila pedulikan.

Seseorang menyentuh bahu Mila. Pasti Si Kelinci.

“Pulanglah,” ujar gadis itu. “Aku tahu kau kurang tidur, jadi istirahatlah.”

Mila menggeleng. “Profesor sudah memintaku untuk–“

“Kau tidak usah mencari muka di depan Profesor, Anak Baru.”

Mila menatap ke arah sumber suara. Si Merah memelototinya dengan mata biru lensa kontak, sangat kontras dengan rambutnya. Matanya seolah bicara: dasar-tukang-penjilat.

“Sudah, sudah. Kita kan sudah cukup tidur tadi malam, Lagipula ini tugas kami. Kau pulang saja.” Si Kelinci mencoba melerai.

“Tidak apa-apa,” ujar Mila tenang. “Toh suatu saat saya akan melanjutkan proyek kalian, jadi ada baiknya kalau tahu tentang proyek ini dari awal.” Mila balas menatap si Merah dengan: lalu-kau-mau-apa.

Si Kelinci menghela napas. “Baiklah kalau begitu. Bisa sedikit menghemat waktu sepertinya. Terima kasih, ya.” Si Kelinci tersenyum, memamerkan giginya. Kalau dia punya telinga panjang, dia sudah mirip kelinci betulan.

Si Kelinci kembali ke mejanya. Mila mulai menyalakan komputer. Tiba-tiba seseorang meletakkan secangkir kopi di meja. Mila menyeringai kesal. Siapa lagi, sih?

“Untukmu,” kata Si Tinggi yang sebelumnya mengatakan akan memfotokopi sesuatu. “Morning coffee.” Dia nyengir.

“Aku,” ujar Mila. “Sudah minum terlalu banyak kopi sampai hanya tidur satu jam. Apa menurutmu aku perlu kopi lagi?”

Si Tinggi melongo sesaat, kemudian buru-buru mengambil cangkir itu dan kembali ke mejanya tanpa berkata apa-apa.

Mila kembali menatap komputernya dan terdiam sesaat. Dia memejamkan matanya, dan berbisik. “Tanpa mimpi dan kerja keras, orang seperti saya akan mati.”

Mila membuka matanya perlahan. Diambilnya serim kertas di meja dan mulai membacanya. Dia tidak akan pulang sampai summary empat halaman dalam bahasa Inggris selesai dia kerjakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun