Mohon tunggu...
Faris Saputra Dewa
Faris Saputra Dewa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

orang yang mau berbagi adalah orang yang mulia, meski hanya berbagi pemikiran dan segala hal lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Lulus S-1 Tanpa Skripsi, Solusi atau Awal Kehancuran Perguruan Tinggi?

26 Mei 2015   02:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:36 8244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sedari dulu, semua lulusan S-1 diwajibkan untuk membuat sebuah karya tulis yang bernama skripsi sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana. Saya hanya mahasiswa disebuah Perguruan Tinggi Negeri di Bandung, saat ini sedang berada di semester VIII. Sedang disibukkan dengan skripsi, melihat berita ini rasanya jadi agak malas untuk melanjutkan skripsi saya. hehehe

Entah harus merasa senang atau sedih mengetahui wacana yang sedang hangat diperbincangkan oleh seluruh sivitas akademik disemua perguruan tinggi ini. Sebagai mahasiswa tingkat akhir, membuat sebuah skripsi adalah sebuah tantangan untuk saya, sesuatu yang saat ini saya perjuangkan dan mungkin akan saya banggakan di waktu yang akan datang.

Menristek dan Dikti, RI, Muhammad Nasir merancang penghapusan skripsi di perguruan tinggi! Alasannya; jual beli ijasah dan jiplak-menjiplak skripsi masih marak, semua disebabkan atas nama kelulusan, cara-cara devian serupa ini memanglah menjadi momok di perguruan tinggi.
Kisah Penghapusan Skripsi di Perguruan Tinggi (Muhammad Armand, Kompasianer)
Penyusunan skripsi hanya akan dijadikan sebagai opsi untuk syarat kelulusan program sarjana, sebagai gantinya selain penyusunan skripsi terdapat opsi lain sebagai syarat kelulusan yaitu mengerjakan pengabdian di masyarakat atau laporan penelitian di laboratorium. Hal ini juga menyangkut dengan tridhrama perguruan tinggi, yaitu pembelajaran, penelitian dan juga pengabdian masyarakat. Alasan dari dikeluarkannya wacana tersebut yaitu untuk meminimalisir kecurangan-kecurangan dalam penyusunan skripsi tersebut, khususnya menyangkut jasa penyusunan skripsi atau membeli skripsi yang di lakukan mahasiswa.

Wacana Menristek Opsionalkan Skripsi, Kabar Gembira Bagi Mahasiswa S-1 (Liafit Nadia Yuniar, Mahasiswi dan Kompasianer)


Penggalan dua tulisan Kompasianer hanyalah sebagian kecil dari opini masyarakat terkait mengenai penghapusan skripsi untuk syarat lulus untuk mahasiswa S-1. Seperti yang saya tulis pada kolom judul, wacana ini bisa jadi baik atau buruk, ada baiknya bila wacana ini kita lihat dari dua sisi. Namanya juga kebijakan yang dibuat manusia, pasti akan ada dampak positif dan negatifnya. Lain halnya dengan kebijakan Tuhan yang pasti baik untuk manusia.

Lulus S-1 Tanpa Skripsi, Solusi?

Bukan tanpa alasan bila Menristek dan Pendidikan Tinggi ingin menghilangkan skripsi. Selain karena faktor maraknya jual-beli skripsi atau copy-paste skripsi. Faktor biaya juga mungkin beliau pertimbangkan, karena beliau pernah merasakan suka-duka membuat sebuah skripsi saat masih berstatus sebagai mahasiswa di Universitas Diponegoro.

Banyak diantara teman-teman seperjuangan saya yang merasa bahwa skripsi adalah sebuah beban. Mengerjakan sebuah skripsi saat ini tidak cukup dengan biaya yang minim meskipun dikerjakan sendiri (dengan cara yang jujur, tanpa copy-paste skripsi yang sudah ada atau menggunakan jasa pembuatan skripsi). Karena diperlukan biaya untuk cetak skripsi, belum lagi bila ada revisi dari dosen pembimbing. Bolak-balik ke tempat nge-print sudah jadi rutinitas mahasiswa tingkat akhir.

Ada yang bilang membeli printer bisa jadi solusi, jadi tak perlu ke rental komputer yang sediakan jasa print. Memang belinya tak butuh dana? Kemudian untuk beli tinta dan kertas HVS, pasti perlu dana yang tidak sedikit kan? Belum untuk pengeluaran lainnya, seperti membuat suvenir untuk responden (khusus untuk metode kuantitatif dengan penelitian menggunakan kuisioner) sebagai ucapan terimakasih telah berpartisipasi dalam pembuatan skripsi sang mahasiswa, membeli buku untuk referensi, belum lagi biaya transportasi yang harus dikeluarkan (ada rekan saya yang harus sering pulang pergi Bandung-Jakarta karena melakukan penelitian disebuah perusahaan yang berpusat di Jakarta). Pokoknya banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk sebuah skripsi. Ditiadakannya skripsi sebagai syarat lulus setidaknya bisa meringankan beban mahasiswa, serta mengurangi penggunaan kertas HVS yang berarti menyelamatkan hutan, hanya saja bisa jadi mimpi buruk bagi para penyedia jasa nge-print karena akan mengurangi pemasukan mereka.

Membuat skripsi untuk syarat menjadi sarjana sama saja seperti menyuruh semua ayam betina untuk menghasilkan telur dengan berat dan ukuran yang sama. Perlu diingat bahwa tidak semua mahasiswa berbakat dalam pembuatan sebuah karya tulis (termasuk saya yang lebih senang membuat sebuah karya desain grafis atau tulisan bebas di Kompasiana, hehehe). Melihat sebuah kalimat yang ditulis oleh Liafit Nadia diatas: "... sebagai gantinya selain penyusunan skripsi terdapat opsi lain sebagai syarat kelulusan yaitu mengerjakan pengabdian di masyarakat atau laporan penelitian di laboratorium. Hal ini juga menyangkut dengan tridhrama perguruan tinggi, yaitu pembelajaran, penelitian dan juga pengabdian masyarakat.".

14325792631315755358
14325792631315755358

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun