Mohon tunggu...
Adib rizqullohzahran
Adib rizqullohzahran Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Gunung Jati Bandung

Pengaggum kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Wayang dan Kemaruk Milenial

28 Juni 2022   13:33 Diperbarui: 28 Juni 2022   13:58 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada abad ke-17 wayang tidak hanya sekedar kebudayaan yang dijaga dan seolah-olah dibela ketika ia hendak diakui oleh kerajaan luar Nusantara. Bukan juga kebudayaan yang dianggap menyimpang dan tidak sesuai oleh sekelompok orang yang memiliki hak prerogatif terhadap pintu Nirwana. Pada masa itu, wayang merupakan sarana sakral penghantar tersebarnya sebuah agama kepada masayarakat yang dilakukan oleh para Dalang berjiwa. 

Pagelaran wayang yang dilakukan oleh para dalang tersebut, senantiasa menghadirkan sebuah pesan moral dan norma yang setidaknya menjadi cikal bakal evolusi kebudayaan yang ada pada masayarakat kearah yang lebih baik lagi. Tentunya, dengan catatan besar bahwa evolusi tersebut tidak sama sekali menghapus dan menggeser kebudayaan yang telah ada jauh sebelum para Dalang itu muncul kedalam kisah sejarah tanah Nusantara ini. Wayang bukan pula hanya sebuah boneka yang dimainkan untuk mengundang gelak tawa dari para penontonnya agar lupa terhadap siksa kolonial yang mencekik kehidupan mereka sebelum para dalang hadir. 

Pada masa-masa yang demikian, wayang memiliki sebuah andil besar didalam kehidupan masyarakat Nusantara. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, wayang memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat karena dampak positif serta berbagai kebaikan yang dihasilkan lewat perantara boneka kulit ini. Lantas setelah Nusantara berubah menjadi sebuah negara kesatuan bernama Indonesia, apakah hati masayarakat masih menyediakan tempat untuk wayang sebagai bagian dari tokoh evolusi kebudayaan Indonesia kearah yang lebih baik.

Setelah Indonesia disematkan sebagai nama kepada tanah dan air yang berkesatuan dibawah garis teritorial tertentu, seakan juga ikut mengganti segala kebiasaan dan kebudayaan yang telah ada jauh sebelum nama tersebut hadir. Tentu, hal ini bukanlah karena kekeliruan yang ditimbulkan akibat penyematan nama Indonesia terhadap tanah yang dulunya dikenal dengan Nusantara ini. Hal tersebut, dimungkinkan karena hampir seluruh orang yang berada pada naungan Ibu Pertiwi -Sebutan bagi Indonesia- berlomba untuk menjadi sebuah manusia yang tergolong milenial sebagai bagian dari modernitas. Yang lantas menanggalkan seluruh pakaian kebudayaan dan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh para pendahulunya. 

Semangat milenial yang tumbuh terlalu subur seakan menjadi sebuah hama tak berkesudahan bagi setiap nilai luhur yang dibawa oleh seluruh kebudayaan lokal. Nilai-nilai tersebut, yang diajarkan oleh para dalang pada abad ke-17 seakan menjadi topik tabu yang kehadirannya justru termarjinalkan dan diganti dengan kebudayaan dan norma yang dibawa oleh kaum kolonial. Dengan alasan kemajuan zaman, seluruh kebudayaan asli Nusantara perlahan mulai ditinggalkan oleh hampir seluruh lapisan masayarakat yang dengan angkuhnya berlomba menyamatkan kata milenial kedalam dirinya. 

Dan wayang merupakan salah satu dari sekian banyak kebudayaan yang  diberikan sebuah label "ketinggalan Zaman" terhadap dirinya. Tidak berhenti sampai disitu, semangat milenial yang tumbuh sangat subur dengan cepat berganti kepada sebuah ketamakan terhdap modernisme yang mengesampingkan segala tradisi lokal asli Nusantara, yang jauh telah ada sebelum Indonesia bahkan Kata milenial itu sendiri ada. 

Semangat tersebut, menjelma menjadi sebuah kemaruk akan semangat untuk membangun dunia yang baru, dunia yang bebas berdasarkan setiap keinginan manusia yang hidup pada masa tersebut. Dunia yang melepas semua norma dan nilai, baik yang dibawa oleh agama dan kebudayaan setiap wilayah. Sifat tamak yang demikian, adalah sebuah kebiasaan yang justru didukung dan dianggap sebagai sesutau yang wajar oleh hampir seluruh orang yang hidup pada zaman ini. Hak Asasi Manusia serta kebebasan berekspresi merupakan dalil yang kerap kali digunakan untuk memberikan pembelaan terhadap perilaku diatas. 

Tentunya, hal yang demikian terjadi bukanlah tanpa sebab. Kurangnya perhatian terhadap setiap kebudayaan merupakan tanggung jawab semua elemen masyarakat Indoenesia. Jika alkulturasi kebudayaan sudah dapat dilakukan lebih dari enam abad yang lalu, maka hal tersebut tidaklah mustahil untuk dilakukan kembali pada zaman ini. Mengalkulturasikan kebudayaan yang ada dengan kemajuan teknologi sebagai prodak dari modernitas itu sendiri. Pengemasan nilai-nilai luhur yang dibawa oleh wayang serta kebudayaan lain, akan menjadi sebuah obat yang bagi kemaruk milenial tersebut. 

Dengan demikian, wayang beserta seluruh kebudayaan yang ada akan kembali menjadi pelopor evolusi kebudayaan serta nilai-nilai kehidupan masyarakat Indonesia kearah yang lebih baik lagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun