Mohon tunggu...
Rizqah Fauzani F
Rizqah Fauzani F Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pendidik

Jika kau bukan anak raja, juga bukan anak ulama besar, maka menulislah ! - Imam Al-Ghazali -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Merebut Kepemimpinan Nasional: Refleksi Identitas Pemuda NU

27 September 2020   14:00 Diperbarui: 27 September 2020   14:02 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pembahasan tentang Merebut Kepemimpinan Nasional adalah ranum bagi kalangan elit global kapitalisme. Teraktualisasi akan pengaruh besar oleh paradigma ideologi dalam wujud manifestasi tatanan baru. Sebelum kearah yang lebih jauh, sejatinya jiwa kepemimpinan itu lahir dalam hidup manusia pada tatanan kesenjangan lingkungan geografisnya. Indonesia pun begitu, dari beberapa puluh tahun lalu yang dimana belum terkontaminasi kolonial belanda dengan istilah wilayah yang disebut Nusantara yang kaya akan tradisi hidup nilai dan norma kebudayaan, kehidupan lingkungan yang asri dengan cocok tanam serta kualitas spiritual. Menjadi sebuah kekayaan warisan nenek moyang untuk negeri.

Masuknya penjajahan belanda membuat negeri ini terdegradasi oleh pengaruh elit kapitalisme yang mereka bawa. Hingga tatanan pun berubah menjadi negara yang diberi modal produk industrial dan anak bangsa yang menjadi instrumen sebagai buruh-tani pengelolah untuk menghasilkan produk yang dapat memuaskan kebutuhan para kaum feodalisme belanda. Dari ketertindasan tersebut menggerakkan masyarakat ingin merdeka, rupa-rupanya dengan tawaran pemikiran dan gerakan kelompok sosialis-komunisme. Menjadikan kelompok baru sampai pada Indonesia telah merdeka. Bahkan kontradiksi pemikiran antara kapitalisme dengan sosialis-komunisme menjadi lakon dalam frame merebut dominasi global. Tak heran dua ideologi ini sangat memiliki peran besar dalam konstalasi global dan menjadi arus utama berkebangsaan dalam menjalani kehidupan di muka bumi. Wajar terjadi banyak kongkalikong kepentingan karena kekayaan sumber daya alam Indonesia begitu menjanjikan untuk kelangsungan hidup bangsa lainnya.

Lalu, Apa hubungannya dengan Merebut Kepemimpinan Nasional ?. Penjabaran di atas tidak boleh memudar dalam bangunan kesadaran individu anak bangsa. Karena menjadi seorang pemimpin layaknya memiliki daya nalar dalam mempetakan persoalan negeri ini. Seyogyanya tidak meninggalkan permasalahan yang menjadi akar dari buah sejarah. Eloknya pemimpin mampu membangun polarisasi dalam berpikir oleh landasan historis sebagai hasil dari pengumpulan pazel-pazel masa lalu, kontekstual zamannya, hingga pada konstruksi pemikiran akan target-strategis untuk taktisnya sebuah tatanan baru

Katakanlah kebenarannya bahwa bangsa ini sangat terpengaruh akan produk pemikiran peradaban barat (kapitalisme dan Sosialis-Komunisme). Maka pertanyaan yang mendasarnya adalah apa yang terbenak dalam alam pikiran kita mengenai "Apa itu Indonesia ?" . Sebut saja-lah Indonesia adalah negara majemuk yang terdiri akan berbagai macam kebudayaan dan tradisi dari sabang sampai marauke (sangat normatif). Namun, sebagai jiwa yang memiliki kepemimpinan selayaknya berpikir atas kesadaran kritis. Merefleksikan segala entitas aspek negeri dari kekayaan alam, potensi budaya, dan spiritualitas.

Mari kita kerucutkan pembahasan ini akan bagaimana merebut kepemimpinan nasional dan mengapa harus merebut ruang-ruang tersebut ?. Membahas tatanan nasional sama dengan membahas tatanan Indonesia. Tentunya, pola kepemimpinan yang dijalankan oleh pejabat negeri sangat berefek besar untuk pengelolahan sumber daya alam dan kondisi hidup tatanan manusianya. Hanya saja, kesadaran berpikir pemimpin tergerus oleh pola hidup elit (kapitalisme). Tentu pada sektor pemimpin yang dapat mengatur supremasi aturan Undang-undang serta regulasinya. Sebab produk tatanan tersebut adalah hasil peninggalan jajahan para feodalisme Belanda maka sangat absolut bahwa aturan-aturan yang diberlakukan tersebut hanya untuk pemenuhan kebutuhan para kapitalisme. Dilain sisi, eksistensi gerakan sosialis-komunisme akan selalu menjadi boomerang yang diperhadapkan akan kenyataan atas forcefulness (kekuatan) kelompok kapitalisme dalam pengambilan kebijakan internal negeri.

Posisi kepemimpinan kita sebagai lakon yang ber-ideologi-kan Ahlusunnah Wal-jama'ah pada sektor nasional menjadi pertanyaan besar. Selaku pemuda-pemudi Nahdliyin akan menawarkan apa ? (ini adalah pertanyaan yang sepele tetapi, begitu penting untuk merebut kepemimpinan nasional). Berangkat dari kepentingan global dunia akan perang uang, perang dagang, dan perang biological weapon. Untuk mereduksi konflik China-Amerika maka kembali lagi melepaskan keberpihakan bangsa antara kelompok mana yang akan menjadi afiliasi diantara (kelompok kiri-kanan). Seorang pemimpin dari kelompok Nahdliyin harus paham akan pergolakan politik tentang tanah airnya dengan bacaan-bacaan sebagai investasi dan negosiasi. Dimana Indonesia telah menjadi lokasi bagi semua kepentingan global (Indonesia berada di persimpangan) akan market ekonomi dan pasar berkeadilan. Untuk menyusun pengertian-pengertian ini secara benar dan lebih baik maka kembali lagi kepada diri, sejauh mana keinginan membawa dirinya kemana ?. tentunya, sosok pemimpin harus memikirkan sebuah tawaran baru dalam mewujudkan tatanan baru. Indonesia harus mempunyai produk atau manifesto untuk sektor global. Semisal, NU sebagai tawaran nasional yang akan lebih mengelaborasi sebuah tatanan global dengan kepemimpinan budaya dan kepemimpinan spiritual yang sifatnya futuristik serta humanis.

Untuk menciptakan sebuah kepemimpinan nasional yang futuristik maka persoalan-persoalan fundamental dalam sektor kebangsaan harus selesai. Semisal, Indonesia adalah negara yang memiliki pemahaman nasionalisme dengan sistem demokrasi. Kemudian memaknai apa itu demokrasi ?, apa jenis kelaminnya ?, dan demokrasi pancasila itu yang bagaimana ?. pertanyaan-pertanyaan ini harus ada dalam benak diri sebagai aktivis pejuang bangsa. Jangan sampai diri kita menganggap bahwa "Kita berpikir kalau Kita berpikir" atau "Mereka berpikir kalau Mereka berpikir" namun, fakta realitasnya tidak ada tindakan solutif untuk transformasi perubahan akan persoalan krisis negeri.

Kepemimpinan itu harus lebih spesifik untuk mendekonstruksi pemaknaan diri kita. Kemudian mengelompokkan cara berpikir kita. Jangan sampai pembahasan dan pemetaan kita terlalu jauh sedangkan pemaknaan perihal Persatuan belum kita khatamkan. Yang nyatanya bahwa "Persatuan itu harus selesai dan adil sejak dalam pikiran diri sendiri" (Okky Tirto). Dari pendalaman "Siapa Saya?" dan "Siapa Kita?" maka pemetaan diri dalam berpikir dengan dukungan akses-akses lainnya dalam merebut kepemimpinan nasional akan berentitas dan berintegrasi secara penuh untuk negeri dan global.

 

"Back To Reflection Ourselves and Our own mindset"

(Kembali tuk merefleksikan diri kita dan pola pikir kita)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun