Mohon tunggu...
Rizky Novian Hartono
Rizky Novian Hartono Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Belajar untuk menulis; menulis untuk belajar.

Menulis adalah cara untuk menyimpan ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tetap Rakyat yang Harus Berdaulat

17 Maret 2020   14:14 Diperbarui: 17 Maret 2020   14:25 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilihan umum (pemilu) merupakan wujud konkret pelaksanaan kedaulatan di tangan rakyat. Terakhir, pemilu untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD telah kita laksanakan pada tahun 2019 kemarin. Pelaksanaan pemilu tersebut bukan tanpa hambatan. Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, pemilu 2019 haruslah dilaksanakan secara serentak sebab Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan demikian. Pemilu serentak mengandung makna bahwa untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD haruslah dilaksanakan dalam satu waktu, bukan dipisah seperti pemilu-pemilu sebelumnya. =

Penyerentakan pemilu ini merupakan sebuah langkah yang dianggap oleh Mahkamah Konstitusi konstitusional sebab sesuai dengan maksud dari Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sekaligus menciptakan keefektifitasan dan keefisiensian penyelenggaraan pemilu. Di sisi lain, pemilu serentak ini akan menguatkan sistem presidensil yang dianut oleh Indonesia sehingga dapat menciptakan jumlah partai politik yang sederhana dan dengan demikian terbangunlah hubungan yang baik antara presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dengan lembaga legislatif.

Baru-baru ini pula Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan bernomor 55/PUU-XVII/2019. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi tidak menutup kemungkinan model pelaksanaan pemilu serentak lain selain model yang telah dilaksanakan pada pemilu 2019 kemarin. Melalui putusan itu, Mahkamah Konstitusi menawarkan desain-desain alternatif dalam penyelenggaraan pemilu serentak dan menyerahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk memilih model pelaksanaan pemilu serentak.

Sebetulnya putusan ini berangkat dari adanya permohonan yang diajukan oleh Perludem atas pelaksanaan pemilu serentak yang tercantum pada Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Selain mempermasalahkan teknis pelaksanaan yakni waktu pemungutan dan penghitungan suara yang menjadi lebih panjang, tingginya jumlah suara tidak sah yang masuk merupakan wujud dari kebingungan masyarakat terhadap banyaknya surat suara yang harus dicoblos.

Di sisi lain, teknis pelaksanaan yang menjadi panjang dari pemilu sebelumnya mengakibatkan ratusan petugas KPPS meninggal dunia. Namun pada akhirnya pun Mahkamah Konstitusi tetap menolak permohonan bahwa pemilu tetap harus dilaksanakan secara serentak sesuai dengan original intent Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Menariknya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 tidak hanya memberikan fondasi yang kuat terhadap penyelenggaraan pemilu serentak dengan memberikan 6 (enam) varian alternatif pelaksanaan pemilu serentak namun juga mengubah paradigma yang selama ini masih saja diperdebatkan di kalangan praktisi yakni bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah pemilihan umum (pemilu).

Padahal, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi telah memutus bahwa pilkada bukanlah pemilu sebab pilkada termasuk dalam rezim pemerintahan daerah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga bukan termasuk ke dalam rezim pemilu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Putusan tersebut tidak serta merta diterima oleh semua pihak sebab faktanya pelaksanaan pilkada tidak hanya didasarkan pada asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sebagaimana asas dalam pelaksanaan pemilu namun juga dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Praktisnya, apabila pilkada termasuk dalam rezim pemerintahan daerah maka KPU tidak memiliki kewenangan melaksanakan pemilihan di daerah. Namun ketika putusan nomor 55 diketuk, Mahkamah Konstitusi mengungkapkan bahwa, "berdasarkan penelusuran rekaman pembahasan atau risalah perubahan UUD 1945 membuktikan terdapat banyak varian pemikiran perihal keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum. Bahkan, para pengubah UUD 1945 sama sekali tidak membedakan rezim pemilihan."

Sontak hal tersebut seharusnya menyudahi perdebatan apakah pilkada termasuk dalam rezim pemilu atau rezim pemerintahan daerah. Dengan demikian pula, hal tersebut berdampak pada tidak perlunya lagi dibentuknya Badan Peradilan Pilkada sebab jika pilkada termasuk dalam rezim pemilu maka sesuai dengan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi lah yang memiliki kewenangan untuk memutus perselisihan hasil pemilu.

Sejatinya terdapat hal yang lebih substansial ketimbang mempermasalahkan kedudukan pilkada terhadap berbagai rezim yakni bagaimana pelaksanaan pemilu (termasuk pilkada) sudah merefleksikan kedaulatan di tangan rakyat itu sendiri, kualitas pelaksanaan meningkat dan terus terjaga sekaligus bagaimana pelaksanaan hingga hasil pemilu (termasuk pilkada) terlepas dari berbagai kepentingan segelintir orang yang dapat merugikan rakyat. Rakyat hanya membutuhkan sosok pemimpin yang mampu mengayominya, memberikan perlindungan, bahkan mewujudkan kesejahteraan. Sebagian rakyat hanya ingin suaranya didengar.

Tidak mau tahu apakah pilkada adalah pemilu dan sebaliknya. Sebab yang rakyat pikir hanyalah bagaimana kepentingan-kepentingan rakyat tetap dapat menjadi yang nomor satu sehingga rakyat terus dapat berdaulat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun