- Latar Belakang Masalah
Penulis menggunakan definsi anak sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, selanjutnya disebut UU PAN. Definisi anak adalah “seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”
Anak-anak Indonesia adalah generasi penerus bangsa, generasi emas yang harus dijaga untuk melanjutkan estafet founding fathersIndonesia menjadi bangsa yang besar. Anak-anak Indonesia sangat berhak memperoleh pendidikan, kehidupan yang layak, mengembangkan bakat dan kecerdasannya bukan malah menjadi pengedar ataupun terlibat dilibatkan dalam jual beli narkotika.
Pemerintah melalui Badan Narkotika Nasional (BNN), Kementrian terkait, dan berbagai pihak telah berupaya untuk memberantas narkoba baik di kalangan remaja, dewasa, anak usia Sekolah Dasar (SD), dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Upaya paling efektif untuk mencegah penyalahgunaan narkoba pada anak-anak yakni pendidikan keluarga. Orang tua diharapkan dapat mengawasai dan mendidik anaknya untuk selalu menjauhi narkoba, dan melalui program yang menitikberatkan pada anak usiah sekolah (school-going age oriented[1]). Namun rupanya, upaya Pemerintah tersebut belum membuahkan hasil yang maksimal.
Angka yang sangat miris dipaparkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Berdasarkan data dari KPAI[2] tahun 2015, dalam 3 (tiga) tahun terakhir, jumlah pengedar narkoba anak meningkat hingga 300 (tiga ratus) persen. Pengedar, anak yang terlibat jual beli dari tahun 2011 hingga 2014 meningkat hampir 300 persen. Pada tahun 2012 berjumlah 17, meningkat menjadi 31 pada tahun 2013, dan pada tahun 2014 menjadi 42 anak.
Salah satu contoh, anak-anak Indonesia terlibat dalam jual beli narkotika ataupun menjadi pengedar narkotika adalah pada bulan Agustus lalu BNN menangkap 3 tersangka berinisial AML, AMM, dan satu orang anak berinisial X berumur 16 tahun yang terlibat dalam peredaran narkotika jenis ganja dari Amerika Serikat dengan barang bukti sebreat 256,80 gram. Paket ganja tersebut dikemas dalam 2 (dua) plastik besar mainan lego, namun berbeda dengan mainan lego biasa, di dalamnya terdapat 13 (tiga belas) bungkus plastik berisi daun ganja seberat 256,8 gram[3]. Tersangka tersebut salah satunya dikenakan Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang isinya adalah : “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”
Ancaman pidana penjara ataupun hukuman pokok lainnya yang terdapat dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni (1). Hukuman mati; (2). Hukuman penjara; (3). Hukuman kurungan; (4). Hukuman denda, sedangkan yang termasuk pidana tambahan adalah (1). pencabutan beberapa hak tertentu, (2). perampasan barang yang tertentu, (3). pengumuman keputusan hakim. Jika Ancaman hukum tersebut juga ditujukan bagi anak yang terlibat dalam jual beli narkotika seyogyanya ditelaah lebih lanjut dengan pertimbangan psikologis anak jika berada di dalam penjara, bahkan jika sel-nya masih menjadi satu dengan terpidana dewasa. Sudikno Mertokusumo[4] memberikan pendapat bahwasanya hukum yang baik harus menjamin kepastian hukum, kemanfaatan umum, dan keadilan. Atas dasar latar belakang tersebut penulis mengangkat judul “Penerapan Sanksi Sosial dan Rehabilitasi dalam Perlindungan Anak yang Terlibat Jual Beli Narkotika di Indonesia”
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode yuridis normatif, Metode yuridis normatif adalah suatu proses menemukan satu prinsip atau doktrin untuk menjawab dan menyelesaikan masalah yang dihadapi. Penelitian dengan sistem ini digunakan untuk menghasilkan menghasilkan argumentasi, atau konsep baru dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi[5].
Atas latar belakang masalah tersebut, penulis mengangkat rumusan masalah sebagai berikut: