Mohon tunggu...
Rizky Hadi
Rizky Hadi Mohon Tunggu... Lainnya - Anak manusia yang biasa saja.

Selalu senang menulis cerita.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Para Pendosa di Kota Tua

9 Januari 2021   08:31 Diperbarui: 9 Januari 2021   09:03 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jalanan sejak pagi sudah ramai dipadati motor dan mobil yang bernilai tinggi. Para dewan juga sudah menempati gedung yang sangat megah. Orang-orang berjas dan berkemeja rapi pun mulai berangkat ke kantornya masing-masing. Termasuk kantor yang berdiri gagah itu. Kantor yang berisi segala rupa sifat, telah menghancurkan nasib dua pemuda yang mempunyai harapan tinggi.

Ialah Harun dan Tinus yang kini tengah duduk sembari menanti bus yang lewat di seberang jalan kantor busuk itu. Jika kalian tahu, bus ini yang akan menjadi mesin penghasil uang bagi mereka. Bukan kernet apalagi sopir, melainkan pencopet yang baru tumbuh mengakar di dunia percopetan.

Harun menamatkan kretek yang sedari tadi menempel di bibirnya. Dia memandang benci bangunan yang seolah suci itu. "Seandainya sebuah kecurangan tidak ada di dunia ini, pasti kita berdua akan duduk di salah satu ruangan di kantor itu."

"Para pendosa itu memang keparat semua," timpal Tinus. Ingatan peristiwa dua tahun lalu tak pernah bisa dilupakannya.

Memang, dua tahun lalu menjadi tahun senang dan suram bagi kedua pemuda tersebut. Satu, mereka baru lulus berpredikat S-1 ekonomi. Gelar yang sangat mentereng di desanya. Dua, dengan sangat menjijikkan, mereka gagal bekerja sebagai pegawai kantoran hanya gara-gara masalah sederhana yang menguasai sebagian aktor kantor tersebut.

Kota Tua menjadi tempat eksotis untuk mendapatkan strata ekonomi yang tinggi. Hal itu yang dituju Harun dan Tinus. Mereka berdua berangkat dan meninggalkan kehidupan di desa. Berharap peningkatan kualitas hidup. Setelah menginjakkan kaki di kota Tua, mereka langsung mengirim surat lamaran kerja ke beberapa kantor yang bergerak di bidang periklanan.

Setelah beberapa hari menunggu, akhirnya mereka berdua dipanggil untuk melakukan wawancara kerja. Harun dan Tinus senang bukan kepalang. Impiannya akan terwujud sebentar lagi. Sudah kelewat siap, mereka berlatih satu sama lain. Bagaimana berbicara dengan tegas tetapi sopan, sikap yang ditunjukkan, cara menatap. Semua sudah dipersiapkan sebaik mungkin.

Hari wawancara pun tiba. Harun dan Tinus berhasil melewatinya dengan yakin dan apik. Tetapi di akhir wawancara, sang pewawancara yang seakan dewa bagi pelamar kerja tersebut, berkata, "Berapa uang yang kamu punya untuk kerja di sini?"

Harun yang mengerti kalimat itu, langsung keluar tanpa pamit. Sementara Tinus malah membalikkan kata-kata, "Tujuan saya untuk mencari uang bukan malah dimintai uang."

Tak pantang menyerah, mereka berdua melamar ke kantor-kantor lain. Nahasnya, mereka selalu bertemu dengan realitas yang sama. Jika punya uang maka wawancara menjadi lancar.

Kedua pemuda yang awalnya mempunyai harapan tinggi itu, akhirnya menyerah pada keadaan. Frustasi. Mabuk-mabukan menjadi jalan pelampiasan. Lupa tujuan awal. Bergonta-ganti pekerjaan. Sampai akhirnya memilih mencopet sebagai pekerjaan tetap. Semua orang mereka sasar. Anak sekolah hingga pejabat yang apes naik bus atau pun angkot.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun