Mohon tunggu...
Muhammad Rizky Fajar Utomo
Muhammad Rizky Fajar Utomo Mohon Tunggu... Lainnya - Personal Blogger

part-time dreamer, full-time achiever | demen cerita lewat tulisan | email: zawritethustra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kritik terhadap Donald B. Calne: Membuka Diskusi Mengenai Nalar dan Moralitas

30 Januari 2020   13:35 Diperbarui: 30 Januari 2020   13:54 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sebagai sesuatu yang sangat berjasa dalam kehidupan, nalar tak pernah lepas dari manusia selaku aktor yang melakukan penalaran. 

Nalar, sesuatu yang digadang-gadang membawa perubahan kemajuan bahkan mencetak sejarah di atas bumi manusia menjadikan nalar sebagai sesuatu yang baik--meski tidak sedikit juga yang menganggap nalar merupakan sesuatu yang buruk serta membawa perubahan kemunduran yang destruktif, yang mana anggapan ini biasanya terdapat pada sebagian besar kaum beragama ortodoks. 

Apakah berkaitan nalar dengan baik-buruk (atau moralitas)? Atau justru nalar tidak memiliki kaitan dengan moralitas?

Orang bisa menyarikan nalar di dalam moralitas dan menyarikan moralitas di dalam nalar. Sebagai contoh kita ambil kasus genosida Yahudi yang dilakukan oleh NAZI melalui Holocaust. Holocaust merupakan peristiwa genosida atas enam juta orang Yahudi di Jerman pada masa pemerintahan Adolf Hitler. 

Tentu bagi sebagian orang, termasuk saya, perbuatan ini tidak dapat diterima. Namun ada yang perlu diperhatikan di sini selain pelanggaran HAM terhadap orang Yahudi, yakni nalar dan moralitas Hitler. 

Dalam melakukan program ini, Hitler tidak semena-mena melakukannya atas dasar nafsunya sendiri, tentu saja Hitler menggunakan penalaran dan moralitas. Genosida yang dilancarkan Hitler didasari atas doktrin superioritas Ras Aria yang tentu saja telah Hitler nalar terlebih dahulu dan memiliki moralitas di dalamnya.

Menurut pembacaan saya atas karya Hitler, Mein Kampf, yang juga merupakan 'kitab suci' bagi NAZI, fasisme merupakan produk penalaran Hitler. Pertanyaan seperti "Apakah Hitler memikirkan kemanusiaan?" dan pernyataan seperti "Hitler bengis sekali! Tak berperikemanusiaan!" akan muncul di benak kebanyakan orang saat mempelajari Holocaust. 

Saya dengan tegas akan mengatakan bahwa "Itulah penalaran Hitler! Dan itulah moralitas Hitler!" Donald B. Calne dalam bukunya, yang telah diterjemahkan, Batas Nalar mengatakan bahwa nalar merupakan perangkat yang netral, yang hanya menjelaskan mengenai "bagaimana" bukan baik dan benar. 

Pernyataan Calne bagi saya seolah menjadikan bahwa nalar dan moralitas merupakan sesuatu yang berbeda. Selain itu, Calne juga nampaknya mengatakan bahwa nalar merupakan sesuatu yang rasional, bukan yang irasional. Bagi saya, dalam nalar terdapat rasionalitas dan irasionalitas.

Saya kurang sepakat bahwa nalar merupakan perangkat netral yang menjelaskan mengenai "bagaimana" karena, nalar, dalam pertimbangannya tetap terdapat moralitas; baik-buruk atau benar-salah. 

Dalam contoh Holocaust di atas, Hitler tidak mungkin melakukan penalaran tanpa dilandasi moralitas. Superioritas Ras Arya yang diyakininya menuntun Hitler melakukan Holocaust. Holocaust sendiri di mata Hitler agaknya serupa dengan pembersihan dalam kitab suci--yakni cerita banjir besar dan bahtera Nabi Nuh, hanya bedanya saja Hitler tidak hanya menyapu bersih melainkan juga melakukan serangkaian eksperimen biokimia pada orang Yahudi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun