Mohon tunggu...
Rizky Ramadhan
Rizky Ramadhan Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Hidup tanpa tawa bagai taman tak berbunga.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fanatik yang Menggelitik

7 Desember 2019   14:23 Diperbarui: 7 Desember 2019   14:47 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Banyak hal yang bisa ditertawakan di dunia ini, mulai dari kehidupan sehari-hari sampai acara-acara di televisi. Namun ada juga sesuatu yang bisa untuk kita tertawakan, tapi tidak biasa utuk dilakukan, salah satunya ialah politik. Mungkin bagi sebagian orang, politik sangatlah membosankan, bahkan tidak cocok untuk dijadikan rujukan bahan candaan. Tetapi penulis memiliki pandangan lain, bahwa banyak hal yang lucu dari politik, mulai dari kebijakan, pendukung, sampai ke para elite politik. Terutama di kalangan pendukung, kefanatikan mereka dalam mendukung jagoan politiknya memiliki nilai kelucuan tersendiri. Mereka mati-matian mendukung, bahkan rela sebar hoax sana-sini demi kepuasan birahi politiknya, padahal jika jagoannya menang, ia tak akan mendapat apa-apa.

Kefanatikan terhadap sesuatu sangatlah berbahaya, bahaya untuk lingkungan sekitar juga bahaya terhadap yang difanatikan. Tidak percaya? Banyak sejarah yang sudah membuktikannya. Kita ambil contoh serius seperti kefanatikan Hitler kepada rasnya sendiri, ia meyakini bahwa rasnya adalah yang terbaik di muka Bumi sehingga ia tak segan untuk bantai sana bantai sini. Tidak cukup hanya membantai ras yang berbeda, Hitler juga membuat "peternakan" ras yang sama dengannya, yaitu ras Aria, bayi yang lahir dari hasil ternak ini pun jikalau cacat akan langsung dibunuh atas perintah Hitler, hal ini semata-mata guna mewujudkan ras Aria sebagai ras yang paling sempuna.

 Lalu ada juga kasus kefanatikan yang berbahaya terhadap sosok yang difanatikannya itu sendiri, hal tersebut dialami oleh musisi terkenal Taylor Swift, salah seorang fansnya rela berenang sejauh 2 km hanya untuk sampai ke rumah Taylor Swift yang terletak persis di tepi pantai. Malang baginya karena yang ia temui bukanlah Taylor Swift melainkan security.

Melalui dua contoh kasus di atas, kita semua mungkin sepakat bahwa perilaku fanatik sangatlah toxic atau mungkin berbahaya bagi lingkungan sekitar, sebab perilaku fanatik tidak akan membawa dampak baik apa-apa, terlepas apa yang difanatikkan tersebut, tidak terkecuali agama. Fanatik terhadap agama sangat sangat menyusahkan, karena sudah banyak organisasi-organisasi berbasis agama tertentu, yang memiliki kefanatikan luar biasa sehingga menganggap kepercayaan atau agama lain itu sesat, dampaknya ialah mereka membabat habis yang berbeda keyakinan, seolah semua manusia harus se-Tuhan dengannya. Mengerikan memang, namun itulah kenyataan, terkadang tak seperti yang kita bayangkan.

Kefanatikan terhadap agama di Indonesia sangat tinggi menurut survei yang dilakukan Varkey Foundation, 93% generasi Z di Indonesia dinilai fanatik terhadap agama. Ditambah generasi-generasi di atasnya yang juga sangat berpegang teguh terhadap agama. Hal ini mungkin yang membuat para elite politik berpikir memanfaatkan kefanatikan mereka melalui politik identitas, target utamanya tentu adalah pemeluk agama Islam yang merupakan mayoritas di Indonesia karena akan memberikan suara yang sangat signifikan.

Semua berawal dari kasus Ahok yang dinilai oleh lawan politiknya telah menistakan agama Islam, para elite yang bersebrangan dengan Ahok langsung mengompori bahkan sampai mengedit video rekamannya agar terlihat lebih "menista", sontak umat Islam di seluruh penjuru negeri terbakar api emosi. Mereka lantas mengadakan aksi atau demo besar-besaran di monumen nasional secara berjilid-jilid, menuntut agar Ahok diadili sebagaimana hukum yang berlaku. Usaha mereka tak sia-sia, karena Ahok akhirnya gagal terpilih dan harus menelan pil pahit mendekam di balik jeruji besi.

Tak berhenti sampai di situ, melihat track record politik identitas yang sangat berhasil ketika menjatuhkan Ahok, para elite politik ini menggunakan senjata yang sama dalam perebutan kursi RI 1 & RI 2. Meski senjata sama, namun narasi yang dibangun jelas berbeda, tidak ada lagi demo berjilid-jilid, juga tidak ada lagi yang dijebloskan ke penjara karena menista agama. Dalam perebutan kursi ini, Indonesia terbagi menjadi kubu 01 dan 02, keduanya pun memiliki julukan masing-masing, 01 dengan cebong sedangkan 02 dengan kampret. 

Jual-beli serangan pun terjadi di media sosial, khususnya oleh para buzzer yang notabenenya adalah pendukung fanatik dari kedua belah kubu, kubu 02 melancarkan senjata politik identitasnya dengan menyerang 01 bahwa 01 anti dengan ulama, melegalkan LGBT, dan juga mengkriminalisasi para ulama. Lalu apa 01 tidak ikut bawa-bawa agama? 

Tentu tidak. Pihak 01 pun langsung menggebrak seantero negeri bahkan sampai membuat kaget pendukungnya sendiri, yaitu dengan menggaet K.H. Ma'ruf Amin sebagai wapres. Tindakan tersebut diduga banyak pihak terutama pengamat politik sebagai tameng 01 atas semua serangan yang sering dilayangkan oleh 02. Hal itu juga membuat pihak yang fanatik terhadap agama yang kebetulan banyak berada di kubu 02 bisu diam terpaku.

Memalukan memang, ketika apa yang sudah kita teriakan dengan lantang, bahkan terkadang dengan kata-kata kasar, dicounter hanya dengan satu tindakan. Mungkin para pembaca, khususnya generasi Z yang membaca tulisan ini pernah melakukan hal-hal bodoh seperti yang sudah penulis sebutkan di atas, itu wajar, mungkin bisa dibilang itu adalah tanda bahwa kita pernah mengalami puber politik, atau istilah lainnya adalah posser. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana kita depannya, atau mungkin pada pemilu berikutnya, agar kita tidak lagi fanatik terhadap jagoan politik.

Karena sesungguhnya politik itu kotor, politik itu seperti saluran pembuangan, di mana ketika kalian sudah masuk ke dalamnya, mau tidak mau kalian akan ikut kotor, karena di politik juga tidak ada lawan atau kawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan pribadi. Tidak percaya? Silakan, tapi buktinya, ketika tulisan ini selesai dibuat, pihak yang kalah dalam perebutan RI 1 & RI 2 yang penulis ceritakan di atas, memilih bergabung dengan kabinet yang menang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun