"Adek mana bang? Ibu mau bicara bertiga dengan adek juga."
"Iya abang panggil ke depan Bu."
Surya berjalan ke depan melihat Azril bermain bersama teman-temannya. Azril yang berusia 12 tahun akan naik kelas dua SMP tahun ini. Pulang sekolah selalu bermain di halaman rumahnya saja yang luas bersama temannya. Jarang dia bermain ke rumah temannya. Sifat ibu Salmah benar-benar menurun padanya, baik hati, pemalu dan suka menyendiri. Terlebih lagi semenjak Ayahnya meninggal. Sosok sang Ayah yang bertolak belakang dengan sifatnya tak pengaruh dengannya sama sekali. Mungkin selama hidup sosok tersebut didapatnya dari abang tertuanya Surya. Sehingga sifat Suryalah yang diserapnya dengan sempurna.
Azril segera masuk mendengar abangnya memanggil. Berdua mereka masuk ke dalam menuju kamar ibu mereka.
"Sini duduk di samping ibu." Azril dan Surya menurut dan segera duduk di sebelah ibu mereka.
"Dek, Abang, Ibu mau bicara. Ibu merasa waktu Ibu udah tidak lama lagi."
"Ibu jangan bilang gitu Bu, ibu sakit apa. Kita berobat yok Bu." Mata Surya berkaca-kaca. Bingung harus berbuat apa. Seharian ini hanya berbaring bahkan buang air kecil pun di tempat tidur. Hatinya semakin sesak melihat Azril juga mulai menangis memeluk ibunya.
"Jangan menangis anak-anak ibu. Kalian anak bujang tersayang ibu, ibu mau kalian semakin kuat keimanan terhadap Allah. Ingat perjuangan kalian masih panjang. Hidup kalian masih panjang. Kalian harus bahagia demi Ibu dan Ayah ya." Bu Salmah tersenyum dengan penuh air mata. Sedih karena harus meninggalkan anak-anaknya. Namun nafasnya yang semakin sesak buatnya harus mengatakan semua.
"Bagaimana dengan adek-adek yang laen bu? Apa Surya jemput mereka semua?"
"Jangan Nak, jauh. Butuh beberapa hari untuk sampai ke kampung mereka. Kamu ambil kaleng besar di atas lemari ibu itu."Â
Surya mengambil kursi untuk membantunya mengambil kaleng tersebut. Meski tubuhnya tinggi namun lemari yang tinggi hampir atas atap itu butuh sebuah kursi juga untuk menggapainya. Entah kaleng apa karena berat sekali dipegangnya.