Mohon tunggu...
Rizky Xavier
Rizky Xavier Mohon Tunggu... Human Resources - Kepala Bagian Umum, Keuangan, dan SDM Rumah Sakit dan Staf Ahli Instansi Legislatif Daerah

Setiap perjalanan hidup hendaknya ada harapan dan doa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belenggu Perspektif Norma dalam Kebebasan Beragama

24 Maret 2023   06:30 Diperbarui: 24 Maret 2023   06:34 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Vecteezy Pinterest https://id.pinterest.com/pin/991988255395458844/

Seorang manusia dipandang baik menurut perspektif norma yang berkembang di sekitarnya, namun tidak jarang keadaan yang seharusnya terjadi (das sollen) tidak berjalan seirama dengan yang sebenarnya terjadi (das sein). Beberapa peristiwa yang menarik untuk jadi bahan perbincangan adalah mengenai keputusan spiritual seseorang untuk pindah memeluk agama lain. Namun, hal ini menjadi faktor utama timbulnya pergesekan di beberapa masyarakat terutama keluarga dan kerabat. Sekilas peristiwa ini menyiratkan bahwa Bhinneka Tunggal Ika belum benar-benar dapat diteguhkan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sangat sarat dengan keberagamannya. Tidak hanya agama tetapi demikian juga perbedaan antara suku, ras, golongan, budaya dan lainnya.

Secara terminologis menurut ensiklopedi Indonesia, agama sendiri merupakan aturan atau juga dapat disebut sebagai tata cara hidup hubungan manusia dengan manusia, dan manusia dengan Tuhan. Secara etimologi, agama berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu dari 2 kata yaitu “a” adalah tidak dan “gama” adalah kacau yang kalau dijadikan satu memiliki arti tidak kacau atau tidak berantakan.

Kebebasan untuk memilih agama atas hidupnya sendiri telah dijamin oleh negara melalui Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu "Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali.” Lebih lanjut lagi diatur dan dijamin melalui Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yaitu “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Instrumen hukum yang ditambahkan oleh negara juga dituangkan melalui Pasal 22 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Dalam hal ini melalui UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, juga menegaskan bahwa negara menjamin kemerdekaan setiap orang dalam kebebasan beragama.

Terdapat lebih banyak lagi aturan mengenai kebebasan seseorang untuk menentukan hidupnya, negara sudah menciptakan banyak instrumen hukum untuk menjamin hal-hal tersebut. Namun, apakah dengan banyaknya instrumen hukum ini menjamin setiap orang ketika memilih agamanya sendiri? Jawabannya yaitu tidak selalu.

Keputusan seseorang untuk pindah memeluk agama lain adalah sebuah keputusan spiritual yang berdampak besar pada kehidupannya, bahkan tidak jarang orang lain pun ikut andil dalam hal ini dan merasa terkena dampaknya. Mulai dari keluarga, kerabat, teman, hingga orang lain yang hanya mendengar kabar burung pun ikut berpartisipasi untuk sedikit banyaknya menghakimi dengan selimut dalil agama.

Fenomena pindah agama ini masih dianggap tabu padahal sudah seharusnya hal demikian adalah lazim, asalkan keputusan tersebut tidak di dalam bawah pengaruh paksaan dan kebencian. Pada hakikatnya seseorang yang telah menginjak masa dewasa berhak untuk menentukan hidupnya sendiri, namun tidak jarang pindah agama malah seolah menjadi kejahatan paling keji dan harus dihakimi secara verbal oleh keluarga maupun lingkungan sekitar.

Tanpa menggeneralisasi, masih banyak di dapati keluarga dan lingkungan masyarakat yang belum mampu merepresentasikan instrumen hukum guna menjamin hak seseorang dalam memeluk agama yang dipilihnya. Fakta di lapangan justru berbanding terbalik dengan apa yang seharusnya terjadi menurut hukum negara, komentar jahat, cacian, hinaan, kata-kata yang menjurus, dan masih banyak hal negatif lainnya. Bahkan, seringkali dijumpai seseorang yang diasingkan dan dianggap telah dikeluarkan dari keluarga karena keputusan untuk pindah agama. Inilah yang menjadi bukti kadar rendahnya beberapa masyarakat Indonesia mengenai toleransi terhadap pilihan hidup seseorang. Seringkali banyak kata toleransi beragama bertaburan di media sosial, namun sering kali luput bahwa toleransi tidak terletak pada satu aspek saja, melainkan toleransi terhadap pilihan hidup seseorang juga harus dihormati dan dihargai.

Doktrin sosial yang keras menjadi salah satu faktor utama keluarga untuk melarang salah satu anggota keluarganya memeluk agama yang berbeda. Bagaimana mungkin seseorang dilarang untuk memeluk agama lain hanya karena enggan dan takut nama baik keluarga tercoreng, eksistensi keluarga menjadi tercela, status sosial yang hilang, dan masih banyak lagi alasan empiris sosiologis yang kurang berdasar. Artinya, pertimbangan ini ada karena kesadaran masyarakat akan perbedaan agama masih sangat rendah. Tingkat intoleran mengenai agama masih tergolong tinggi.

Biasnya instrumen hukum terhadap fakta yang sering dijumpai menjadikan tindakan pindah agama sebagai norma terlarang di mata masyarakat. Sehingga, ini menjadi pergolakan batin di setiap benak insan Tuhan Yang Maha Kuasa. Eksistensi kelompok agama tertentu menjadi hal penting, sehingga lupa bahwa esensi sebenarnya agama adalah untuk menuju Tuhan melalui jalan yang baik. Eksploitasi mental yang brutal seringkali dijadikan argumen untuk mencegah seseorang pindah memeluk agama lain.

Dalam hal ini di ketahui para tokoh-tokoh dalam agama memiliki sikap toleransi yang sedemikian tinggi, mereka justru mengajarkan tentang bagaimana sikap mencintai, menghargai, menghormati, dan memaafkan. Moral dan etika yang dicontohkan sangatlah tinggi, namun masih saja banyak masyarakat yang kurang bisa menerapkan itu dikarenakan banyak sekali ajaran yang disalahpahami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun