Sabtu, 13 April 2013
20.10 s.d. 23.30
Pendopo Wakil Bupati Banyumas (Jalan Jend. Soedirman, Purwokerto)
Tema : “Globaliasasi atau Lokalisasi?”
Moderator : Kukuh & Kusworo
Narasumber : Bapak Surya Esa (Budayawan), Bapak Titut (Budayawan)
Pengisi acara hiburan : Demas (Puisi), Javarasta (Musik)
Jumlah Peserta lebih dari 50 orang
·Pembukaan oleh Moderator
·Pengantar acara oleh Rizky mewakili panitia, menjelaskan tentang makna nama acara dan temanya.
oNama “ Juguran” dipilih karena merupakan bentuk paling cair untuk menamai sebuah pertemuan, diantara nama-nama Konferensi, Lokakarya, Meeting Summit, dll. Dan “Juguran” merupakan kosakata asli Banyumasan.
oKemudian Rizky menjelaskan nama syafaat terinspirasi dari Syafaatnya Kanjeng Nabi SAW nanti di akhir zaman, dimana dengan syafaat orang menjadi terangkat naik. Maka secara lebih cair Syafaat diartikan sebagai , “munggah”, “naik”,. Jadi Juguran syafaat merupakan sebuah forum yang sangat cair yang dengan mengikuti forum ini kita menjadi “munggah” cara berpikirnya, kedewasaan jiwanya, dll.
oSedangkan untuk tema, “Globalisasi atau Lokalisasi” diangkat untuk membahas bahwa ditengah gembor-gembor slogan globalisasi, kita justru terlokalisir. Terlokalisir sehingga harus memakai sepeda motor semua, harus memakai handphone yang merknya itu-itu aja semua, dan seterusnya. Nah ini bagaimana seperti ini?
·Selesai penjelasan pengantar acara, dilanjutkan baca puisi Bahasa Banyumasan oleh Demas Adi, judul puisinya “Negara Gubes”.
·Pada saat setengah jam pertama, jumlah audience baru sekitar 30 orang, beberapa pada belum datang. Tetapi Kusworo sang moderator ngadem-ademi , dulu Nabi Nuh AS saja ratusan tahun pengikutnya masih bisa dihitung dengan jari, lah ini yang baru pertemuan pertama sudah sebanyak ini yang datang, sudah bagus banget.
·Kusworo (Moderator 1) : Islam atau Kristen atau agama yang kita anut saat ini kebanyakan masihlan merupakan agama kebetulan. Kebetulan karena orang tua kita agamanya itu, maka kita ikut dengan agama orang tua. Tugas kita sekarang adalah mengubah kebetulan menjadi kebenaran. Agar lebih mantap dalam beragama. Karena kebetulan dan kebenaran itu beda. Pahlawan misalnya, itu pembela kebenaran. Bukan pembela kebetulan. Hehe..
·Kukuh (Moderator 2) : Dengan ikut acara ini, jamaah diajak untuk memiliki jiwa yang gemulai, yang jazzy, tidak terpaku pada partitur belaka.
·Acara dilanjutkan dengan perform dua buah lagu dari teman-teman Javarasta.
·Narasumber, Pak Surya Esa dan Pak Titut maju ke depan.
·Pak Surya Esa mempersilahkan Pak Titut terlebih dahulu untuk berbicara :
·Pak Titut :
oMemohon ijin memakai bahasa Banyumasan, karena sering orang Banyumas malu dengan bahasanya sendiri
oIntermezo : Pak Titut berkilah seringkali dibuat kelira-liru antara Pak Titut dan Pak Surya Esa kalau ketemu orang dijalan. Pak Titut dikira Pak Surya Esa dan sebaliknya. Kemudian dengan kocaknya beliau mengurai kucir rambutnya yang panjang, dan betul, setelah diurai memang kedua narasumber malam ini memang mirip gondrong2nya. *Bukan sebuah kebetulan
oMenyayikan lagu Banyumasan
oMenjelaskan tentang Cowongan, bahwa di dalam tradisi cowongan terkandung makna kasih sayang yang begitu mendalam. Antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan alam dan antara manusia dengan sang pencipta.
oGara-gara dimana-mana membawakan tarian Cowongan, Pak Titut sering dianggap bermain syetan, musyrik, dll. Saking gemesnya beliau menulis di atas pintu rumahnya “Awas disini ada syetan”.
oMenjelaskan tokoh Sulasih Sulanjana di dalam tarian Cowongan.
oTradisi cowongan ada sebagai bentuk kearifan masyarakat di zaman dulu ketika masyarakat belum mengenal kitab suci. Dianalogikan seperti orang zaman dulu memakai obat turun panas menggunakan daun “dadap srep” itu tidak bisa disalahkan, karena saat itu memang belum ada Termorex.
oMenjelaskan tentang esensi juguran : kalau memang saya dan anda itu juguran, maka cirinya adalah : otak kita bersih, kumpulnya senang bahagia. Dan kalau kedua syarat itu sudah dipenuhi, maka sama seperti apa yang dicoba dicapai oleh masyarakat jaman dulu saat melakukan cowongan yang mencoba menyetubuhi alam dengan kasih sayang, maka “alam semesta akan turun (mendukung kita, red)”.
oCowongan adalah tradisi nenek moyang berupa ritual tarian minta hujan. Cowongan pernah dipentaskan oleh Bapak Surya Esa, alm Bambang Set dan budayawan2 Banyumas lainnya dalam sebuah misi kebudayaan ke Cheko dan Malaysia. Dalam format aslinya, ritual cowongan yang menggunakan batok kelapa yang ditusuk kayu dan diberi ornamen sehingga batok dan kayu itu membentuk seperangai seuah boneka, nantinya si boneka akan kemasukan indang dan bisa bergerak-gerak sendiri.
oNamun, yang dilestarikan Pak Titut bukan ritualnya, tapi hanya teaternya. Maka ia menyebut sebagai : Cowongan Pertunjukan. Karena istrinya seorang penari lulusan ISI, maka mereka mencoba mengaransemen ulang Cowongan kedalam sebuah pertunjukan dengan harapan nilai2 kasih sayang dalam bait-bait sastra di Cowongan dapat terus lestari.
·Moderator 1 : Diumumkan bahwa forum “Juguran Syafaat” ini nantinya akan rutin dilaksanakan sebulan sekali, setiap sabtu malam pekan kedua. Atau bertepatan dengan setiap sehari setelah Kenduri Cinta (Forum Maiyah Jakarta).
oSebagai orang Jawa kita harus bangga, contohnya dari segi kosakata bahasa. Kalau orang Inggris Cuma punya kosakata smile dan laugh, orang jawa punya : mesem, ngguyu, nyengir, dll. Ini disitir dari yang pernah disampaikan Cak Nun di banyak kesempatan. Termasuk penggunaan kosakata untuk beras, Barat hanya mengenal rice. Sedangkan di Banyumas ada beras, gabah, menir, aking, upa, dll. Dari kosakata saja kita lebih kaya
oModerator mengajak audience untuk bangga dengan Jawa. Kemduian mempersilahkan salah satu peserta yang datang, Mba Ary Suryani seorang praktisi psikologi transpersonal dan hypnoterapi bercerita tentang Borobudur sampai bangsa Lemurian. Namun sayang kesempatan bercerita belum sampai, mba Ary sudah pamit pulang duluan.
·Javarasta tampil lagi membawakan lagunya iwan fals, sebuah lagu blues dan 4 lagu lainnya.
·Giliran Narasumber kedua, Bapak Surya Esa :
oBercerita pengalaman beliau ke Papua, dimana di Lembah Baliem disana orang telanjang semua, tapi tidak ada pemerkosaan. Kemudian di ke Bali, melihat disana sepeda motor diparkir dijalan tapi tidak ada kendaraan hilang. Itulah nilai-nilai lokal yang luar biasa.
oMerasa senang diundang ke forum ini, karena “tumbu ketemu tutup”, Pak Surya Esa memang menantikan forum gratisan yang njugur seperti ini. Apalagi ada sajian cimplung, singkong yang direbus dengan air nira saat memasak gula, makanan original orang Banyumas.
oPak Surya Esa membacakan puisi berjudul “Mbok Jere Sapa” atau terjemahan bebasnya “Eh Siapa Tahu”.
oKetika kita mengupayakan sesuatu, sebetulnya kita ya sedang “mbok jere sapa”, karena kita tidak pernah tahu kepastian hasil dari yang kita upayakan. Ini harusnya melandasi semangat kita untuk terus mengupayakan, karena semakin banyak berupaya, semakin banyak peluang kita untuk “mbok jere sapa” mencapai/menghasilkan sesuatu.
oKemudian membahas tentang mental dokter puskesmas. Dimana ketika pasien datang ke puskesmas, hanya ditanyai ketus, kemudian ditanyai itu-itu saja. Tapi, ketika pasien lain datang ke dokter itu saat praktek di rumah, maka pelayanannya beda, lebih ramah, lebih detail. Kita diajak untuk jangan sampai punya mentalitas seperti itu disegala aspek kehidupan.
oKita harus detail melayani, detail memandang setiap sesuatu hal.
·Moderator 1 : menyapa seluruh peserta, ada yang datang dari jauh-jauh : Sumbang, Sokaraja, Wogen, Karangsari, dll.
·Pak Titut melanjutkan : beliau mohon ijin untuk bercerita blak-blakan. Bahwa, tiga minggu yang lalu beliau..... membeli somay. *kirain blak-blakan apa, hehe, ternyata Cuma membeli somay.
oKetika membeli somay beliau bercakap-cakap dengan penjualnya. “Adek asalnya darimana?” Dijawab “dari Bobotsari Pak”. Ditanya lagi oleh Pak Titut “Bobotsarinya mana dek?” dijawab “Kesupen (lupa) pak”.
oIni coba “kenthir” (Gila) tidak. Orang kok sampai lupa darimana asal usulnya. Beliau menceritakan dirinya yang sudah melanglang buana dari Tegal sampai Nusa Tenggara, tidak pernah melupakan Kalibogor desa masa kecilnya.
oOrang lupa dengan asal-usulnya bisa jadi karena malu dengan asal usulnya sendiri. Padahal, kenapa harus malu dengan asal-usul Banyumas. Banyumas itu banyak keistimewaannya dibanding nagari-nagari lain sejagad. Contohnya, orang banyumas itu pronounciation-nya paling cetha wela-welo dibanding yang lain. Perhatikan saja bakul di kereta kalau ke arah Purworejo saja sudah beda, ketika masih di Banyumas “Rujake mas, rujake pak”, ketika udah sampai purworejo berubah “Ruja’.. Ruja’..”
oKemudian Pak Titut menyampaikan : Hidup bukan sebuah kebetulan. Seniman bukan sebuah cita-cita. Seniman itu dilahirkan.
oOrang itu mudah sekali terpatri aturan, Islam misalnya, kalau tidak begini salah kalau tidak begitu salah. Kalau tidak arab salah. Kalau saya hidup di Arab, saya bakalan bikin calung dari tulang onta. Noh...
·Pak Cu’eng salah satu peserta merespon, memberi usul bahwa harusnya pertunjukannya jangan musik regge donk, kan budaya Banyumas ya calung atau nyinden atau gamelan.
·Moderator merespon : Memang sudah direncanakan ada penampilan gamelan dari teman-teman “Jamus Kalimasada”, grup wayang mahasiswa, grup wayang termuda di Banyumas pimpinan mas Demas Adi yang tadi membacakan puisi. Tapi karena kurang persiapan, jadi paling tampil bulan depan (Juguran Syafaat bulan depan tanggal 11 Mei 2013). Adanya musik regge tampil itu tidak apa-apa, justru untuk membuktikan bahwa skillnya orang Banyumas, Regge yang dari Barat saja bisa dikuasai. Belum tentu orang Barat bisa membawakan kesenian Banyumasan.
·Pak Titut menambahkan : Negeri agraris di dunia itu banyak, bukan cuma di Indonesia, tapi kenapa di Indonesia musik keseniannya lembut-lembut. Karena disini alamnya sangat Indah. Kenapa juga kita harus selalu ikut-ikutan Eropa. Disana keseniannya jingkrak-jingkrak, agar berkeringat. Disini tidak perlu jingkrak-jingkrak, kalau mau “silir” ya tinggal keluar rumah juguran. Sudah tepat forum ini, juguran memang diluar rumah seperti ini, menikmati silir semilirnya angin.
·Pak Titut melanjutkan : Kebudayaan tidak akan sirna, Gusti Allah akan melahirkan orang-orang yang akan memunculkan kebudayaan-kebudayaan lama kembali. Seperti dirinya yang meyakini sedang diperankan oleh Sang Pencipta untuk melahirkan kembali budaya cowongan. Maka Pak Titut meyakini forum Juguran Syafaat ini bukan sebuah kebetulan, beliau meyakini sedang menjadi kepanjangan tangan oleh Gusti Allah untuk ada dan berbicara disini.
·Mas Afit, salah satu peserta kembali merespon : Merasa senang ikut acara ini, dia bersepakat memang budaya kita sendiri harus kita lestarikan. Ma Afit mohon ijin nyeleneh bahwa jangan-jangan kalimat “Bhineka Tunggal Ika” itu yang membuat orang Banyumas, karena kalau yang membuat orang Solo misalnya, jadinya ya “Bhineko Tunggol Iko”, hehe. Mas Afit juga memberikan alternatif usulan nama, menjadi misalnya : Juguran Pepadang.
·Moderator 1 merespon menarik satu kesimpulan yang disampaikan oleh mas Afit bahwa globalisasi sesungguhnya adalah persaingan antar lokal. Lokal dan lokal bersaing untuk memenangkan menjadi global.
·Moderator 2 menjelaskan tentang fenomena gangnam style, tarian dari pemukiman kelas bawah yang diangkat oleh kelas menengah dan atas untuk bisa men”dunia”kan bangsanya.
·Pak Surya Esa menjelaskan tentang kongkrit dan Abstrak. Bahwa kalau kita mau mempelajari sesuatu, harus total, tidak Cuma bentuk kongkritnya saja, tapi sampai ke abstraknya.
·Pak Titut menambahkan, bahwa konsekuensi ketika kita total mempelajari sesuatu sampai yang absurdnya, kita akan “nggemblung”. Dan kita akan dianggap gila oleh sekeliling kita. Tapi itu tidak apa-apa. Pak Titut menawarkan diri untuk ikut ambil bagian, ayo siap mengajak orang Banyumas yang nggemblung lebih banyak lagi untuk berkumpul di forum ini bulan depan. Calung, Regge, Sinden, Ebeg, Keroncong kalau bisa hadirkan semuanya disini, agar regge mengenal calung, agar keroncong mengenal ebeg.
·Closing statement Pak Titut : Hidup bukan sebuah kebetulan, kalay saya dan Pak Esa ada disini, itu karena sedang disuruh oleh Gusti.
·Closing statement Pak Esa : Kita membuat acara ini adalah karena “mbok jere sapa” akan mendapatkan sesuatu kebaikan, kalau ternyata yang kita inginkan tidak tercapai. Ya bulan depan membuat lagi “mbok jere sapa” bulan depan akan mendapatkan yang kita inginkan. Dan seterusnya kalau belum tercapai juga ya terus membuat upaya-upaya apapun, karena dibalik setiap upaya selalu ada “mbok jere sapa”.
·Forum ditutup dengan semua jamaah berdiri, Pak Titut mengajak untuk yang hadir disini kemudian getok tular sehingga semakin banyak lagi yang bisa terlibat bulan depan. Kemudian moderator mempersilkah Pak Titut memimpin doa dan pengharapan penutup.
·Pak Titut memimpin doa dengan bahasa Arab campur Banyumasan dengan khidmat. Sangat jarang sebelumnya saya mendengar doa bahasa Banyumasan begini.
·Acarapun selesai dengan pemberian parsel untuk narasumber, dilanutkan dengan beres-beres. Seluruh peserta yang tersisa membersihkan sampah bersama-sama, sehingga saat meninggalkan acara, pendopo sudah bersih seperti sedia kala.
·Saat berpamitan pak Titut berpesan kepada salah satu rekan panitia : “teruskan acara ini mas, ini yang namanya jihad!”
Purwokerto, 14 April 2013
Rizky Dwi Rahmawan
FOTO-FOTO DOKUMENTASI KEGIATAN :
