Mohon tunggu...
Rizky D. Rahmawan
Rizky D. Rahmawan Mohon Tunggu... Entrepreneur -

Menyukai jalan-jalan. Mencari inspirasi, mengulik potensi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Agus Sukoco, Gafatar Dibuatnya Antipati

30 Januari 2016   06:48 Diperbarui: 31 Januari 2016   22:45 1012
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Agus Sukoco (tengah) bersama KH. M Marzuki dan Ust. Harianto, AdiTV"][/caption]

Agus Sukoco dikenal sebagai seorang aktivis sosial muda di Purbalingga. Kalau ia lebih tenar dibanding para pelaku LSM, adalah karena integritasnya. Ketika hiruk-pikuk pilkada para pelaku LSM mereka sibuk mendekati kandidat untuk mendapatkan keuntungan finansial, Agus tidak pernah tergiur untuk itu. Integritasnya nampak dari kebersahajaan dalam kesehariannya.

Integritas ini yang mungkin membuat para petinggi Gafatar di Jawa Tengah melirik figur seorang Agus Sukoco. Sehingga pada kesempatan tahun 2012 lalu, Agus diminta hadir menjadi narasumber di pertemuan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) se-eks-Karesidenan Banyumas di Pendopo Alun-Alun Banyumas. 

Alih-alih terekrut oleh Gafatar, seselesai acara ia justru menerima antipati dan penolakan. Setelah pertemuan tersebut petinggi Gafatar mem-blacklist Agus Sukoco. Diantara para peserta yang tertarik untuk berdiskusi lebih jauh, dilarang untuk mendatangi Agus. Sikap open mind dan paparan Agus yang cenderung melalukan redefisini-redefisini dianggap berbahaya bagi keyakinan anggota Gafatar.

Pada kesempatan pertemuan tahun 2012 tersebut, Agus menyampaikan fungsi sosial dari salam "Assalamu'alaikum", salamnya umat Islam yang oleh Gafatar tidak dipakai. Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh adalah sebuah ikrar perjanjian yang menyatakan bahwa setelah ini saya berjanji akan bersikap 'salam' atau damai kepada kalian semua, tidak menyakiti, tidak merugikan, tidak menyembunyikan niat busuk. Karena sikap damai inilah yang memungkinkan Tuhan menurunkan 'rohmatullahi' atau rahmat-Nya, berupa kebaikan-kebaikan. dan setelah rahmat turun, kita bisa mengolahnya menjadi 'barrakatuhu" atau barokah. Tuhan menurunkan rahmat kayu, kita mengolahnya menjadi barokah kursi. Tuhan menurunkan sumber daya alam, kita mengolahnya menjadi sumber daya ekonomi. Dan seterusnya. Gafatar mungkin merasa tersinggung karena dalam salam yang mereka gunakan kandungan fungsi sosialnya sama sekali tidak jelas, bahkan mungkin tidak ada.

Kemudian Agus juga membandingkan dengan gerakan kebangkitan Nusantara masa lalu seperti yang dilakukan oleh Sanjaya, Sriwijaya, Majapahit dan seterusnya dalam rangka mengajak Gafatar untuk berkaca diri, mengukur kalibernya dibanding kaliber para pembuat kebangkitan yang sudah terbukti oleh sejarah. Pemikiran-pemikiran seperti yang disampaikan Agus di atas tentu saja menggelitik para pengikut Gafatar untuk mendalami lebih jauh. Tetapi karena hal tersebut dihitung oleh para petinggi Gafatar berpotensi bahaya pada keutuhan organisasi mereka, maka setelah pertemuan tersebut hingga saat ini Agus Sukoco tidak pernah lagi dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan mereka.

Namun demikian, pada 28 Januari 2016 pada kesempatan diskusi khusus di AdiTV, Agus Sukoco mengajak kepada seluruh masyarakat untuk tidak paranoid bersikap kepada Gafatar. Meskipun langkah yang ditempuh anggota Gafatar salah, tapi kita harus mengakui bahwa mereka semua mengerjakan itu adalah dalam rangka menuju sesuatu yang baik, sesuatu yang ideal menurut cita-cita mereka. Agus lebih melihat anggota Gafatar sebagai korban, bukan sebagai penjahat.

Anggota Gafatar adalah korban, pertama korban dari "iseng yang kebablasan" yang dilakukan oleh Ahmad Musadeq yang mengaku dirinya sebagai Nabi. Agus menyarankan kepada Musadeq, mbok iyao berbuat baik saja yang banyak, nanti orang kan lama-lama juga simpatik, tidak perlu lah mengangkat diri menjadi Nabi. 

Kemudian kedua, umat menjadi korban bagi hukum sosial yang berlaku saat ini dimana hukum sosial tajam ke bawah tumpul ke atas. Dihadapan pemirsa AdiTV Agus mencontohkan kasus yang berlaku pada khotbah Jumat, dimana yang dikenai ancaman dosa kenapa hanya jamaah yang berbicara sendiri, kenapa tidak dikenai ancaman dosa kepada khotib yang tidak bisa membuat khotbah yang mengena dan relevan dengan masalah umat, yang karena tidak mengena sehingga jamaah tidak antusias dan bicara sendiri? Semestinya pemuka agama dan pembuat hukum-hukum sosial tidak lagi intimidatif, tetapi akomodatif dengan senantiasa mendekati umat dengan cinta.

Lebih lanjut Agus menggambarkan bahwa pengikut Gafatar adalah orang yang gundah dalam hidupnya. Tekanan ekonomi yang semakin bertubi-tubi, membuat hati masyarakat gundah bak gelas yang retak-retak hampir pecah. Mereka ingin memindahkan air di dalam gelas ke wadah lain karena gelas sebentar lagi pecah tak bisa mewadahi, sayangnya mereka salah lari menemukan wadah. Ini karena kita krisis tokoh, amat sulit kita menemukan tokoh yang berjiwa besar, mampu menjadi "baskom" yang besar, yang mampu menampung tumpahan air dari gelas-gelas gundah yang retak nyaris pecah itu.

Agus mengajak agar kita menerima eks-Gafatar tanpa resistensi berlebihan. Bahwa pilihan fiqh mereka dan kita berbeda, itu diakui saja demikian, tidak perlu ada pemaksaan satu sama lain. Lalu soal keyakinan atau aqidah, lebih baik kita tidak menghakimi satu sama lain. Karena hanya Tuhan saja yang tahu bagaimana seseorang berproses dalam aqidahnya.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun