Mohon tunggu...
Rusdianto Samawa Tarano Sagarino
Rusdianto Samawa Tarano Sagarino Mohon Tunggu... Dosen -

Membaca dan Menulis adalah Mutiara Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilkada : Kompetisi Cerdas

29 November 2012   11:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:28 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengawali tulisan ini semoga saja memberikan kontribusi yang baik terhadap proses pilkada. Ketika membuka dan membaca e-paper Suara NTB di websitenya. Saya terkejut dan terperangah sedikit karena kaget sekali. Terpampang sebuah tulisan “Zaini Aroni mendukung TGH. Zainul Majdi Gubernur NTB Periode Selanjutnya”. Begitulah kira-kira bahasanya (Suara NTB 01/10/12). Dari pagi sampai malam, saya masih dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang sangat sedih sala satu sisi dan terheran-heran di sisi lain. Dua cabang pola berfikir penulis ini menuntut penulis membuka laftop dan mencoba untuk merespon alur pertanyaan tersebut yang masih teka teki. Apakah daerah sudah terasa krisis pemimpin politik ? ataukah daerah terbuka sisem oligarki ?. kalau kia mulai dari dua pertanyaan ini sungguh saling berkelindan karena jawaban antara pertanyaan satu dengan lainnya sangat berkaitan.

Fenomena Krisis Leaders Politic

Krisis pemimpin politik berbagai tingkat menjadi persoalan pelik dan klasik. Galibnya, kualitas dan kuantitas yang dicari. Akses penataan karir politik dan kesiapan sumber daya mengalami keterbatasan jumlah. Posisi ormas maupun lembaga sosial tak pelak lagi ketika mereka juga dikatakan gagal melakukan penyiapan disaat pilihan politik harus ditempuh. Apalagi institusi resmi pemerintahan serta pejabat birokrasi yang juga dikatakan lemah dalam perekrutan tokoh-tokoh sebagai bentuk kesiapan dini dalam mengantisipasi tergerusnya atau berkurangnya pemimpin-pemimpin politik. Sesuai dengan hasil lingkaran Survei Indonesia merilis bahwa diseluruh daerah sangat sulit mencari pemimpin politik yang benar-benar dipercaya oleh khalayak publik. Memang benar, kita lihat saja fenomena pelaksanaan pilkada diseluruh daerah kadang yang mendaftar diri sebagai calon adalah incumbent (patahana) dan bupati yang ingin naik kelas atau tingkat bahkan hanya terdapat enam sampai delapan calon.

Dari sudut pandang berbeda juga, bahwa krisis leaders politic dipengaruhi oleh kekuatan, gaya dan tindakan yang memang dalam teropong publik atas kualitas, bukan atas usulan yang asal-asalan memilih. Jika lebih merinci ketersandungan pemimpin politik juga berada pada regulasi-regulasi yang diputuskan sebagai keputusan politik. Mayoritas di berbagai daerah sudah terjangkiti patologi-patologi sosial sehingga menyebabkan kepercayaan public semakin menurun atas kesempatan maupun personal seorang pemimpin politik. Krisis kualitas maupun kuantitas nukan soal penampilan parlente dan seni berpakaian. Akan tetapi kualitas itu terhitung ketika mereka mampu membangun komunikasi dengan rakyat dan memperluas basis distribusi kebijakan kesejahteraan mereka.

Sungguh ironis memang demikian terjadi. Pada wilayah Nusa Tenggara barat sangatlah besar didominasi oleh dua pulau besar dan merupakan jalan lalu lintas tokoh-tokoh politik hebat baik ditingkat daerah maupun pusat. Namun sangat perlu dipertanyakan bahwa pilkada merupakan jalur lalu lintas pemimpin politik baik tahap penyeleksian maupun perekrutan. Potensi besar yang mereka miliki terkadang terbuang karena proses kaderisasi berada dalam alam subur konflik sehingga tidak bisa menghindari benturan-benturan magnet politik secara vertical dan horizontal. Apalagi konteks kaderisasi politik ormas-ormas keagamaan yang ada di Nusa Tenggara Barat gagal membawa ruang dinamika politik pada suasana yang baik. Selain itu juga, dikalangan ormas yang sudah terbentuk karakter sebagai pemimpin politik terkadang menjadi problem tersendiri bahwa mereka sangat mengalami kemunduran berkomunikasi bersama rakyat, ketika di calonkan saja mereka berkomunikasi. Ini salasau hal penting bahwa perekrutan pemimpin politik untuk pilkada bukanlah hanya sekedar penjaringan atau seperti mengail ikan, akan tetapi harus dilakukan dengan memperhatikan seluruh konsep, integritas dan amanah serta tindakan kongkritnya karena selama ini mempunyai pemimpin politik tidak kongkrit dalam merealisasikan kesejahteraan rakyat, malah ketimpangan regulasi-regulasi saham-saham investasi kesejahteraan rakyat. Model kepemimpinan politik seperti ini sangat elitis dan berwawasan sempit.

Kegagalan kurikulum kaderisasi dalam mempersiapkan pemimpin politik adalah sesuatu yang dapat menimbulkan krisis pemimpin polittik. Berbagai proses dilakukan namun tidak ada standar ganda kurikulum untuk perekrutan secara maksimal. Keberhasilan pemimpin politik secara universal itu karena disaksikan dari integritas, kapabilitas, akuntabilitas dan bekerja, bergerak sesuai dengan cita-citanya.

Semisal hal lain, seperti pengalaman (incumbent/patahana) yang pengalaman melebihi namun tidak juga sebagai dasar dalam system politik karena publik pasti melihat dan bercermin dari apa yang sebelumnya dilakukan. Sehingga magnet-magnet politik itu berada dalam kondisi transaksional, perekrutan tidak sesuai dengan peraturannya dan suhu konflik lebih kuat. Proses munculnya selain incumbent juga harus di ada pengkajian yang secara detail karena terkadang pemimpin politik itu memiliki semangat dalam calon namun tidak memiliki kekuatan basis ril di tingkat grass root dan basis kantong politiknya pun (pemilih) itu masih acak-acakan, tidak menentu dan mempersulit sosialisasi diri.

Pelaksanaan pilkada 2009 lalu harus di evaluasi secara maksimal apa yang telah dihasilkan pemerintahan selama kurang lebih lima tahun itu.Setelah 2009 lalu, konvensional dan pragmatic kepribadian atau pengkultusan terhadap pemimpin politik sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang. Karena yang terjadi pada pilkada Nusa Tenggara Barat kali ini uasi dan system ada kelangkaan ide maupun gagasan pemimpin politik yang akan menjadi calon. Indikasi oligarkis sangat kuat dan melakukan pembiaran terhadap pola perekrutan yang ada.

Betapa tidak begitu, ketika Zaini Aroni yang sekarang bupati Lombok Barat juga, memberikan kesempatan kepada TGB. H. Zaenul Majdi ada dua indikasi dan pembacaan dalam realitas. Pertama yang akan maju pilkada 2013 ini adalah rentan pengkultusan karena ada unsure sigmatisasi agama (kiyai) yang tentunya nanti akan membuat system perekrutan calon pemimpin hanya bersifat tradisional, tidak secara matang karena disebabkan oleh faktor pengkultusan tadi. Kedua, menguatnya pola mempertahankan system oligarki berdasar suku, wilayah, territorial dan sangat rentan dengan isu-isu politik lainnya seperti pembentukan provinsi lainnya. Atas persoalan ini, maka sangat perlu memperbaiki system perekrutan dan kaderisasi calon pemimpin polittik kedepannya agar lebih komopetitif dan bisa memperjhatikan asas manfaat kedepannya. Problem yang dihadapi adalah karena perubahan peraturan UU pemilu maupun pilkada setiap kali ada perubahan, namun tidak di barengi dengan perekrutan (kaderisasi) yang baik sehingga krisis kepercayaan dan tidak bisa mengkreasikan cara baru untuk mempersiapkan penjaringan maupun penetapan calon.

Pemasaran Politik Oligarki

Menurut Arbi Sanit (kompas 01/10/12) bahwa system perekrutan dan seleksi calon pemimpin sangat konvensional dan didominasi oleh partai politik, mereka hanya memanfaat institusi utama perekrutan yakni pileg, pilpres, dan pilkada yakni memenangi kompetisi pemen angan kepemimpinan politik. Kondisi ini hampir sama terjadi di tataran proses pilkada di daerah, dengan konsekwensi pemasaran politik tidak efektif dan dipengaruhi oleh kekuatan medan politik yang serba tidak menentu. Dimulai dari proses penjaringan oleh DPD tingka provinsi partai, lalu meminta restu DPP partai, kemudian seetelah itu melakukan pendaftaran kepada KPU, kampanye politik, dan pemilihan sampai penghitungan suara dan langsung penetapan. Jadi tidak ada celah untuk menilai kualitas dan kuantitas calon pemimpin politik dan publik juga tidak ada ruang untuk menilainya sehingga kapabilitas calon yang sangat menentukan itu hanya menjadi bahan administrasi formalisme belaka.

Pemasaran kampanye politik oligarki tidak bisa dihindari, yang disebabakan oleh latar belakang calon pemimpin yang rentan suka dikultuskan.Hal ini dianggap tak cerdas karena konstruksi masyarakat menilai bahwa siapapun calon pemimpin kedepan tak banyak rasionalitas politik yang mereka berikan untuk menalangi kesejahteraan yang selalu tertunda. Seharusnya yang ditonjolkan adalah gaya innovasi pemimpin poliik untuk membuka wilayah kompetisi secara cerdas dan menilai perjalanan maupun rekam jejak integriasnya melebihi apa yang senantiasa di pikirkan oleh rakyat. Konsekwensi keberlangsungan politik terkunci ketika rakya merasa tidak terbebani oleh kehidupan mereka dan pemimpinnya mamapu memberikan keuntungan kompetitif luar biasa. Maka oleh karena itu, untuk memilih bakal calon kedepannya harus dilihat dari sisi integritas, kepedulian, responsihif dan bentuk evaluasi kenirja maupun program yang akan mereka lakukan kedepannya. Kalau kondisi pilkada yang terkatung dalam perahu politik yang memanas kemudian tidak jelas maka yang jadi korban adalah rakyat semata dan tidak ada kompetitif dalam merealisasikan kesejahteraan. Untuk memilih calon pemimpin yang cerdas, maka pemilih harus memilih dan membandingkan secara seksama agar tidak salah dalam memilih pemimpin agar kebutuhan-kebutuhan tidak diberlakukan secara konvensional dan tertata rapi secara sistematis. Memaksimalkan kompetisi cerdas adalah bagian dari proses yang harus dibangun untuk menjadikan dinamika pilkada sebagai bagian pembelajaran politik dan memaknai daerah itu sebagai basis percakapan potensi politik maupun kaderisasi calon pemimpin yang akan membawa masa depan sejati.

Penulis adalah Rusdianto Direktur Segitiga Insttitute Jakarta Dan Mahasiswa Pasca Sarjana Komunikasi Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun